41 Dinkes Kab Defgh |
TUBERKULOSIS
PARU TANPA KOMPLIKASI |
Puskesmas Abcde |
|||
SOP |
Nomor |
: |
|||
Terbit ke |
: 01 |
||||
No.Revisi |
: 00 |
||||
Tgl.Diberlakukan |
: 2-01-2018 |
||||
Halaman |
: 1 / 2 |
||||
Ditetapkan
Kepala Puskesmas Abcde |
|
Kapus NIP. nipkapus |
|||
A. Pengertian |
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia merupakan
negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB.
Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan
baru dalam penanggulangan TB, yaitu
TB Resisten Obat (Multi Drug
Resistance/ MDR). Masalah Kesehatan pada anak. Menurut perkiraan WHO
pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per
tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling
banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB
lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian
akibat TB lebih banyak daripada
kematian karena kehamilan, persalinan, dan
nifas. Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat
Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB
dengan angka kematian yang bervariasi dari 0% hingga 14,1%. Kelompok usia
terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan
didapatkan 16,5%. |
||||||||
B. Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk penatalaksanaanpasien dengan
tuberkulosis paru tanpa komplikasi |
||||||||
C. Kebijakan |
SK Kepala UPTD Puskesmas Abcde Nomor ... tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis UPTD Puskesmas Abcde |
||||||||
D. Referensi |
Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07 / MENKES / 1186 / 2022 tentang
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
||||||||
E. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda
TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih
dari 2 minggu, yang disertai: 1.
Gejala pernapasan (nyeri
dada, sesak napas,
hemoptisis) dan/atau 2.
Gejala sistemik (demam,
tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah). Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) Pemeriksaan Fisik Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya
sulit sekali menemukan kelainan.
Pada auskultasi terdengar
suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex
paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pemeriksaan Penunjang 1.
Darah: limfositosis/
monositosis, LED meningkat, Hb turun. 2.
Pemeriksaan mikroskopis
kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari spesimen sputum/dahak
sewaktu-pagi- sewaktu. 3.
Untuk TB non paru,
spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan
pleura ataupun biopsi jaringan. 4.
Radiologi dengan foto
toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran
bercak- bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas
jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu,
kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan
pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul). Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Pasti TB Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak). Kriteria Diagnosis Berdasarkan
International Standards for
Tuberkulosis Care (ISTC 2014) Standar Diagnosis 1.
Untuk memastikan
diagnosis lebih awal,
petugas kesehatan harus waspada
terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi
klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB. 2.
Semua pasien dengan batuk
produktif yang berlangsung selama=
2 minggu yang
tidak jelas penyebabnya, harus
dievaluasi untuk TB. 3.
Semua pasien
yang diduga menderita
TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa
mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen
sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF*,
yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin,
salah satu diantaranya adalah
spesimen pagi. Pasien
dengan risiko resistensi
obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert
MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon-gamma
release assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif. 4.
Semua pasien yang diduga
tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa
secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan
sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien
terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis
yang cepat. 5.
Pasien terduga
TB dengan apusan
dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert
MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif
pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera
diberikan pengobatan antituberkulosis setelah pemeriksaan kultur. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Tujuan pengobatan: 1. Menyembuhkan,
mengembalikan kualitas hidup
dan produktivitas pasien. 2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek
lanjutan. 3. Mencegah kekambuhan TB. 4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain. 5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan
penularannya Prinsip-prinsip terapi: 1.
Obat AntiTuberkulosis (OAT)
harus diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi. 2.
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tepat (KDT) /
Fixed Dose 3.
Combination (FDC) akan
lebih menguntungkan dan dianjurkan. 4.
Obat ditelan sekaligus
(single dose) dalam keadaan perut kosong. 5.
Setiap praktisi yang
mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat. 6.
Semua pasien (termasuk
mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan
obat lini pertama. 7.
Untuk menjamin
kepatuhan pasien berobat
hingga selesai, diperlukan suatu
pendekatan yang berpihak
kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan
dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang
pengawas menelan obat. 8.
Semua pasien
harus dimonitor respons
pengobatannya. 9.
Indikator penilaian
terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan
ke-5 dan akhir pengobatan. 10.
Rekaman tertulis tentang
pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan
tersimpan. Tabel Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC Tabel Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB) Pengobatan
TB diberikan dalam
2 tahap, yaitu tahap awal dan
lanjutan 1. Tahap
awal menggunakan paduan
obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. a. Pada tahap awal
pasien mendapat pasien yang terdiri
dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol),
diminum setiap hari
dan diawasi secara
langsung untuk menjamin kepatuhan
minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat. b. Bila pengobatan
tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan menurun dalam kurun waktu
2 minggu. c. Pasien TB
paru BTA positif
sebagian besar menjadi
BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah
terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut. 2. Tahap
lanjutan menggunakan panduan
obat rifampisin dan isoniazid a. Pada tahap
lanjutan pasien mendapat
2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid), namun
dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan). b. Obat
dapat diminum secara
intermitten yaitu 3x/minggu (obat program)
atau tiap hari (obat non program). c. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan. Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program
Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah
sebagai berikut : 1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan
diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam
seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan. 2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh,
gagal pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal
pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan
setiap hari. Tahap
lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi
lama pengobatan 8 bulan. 3. OAT sisipan : HRZE Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum
konversi) pada akhir pengobatan tahap
awal kategori 1
maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama
1 bulan dengan HRZE. Konseling dan Edukasi 1. Memberikan
informasi kepada pasien
dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis 2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara
teratur. 3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan Kriteria Rujukan 1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi
tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu 2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/
meragukan) 3. Pasien
dengan sputum BTA
tetap (+) setelah
jangka waktu tertentu 4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan
komorbid) 5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan
TB-MDR. Peralatan 1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah
rutin. 2. Radiologi 3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia Prognosis Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan
terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
prognosis menjadi kurang baik. Kriteria hasil pengobatan: 1.
Sembuh :
pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak
ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya. 2.
Pengobatan lengkap :
pasien yang telah
menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak ada hasil
pemeriksaan apusan dahak ulang
pada foto toraks AP
dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. 3.
Meninggal : pasien
yang meninggal dalam
masa pengobatan karena sebab
apapun. 4.
Putus berobat
(default) : pasien yang
tidak berobat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 5.
Gagal : Pasien yang
hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan. 6.
Pindah (transfer
out) :
pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui. b. Tuberkulosis (TB) Paru pada Anak Hasil Anamnesis (Subjective) Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Gejala
sistemik/umum TB pada anak: 1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang,
disertai gagal tumbuh (failure to thrive). 2. Masalah Berat Badan (BB): a. BB turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas, ATAU b. BB
tidak naik dalam
1 bulan setelah
diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik ATAU c. BB tidak
naik dengan adekuat. 3. Demam lama (= 2 minggu) dan atau berulang tanpa
sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
lain lain). Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai
keringat malam. 4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. 5. Batuk
lama atau persisten
= 3 minggu,
batuk bersifat non- remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin
lama semakin parah) dan penyebab batuk lain telah disingkirkan 6. Keringat
malam dapat terjadi,
namun keringat malam
saja apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan
fisik pada anak
tidak spesifik tergantung
seberapa berat manifestasi respirasi dan sistemiknya. Pemeriksaan Penunjang 1. Uji Tuberkulin Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan
menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara
intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul,
bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk
menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter
transversal indurasi diukur dengan
alat pengukur transparan,
dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak
timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan
sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya
indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara umum,
hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi =10 mm dinyatakan positif tanpa
menghiraukan penyebabnya. 2. Foto toraks Gambaran foto toraks pada TB tidak khas;
kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi
harus disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah
hilus biasanya lebih jelas. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB
adalah sebagai berikut: a. Pembesaran
kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat b. Konsolidasi segmental/lobar c. Milier d. Kalsifikasi dengan infiltrat e. Atelektasis f. Kavitas g. Efusi pleura h. Tuberkuloma 3. Mikrobiologis Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena
sulitnya mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2
hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar
negatif, sedangkan hasil biakan
M. tuberculosis memerlukan
waktu yang lama
yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang
hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi
biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit. Penegakan Diagnosis (Assessment) Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua
pendekatan utama,yaitu: 1. Investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan
pasien TB dewasa aktif dan menular 2. Anak yang datang ke pelayanan kesehatan dengan
gejala dan tanda klinis yang mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada anak
tidak khas). Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB
membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis
maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis. Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai
nilai 6 atau lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA
positif dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka
anak cukup diberikan profilaksis INH terutama anak balita Catatan: 1.
Bila BB kurang, diberikan
upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan. 2.
Demam (> 2 minggu) dan
batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai
baku terapi di puskesmas 3.
Gambaran foto
toraks mengarah ke
TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. 4.
Semua bayi dengan reaksi
cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCGharus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan
gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit
untuk evaluasi lebih lanjut. Tabel Sistem Skoring TB Anak Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tabel OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak
(sesuai rekomendasi IDAI) Keterangan: 1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus
dirujuk ke rumah sakit 2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah
sakit. 3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh
dibelah. 4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan
secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum. Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka
harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat
dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Evaluasi Hasil Pengobatan Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi
hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis,
dan pemeriksaan LED. Evaluasi
yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu
menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya
batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain- lain. Apabila respons pengobatan
baik, maka pengobatan dilanjutkan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering
terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Kriteria Rujukan 1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan
pengobatan. 2. Terjadi efek samping obat yang berat. 3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani
pengobatan selama >2 minggu. Peralatan 1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah
rutin. 2. Mantoux test (uji tuberkulin). 3. Radiologi. |
||||||||
F. Diagram Alir |
Memberikan
tata laksana pada pasien sesuai hasil pemeriksaan menulis hasil
anamnesa, pemeriksaan dan diagnose ke rekam medic menegakan
diagnose berdasarkan hasil pemeriksaan melakukan
vital sign dan pemeriksaan fisik Melakukan anamnesis pada pasien menulis
diagnose pasien ke buku register. |
||||||||
G. Hal-hal yang perlu diperhatikan |
Kaji
Ulang Untuk Ketepatan Diagnosia |
||||||||
H. Unit terkait |
Ruang
Pemeriksaan Umum |
||||||||
I. Dokumen terkait |
Rekam Medis Catatan tindakan |
||||||||
J.Rekaman historis perubahan |
|
G. Rekaman Historis:
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tanggal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar