8 Dinkes Kab Defgh |
GANGGUAN
SOMATOFORM |
Puskesmas Abcde |
|||
SOP |
Nomor |
: |
|||
Terbit ke |
: 01 |
||||
No.Revisi |
: 00 |
||||
Tgl.Diberlakukan |
: 2-01-2018 |
||||
Halaman |
: 1 / 2 |
||||
Ditetapkan
Kepala Puskesmas Abcde |
|
Kapus NIP. nipkapus |
|||
A. Pengertian |
Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok
kelainan psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik
yang dirasakan signifikan oleh pasien namun tidak ditemukan penyebabnya
secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai prevalensi gangguan ini di
Indonesia. Satu penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi gangguan jiwa
yang terdeteksi di Puskesmas sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis
gangguan yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya
termasuk psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius,
gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform sangat
mengganggu dan berpotensi menimbulkan distres emosional. Peran dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pada kasus gangguan somatoform sangat
penting. Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis
gangguan somatoform dengan tepat, dan menatalaksana akan sangat membantu
meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan
menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis yang berlebihan atau merugikan. |
||||||||
B. Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk penatalaksanaanpasien dengan gangguan
somatoform |
||||||||
C. Kebijakan |
SK Kepala UPTD Puskesmas Abcde Nomor ... tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis UPTD Puskesmas Abcde |
||||||||
D. Referensi |
Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07 / MENKES / 1186 / 2022 tentang
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
||||||||
E. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien
biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus mempertimbangkan
diagnosis gangguan somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut
ini: 1. Keluhan
atau gejala fisik berulang, 2. Dapat
disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, 3. Hasil
pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat menjelaskan
keluhan tesebut, 4. Onset
dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan yang
tidak menyenangkan atau konflik-konflik, 5. Pasien
biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis,
6. Dapat
terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang
tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter menerima persepsinya bahwa
keluhan yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut. Selain untuk
menegakkan diagnosis, anamnesis dilakukan untuk menggali pemahaman dan
persepsi pasien mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali tujuan ini baru
dapat dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter harus mengklarifikasi
keluhan-keluhan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu, perlu
pula digali harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang
mungkin pasien miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan
menjadi penyebab gangguan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Tidak ada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang spesifik yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan somatoform. Pemeriksaan fisik dan penunjang
dilakukan untuk mengeksklusi kelainan organik yang dianggap relevan dengan
keluhan pasien. Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan perlu dihindari
agar tidak menambah kekhawatiran pasien. Penegakan Diagnosis (Assessment) Dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memikirkan diagnosis
gangguan somatoform bila pada pasien terdapat keluhan dengan karakteristik
sebagaimana yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya (lihat poin Hasil
Anamnesis (Subjective)). Dalam praktik sehari-hari, dokter dapat
menggunakan kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining gangguan somatoform.
Salah satu contohnya adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ- 15).
Berikut ini adalah langkah-langkah pendekatan terhadap keluhan fisik pasien
hingga dokter sampai pada kesimpulan diagnosis gangguan somatoform: 1. Mengeksklusi
kelainan organik Keluhan
dan gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan. 2. Mengeksklusi
gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok dan blok yang
hirarkinya lebih tinggi. Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan
secara hirarkis. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III,
gangguan somatoform memiliki kode F45 dan merupakan blok penyakit yang
termasuk dalam kelompok F40-F48, yaitu gangguan neurotik, gangguan
somatoform, dan gangguan yang berkaitan dengan stres. Dengan demikian, pada
kasus gangguan somatoform, dokter perlu mengeksklusi gangguan mental organik
(F00-F09), gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham (F20-F29),
serta gangguan suasana perasaan atau mood atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-F48
sendiri, dokter perlu terlebih dahulu memastikan ada tidaknya tanda-tanda
gangguan ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42), reaksi stres dan
gangguan penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif atau konversi (F44).
Gangguan somatoform tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda pada pasien
memenuhi kriteria diagnostik gangguan di hirarki yang lebih tinggi. 3. Mengeksklusi
kondisi factitious disorder dan malingering Pada kondisi factitious
disorder, pasien mengadopsi keluhan-keluhan fisik, tanpa ia sadari,
sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk mendapat
perhatian lebih dari orang-orang tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya
dengan kondisi malingering, di mana pasien sengaja atau berpura-pura
sakit untuk memperoleh keuntungan eksternal, misalnya: agar terhindar dari
tanggung jawab atau kondisi tertentu, atau untuk memperoleh kompensasi uang
tertentu). Pada gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang coba didapat
oleh pasien. Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu yang
disengaja, malahan adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan, dan
diperparah oleh kekhawatiran dan ketakutan tertentu (Oyama et al. 2007). 4. Menggolongkan
ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik Blok gangguan somatoform terdiri atas: a. F45.0.
Gangguan somatisasi b. F45.1.
Gangguan somatoform tak terinci c. F45.2.
Gangguan hipokondrik d. F45.3.
Disfungsi otonomik somatoform e. F45.4.
Gangguan nyeri somatoform menetap f. F45.5.
Gangguan somatoform lainnya g. F45.6.
Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Tujuan dari
tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh
pasien. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar pengelolaan pasien dengan
gangguan somatoform: 1. Dokter
harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan gejala pada tubuhnya
dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut mengganggu pasien. Dokter perlu
melatih diri untuk tidak terlalu prematur menganggap pasien berpura-pura (malingering)
tanpa didukung bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan somatoform
adalah membangun kemitraan dengan dan kepercayaan dari pasien. 2. Bila
terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu mendiskusikan
kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis gangguan
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan pasien. 3. Dokter
perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan berempati
dan menghindari konfrontasi. Dokter harus menunjukkan kesungguhan untuk
membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima pendapat
dokter. 4. Pemeriksaan
medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu harus dihindari. Bila
ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati dalam menganjurkan pemeriksaan
atau rujukan. 5. Dokter
harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-hari, bukan
gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan. 6. Dokter
perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga pasien
dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien
mungkin perlu dibantu untuk mengindentifikasi serta mengelola stres secara
efektif, misalnya dengan relaksasi, breathing control. Peningkatan
aktifitas fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue dan nyeri
muskuloskeletal 7. Bila
gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
harus mengintervensi dengan tepat. 8. Dokter
perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5 – 10 menit,
terutama untuk memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu
membatasi dan menghindari konsultasi via telepon atau kunjungan-kunjungan
yang bersifat mendesak. 9. Dokter
perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat penegakan
diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain, atau
terkait pengobatan. Non-medikamentosa Cognitive behavior
therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana yang efektif
untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter memposisikan diri
sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari CBT adalah mengkaji
masalah pasien dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi hal-hal yang
selama ini menimbulkan atau memperparah gejala fisik yang dialami, misalnya
distorsi kognitif, keyakinan yang tidak realistis, kekhawatiran, atau
perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien mengidentifikasi dan
mencoba alternatif perilaku yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya
gejala-gejala fisik, yang dikenal sebagai behavioral experiments. Medikamentosa Penggunaan obat harus berdasarkan indikasi
yang jelas. Hanya sedikit studi yang menunjukkan efektifitas yang signifikan
dari penggunaan obat-obat untuk tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan
dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi atau ansietas yang
mengganggu. Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam :Dubia 3. Ad sanationam :Dubia Sebagian pasien tidak menunjukkan respon
positif atas tatalaksana yang dilakukan dan gangguan somatoform terus
berlanjut bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi pada
0,2 – 0,5% anggota populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat memperbaiki
prognosis dan mengurangi hambatan pada fungsi sosial dan okupasi sehari-hari.
Peralatan Untuk
keperluan skrining, dapat disediakan lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter.
Selain itu, tidak ada peralatan khusus yang diperlukan terkait diagnosis dan
tatalaksana gangguan somatoform. |
||||||||
F. Diagram Alir |
Memberikan
tata laksana pada pasien sesuai hasil pemeriksaan menulis hasil
anamnesa, pemeriksaan dan diagnose ke rekam medic menegakan
diagnose berdasarkan hasil pemeriksaan melakukan
vital sign dan pemeriksaan fisik Melakukan anamnesis pada pasien menulis
diagnose pasien ke buku register. |
||||||||
G. Hal-hal yang perlu diperhatikan |
Kaji Ulang Untuk
Ketepatan Diagnosia |
||||||||
H. Unit terkait |
Ruang Pemeriksaan Umum. |
||||||||
I. Dokumen terkait |
Rekam Medis Catatan tindakan |
||||||||
J. Rekaman historis perubahan |
|
G. Rekaman Historis:
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tanggal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar