PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
Pengertian |
No.
ICPC-2 : S96 Acne No.
ICD-10 : L70.0 Acne vulgaris A Tingkat
Kemampuan 4A Masalah
Kesehatan Akne vulgaris adalah penyakit
peradangan kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi dengan peningkatan
produksi sebum, perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari
bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim untuk penyakit ini adalah
jerawat. Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, pria16-19
tahun lesi yang utama adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai pula lesi
beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi pada premenarke.
Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang, namun kadang-kadang
menetap sampai dekade ketiga terutama pada wanita. Ras oriental (Jepang,
Cina, Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras
kaukasia (Eropa, Amerika). |
|||||||||
Tujuan |
Semua
pasien Akne Vulgaris
Ringan yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
prosedur |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
|||||||||
Prosedur |
Hasil
Anamnesis (Subjective) Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi
di lokasi predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun masalah estetika
umumnya merupakan keluhan utama. Faktor
Risiko: Usia remaja, stress emosional, siklus
menstruasi, merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga, banyak makan makanan
berlemak dan tinggi karbohidrat Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan
Fisik Tanda
patognomonis Komedo berupa papul miliar yang
ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam disebut komedo
hitam (black comedo, open comedo) dan bila berwarna putih disebut
komedo putih atau komedo tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi
kulit polimorfi dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang
tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang beradang. Tempat predileksi adalah di muka,
bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya
di leher, lengan atas, dan kadang-kadang glutea. Gradasi yang menunjukan berat
ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Sedikit bila kurang dari 5, beberapa
bila 5-10, banyak bila lebih dari 10 lesi Tak
beradang : komedo putih, komedo hitam, papul Beradang
: pustul, nodus, kista Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum,
yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna)
ditemukan sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti
lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam. Pemeriksaan
Penunjang Umumnya
tidak diperlukan. Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan
pemeriksaaan fisik. Diagnosis Banding Erupsi akneiformis, Akne venenata,
Rosasea, Dermatitis perioral Penatalaksanaan
(Plan) Penatalaksanaan meliputi usaha untuk
mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat
yang terjadi (kuratif). Pencegahan yang dapat dilakukan :
Pengobatan akne vulgaris ringan dapat
dilakukan dengan memberikan farmakoterapi seperti :
Pengobatan topikal
dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan dan
mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari :
Retinoidtopikal merupakan
obat andalan untuk pengobatan jerawat karena dapat menghilangkan komedo,
mengurangi pembentukan mikrokomedo, dan adanya efek antiinflamasi.
Kontraindikasi obat ini yaitu pada wanita hamil, dan wanita usia subur harus
menggunakan kontrasepsi yang efektif. Kombinasi retinoid topikal dan
antibiotik topikal (klindamisin) atau benzoil peroksida lebih ampuh
mengurangi jumlah inflamasi dan lesi non-inflamasi dibandingkan dengan
retinoid monoterapi. Pasien yang memakai kombinasi terapi juga menunjukkan
tanda-tanda perbaikan yang lebih cepat. Bahan iritan yang dapat
mengelupas kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8%), resorsinol (1-5%), asam
salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam vitamin A (0,025-0,1%),
asam azelat (15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) misalnya asma glikolat
(3-8%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara pemakaian
berhati-hati dimulai dengan konsentrasi yang paling rendah.
Pengobatan sistemik
ditujukan untuk menekan aktivitas jasad renik disamping juga mengurangi
reaksi radang, menekan produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri sistemik,
misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/hari, eritromisin 4x250 mg/hari. Pemeriksaan
Penunjang Lanjutan
Konseling
dan Edukasi
Kriteria
rujukan
Peralatan
Prognosis
|
|||||||||
Diagram Alur |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
|
|
|
||||||||||
SPO |
No.Dokumen:SPO/VIII/UKP/ /2016 |
|||||||||||
No.
Revisi : |
||||||||||||
Tanggal
Terbit:04 April 2016 |
||||||||||||
Halaman :1/2 |
||||||||||||
Puskesmas
II Wangon |
|
drg.Imam
Hidayat NIP.196008181989011001 |
||||||||||
1.
Pengertian |
Makanan dapat menimbulkan beraneka
ragam gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap alergen asal makanan.
Reaksi tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Reaksi
alergi makanan terjadi bila alergen makanan menembus sawar gastro intestinal
yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul dalam beberapa menit sampai
beberapa jam, dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, kulit, saluran
napas dan cerna, lokal dan sistemik. |
|||||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan
penerapan langkah-langkah agar......... |
|||||||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas 2 Wangon nomer............. |
|||||||||||
4.
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015 |
|||||||||||
5.
Prosedur |
Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Pada kulit: eksim dan
urtikaria. 2. Pada saluran pernapasan:
rinitis dan asma. 3. Keluhan pada saluran
pencernaan: gejala gastrointestinal non spesifik dan berkisar dari edema,
pruritus bibir, mukosa pipi, mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan diare.
4. Diare kronis dan
malabsorbsi terjadi akibat reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-E-mediated
seperti pada enteropati protein makanan dan penyakit seliak 5. Hipersensitivitas susu
sapi pada bayi menyebabkan occult bleeding atau frank colitis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada
kulit dan mukosa serta paru. Pemeriksaan Penunjang: - Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan
berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Medika mentosa Riwayat reaksi alergi berat
atau anafilaksis: 1. Hindari makanan penyebab
2. Jangan lakukan uji kulit
atau uji provokasi makanan Rencana Tindak Lanjut 1. Edukasi pasien untuk
kepatuhan diet pasien 2. Menghindari makanan yang
bersifat alergen secara sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi dengan
ahli gizi) 3. Perhatikan label makanan
4. Menyusui bayi sampai
usia 6 bulan menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila
pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi reaksi
anafilaksis. Prognosis Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa
disertai dengan perubahan gaya hidup. |
|||||||||||
6.
Diagram Alir (bila perlu) |
|
|||||||||||
7.
Unit terkait |
SemuaRuangan |
|||||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
|||||||||||
|
ANEMIA DEFISIENSI BESI |
|
||||||||||||||
SOP |
No.
Dokumen |
|
||||||||||||||
No. Revisi |
: 00 |
|||||||||||||||
Tgl.
Terbit |
: |
|||||||||||||||
Halaman |
: |
|||||||||||||||
Puskesmas Rawalo |
|
|
||||||||||||||
1. Pengertian |
Anemia Defisiensi Besi (ADB)
adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. |
|||||||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai acuan Untuk penangan pasien dengan
anemia defisiensi besi |
|||||||||||||||
3. Kebijakan |
|
|||||||||||||||
4. Referensi |
|
|||||||||||||||
5. Prosedur |
1.
Alat dan Bahan Sulfat ferrosus Hb Sahli |
|||||||||||||||
6. Langkah-langkah |
Rencana
tindak lanjut
|
|||||||||||||||
7. Bagan Alir |
Memberikan pengertian ke pasien
dan keluarga Menegakkan diagnosa Memberikan obat sulfat ferosus
3x 200mg Menjelaskan cara minumdan efek
samping obat Bila terjadi efek sampping
hubungi petugas Rencana Tindak lanjut dg
pemeriksaan ke laborat seku nder Petugas memperkenalkan diri |
|||||||||||||||
8. Hal-hal yang perlu diperhatikan |
|
|||||||||||||||
9. Unit terkait |
BP KIA |
|||||||||||||||
10. Dokumen terkait |
1. Rekam Medis 2. Inform consent |
|||||||||||||||
11. Rekaman Historis
Perubahan |
|
Pengertian
|
Anemia dalam kehamilan adalah
kelainan pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl pada trimester I
dan III atau <10,5 g/dl pada trimester II. Penyebab tersering anemia pada
kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan akut, dan defisiensi asam folat. |
Kode Penyakit |
No. ICPC-2 : B80 Irondeficiency anaemia No. ICD-10 : D50 Iron deficiency anaemia |
Tujuan |
Dapat melakukan pengelolaan penyakit yang
meliputi: 1. Anamnesa (Subjective) 2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Sederhana (Objective) 3. Penegakkan Diagnosa (Assessment) 4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) |
Alat & Bahan |
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin |
SOP |
1. Melakukan Anamnesa (Subjective) Keluhan 1. Badan lemah, lesu 2. Mudah lelah 3. Mata berkunang-kunang 4. Tampak pucat 5. Telinga mendenging 6. Pica: keinginan untuk memakan
bahan-bahan yang tidak lazim Faktor Risiko : - Faktor Predisposisi 1. Perdarahan kronis 2. Riwayat keluarga 3. Kecacingan 4. Gangguan intake (diet rendah
zat besi,) 5. Gangguan absorbsi besi 2. Melakukan Pemeriksaan
Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Patognomonis 1. Konjungtiva anemis 2. Atrofi papil lidah 3. Stomatitis angularis (cheilosis) 4. Koilonichia: kuku sendok (spoon
nail), Pemeriksaan Penunjang 1. Kadar hemoglobin 2. Apusan darah tepi 3. Penegakan
Diagnosa (Assessment) Diagnosis Klinis Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I
dan III) atau < 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila diagnosis anemia
telah ditegakkan, lakukan pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat
morfologi sel darah merah. Diagnosis Banding ·
Anemia
akibat penyakit kronik ·
Trait Thalassemia ·
Anemia
sideroblastik 4. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Lakukan penilaian
pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan memantau pertambahan ukuran janin 2. Bila pemeriksaan
apusan darah tepi tidak tersedia, berikan tablet tambah darah yang berisi 60
mg besi elemental dan 250 μg asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia, tablet
besi diberikan 3 kali sehari. 3. Bila tersedia
fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi. Bila tidak tersedia,
pasien bisa di rujuk ke pelayanan sekunder untuk penentuan jenis anemia dan
pengobatan awal. 4. Anemia mikrositik hipokrom dapat
ditemukan pada keadaan: a. Defisiensi besi:
lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml,
berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari.
Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC. b. Thalassemia:
Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan tatalaksana bersama
dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik c. Anemia normositik
normokrom dapat ditemukan pada keadaan: Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala
aborsi, mola, kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan infeksi
kronik d. Anemia makrositik
hiperkrom dapat ditemukan pada keadaan: Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan
vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg Konseling
dan Edukasi 1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan
pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata
laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta
meningkatkan kualitas hidup pasien untuk mencegah terjadinya anemia
defisiensi besi. 2. Diet bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani
(daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau) 3. Pemakaian alas kaki untuk
mencegah infeksi cacing tambang Kriteria
Rujukan 1.
Pemeriksaan penunjang menentukan jenis anemia yang ibu derita 2.
Anemia yang tidak membaik dengan pemberian suplementasi besi selama 3 bulan 3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis, agar dicari sumber perdarahan
dan ditangani. |
Unit Terkait |
Laboratorium, Apotek, Rumah Sakit |
1.
Pengertian |
Anemia adalah suatu keadaan
menurunnya hemoglobin yang menyebabkan penurunan kadar oksigen yang didistribusikan
ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan berbagai keluhan (sindrom anemia). |
||||||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai pedoman petugas
untuk menegakan diagnosis dan penatalaksanaan anemia. |
||||||||||||
3.
Kebijakan |
1.
SK
Kepala UPTD Puskesmas
Cilawu tentang
Kebijakan Pelayanan
Klinis UPTD Puskesmas Cilawu |
||||||||||||
4.
Referensi |
1. Permenkes no 5 tahun 2014 tentang PANDUAN PRAKTIS KLINIS BAGI
DOKTER PELAYANAN PRIMER |
||||||||||||
5.
Prosedur/
langkah-langkah |
1. Anamnesis : -
Keluhan
lemah, letih, lesu, lelah, penglihatan berkunang-kunang, pusing, telinga
berdenging dan penurunan konsentrasi. -
Faktor
resiko : ibu hamil, remaja putri, pemakaian obat
sefalosporin/kloramfenicol jangka panjang, status gizi kurang, faktor ekonomi
kurang. 2. Pemeriksaan
Fisik : -
Pucat,
sianotik, atrofi papil lidah, alopesia, ikterik, rambut kusam, takikardi,
bising jantung, takipneu, konjungtiva pucat .
-
Nilai Hb
normal (WHO) : laki-laki >13 gr%, perempuan >12 gr%, perempuan
hamil >11gr%. 3. Diagnosis
differensial : - Anemia defisiensi besi - Anemia defisiensi vit B12, asam folat - Anemia aplastic - Anemia hemolitik - Anemia pada penyakit kronik 4.
Pemeriksaan penunjang : - Anemia def. Fe : ferritin serum, SI, TIBC - Anemia hemolitik : bilirubin, tes fragilitas osmotic, tes Coombs - Anemia megaloblastik : serum folat, serum kobalamin - Thalassemia : elektroforesisi hemoglobin - Anemia aplastic atau keganasan : biopsy dan aspirasi sumsusm tulang 5.
Terapi : - Atasi penyebab yang mendasarinya - Anemia def. Fe : sulfas ferrosus 3x1 tab , ferrous fumarat 3x1 tab,
ferrous glukonat 3x1 tab - Anemia def. asam folat dan def. B12 : vitamin B12 80 mikrogram, asam
folat 500-1000 mikrogram (ibu hamil 1 mg). 6.
Kriteria rujukan :. - Anemia berat dengan indikasi trasnfusi (Hb< 6gr%). |
||||||||||||
6.
Bagan alir |
|
||||||||||||
7.
Hal-hal yang harus diperhatikan |
|
||||||||||||
8.
Unit
Terkait |
Rawat Inap, BP, PUSTU |
||||||||||||
9.
Dokumen
Terkait |
Rekam medis |
||||||||||||
10.Rekaman Histori Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1.
Pengertian |
No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina
No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified Tingkat Kemampuan 3B Angina pektoris stabil merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50%
pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina pektoris dilaporkan
terjadi dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur,
dan faktor risiko. Data dari studi Framingham pada tahun 1970 menunjukkan
prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% untuk pria berusia 50 – 59
tahun. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien Angina
Pectoris Stabil yang datang ke
Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai
dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : …………….
Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 2.
Isselbacher, J Kurt. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC. 2000.
(Isselbacher, 2000) 3.
O’Rouke., Walsh., Fuster.
Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed. McGraw-Hill. 2009. (O'Rouke,
et al., 2009) 4.
Priori, S. G., Blanc, J. J.,
(France), Budaj., A., Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein. K., Lekakis,
J., McGregor. K., Metra. M., Morais. J., Osterspey. A., Tamargo, J.,
Zamorano, J. L., Guidelines on the management of stable angina pectoris,
2006, European Heart Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC Committee for
Practice Guidelines (CPG). (Priori, et al., 2006) 5.
Sudoyo, W. Aaru, Bambang
Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.2007.c
(Sudoyo, et al., 2006) |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas,
yaitu seperti rasa ditekan atau terasa seperti ditimpa beban yang sangat
berat. Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri dada
yang mempunyai ciri khas sebagai berikut: 1. Letak Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum
atau di bawah sternum (substernal: tidak dapat melokalisasi), atau dada
sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke
punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di
tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, dan bahu. 2. Kualitas Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan
benda berat, atau seperti diperas atau terasa panas, kadang-kadang hanya
mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan
dengan baik. 3. Hubungan dengan aktivitas Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada
saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau
sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang atau emosi,
sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila
pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina yang timbul pada waktu
istirahat atau pada waktu tidur malam sering akibat angina pektoris tidak
stabil 4. Lamanya serangan Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit,
kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang.
Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mengalami
sindrom koroner akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris
dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang
nyeri dada disertai keringat dingin. 5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin, mual,
muntah, sesak dan pucat. Faktor Risiko Faktor risiko yang tidak dapat diubah: 1. Usia Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan
wanita diatas 55 tahun (umumnya setelah menopause) 2. Jenis kelamin Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK)
pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini
berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal
ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan
laki-laki pada wanita setelah masa menopause. 3. Riwayat keluarga Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini
yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun. Faktor risiko yang dapat diubah: 1. Mayor a. Peningkatan lipid serum b. Hipertensi c. Merokok d. Konsumsi alkohol e. Diabetes Melitus f. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori 2. Minor a. Aktivitas fisik kurang b. Stress psikologik c. Tipe kepribadian Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik 1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat tidak
menunjukkan kelainan. Walau jarang pada auskultasi dapat terdengar derap
atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut
jantung dapat menurun, menetap atau meningkat pada waktu serangan angina. 2. Dapat ditemukan pembesaran jantung. Pemeriksaan Penunjang 1. EKG Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat
serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa
pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina,
dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang tidak khas.
Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan
gelombang T dapat menjadi negatif. Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai
inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang berkas His dan bisa
tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat
sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal
atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan
tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka
disebut sebagai Infark Miokard Akut (IMA). 2. X ray thoraks X ray thoraks sering menunjukkan bentuk jantung yang
normal. Pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan
kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Klasifikasi Angina: 1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris stabil) Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu
pekerjaan, sesuai dengan berat ringannya pencetus, dibagi atas beberapa
tingkatan: a. Selalu timbul sesudah latihan berat. b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan cepat 1/2
km) c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m) d. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan
biasa) 2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris tidak
stabil/ATS) Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun
bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang
mempunyai ciri tersendiri. 3. Angina prinzmetal (Variant angina) Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung
dan sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal
terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian
hilir. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis. Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian
Cardiovascular Society Classification System: 1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak
mencetuskan angina. Angina akan muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas
fisik (berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang lama). 2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas
sedikit/aktivitas sehari-hari (naik tangga dengan cepat, jalan naik, jalan
setelah makan, stres, dingin). 3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan aktivitas
fisik karena sudah timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok
atau naik tangga 1 tingkat. 4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas
sehari-sehari, tidak nyaman, untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa
kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa terjadi angina. Diagnosis Banding Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), Gastritis
akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik Komplikasi Sindrom koroner akut. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Terapi farmakologi: 1. Oksigen dimulai 2 L/menit 2. Nitrat dikombinasikan dengan β-blocker atau
Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan
denyut jantung (misalnya verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada serangan
akut : a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 5
mg peroral sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di pelayanan sekunder. b. Beta bloker: • Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau • Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam. c. Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridine
Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi,
misalnya: • Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari) • Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari) 3. Antipletelet Aspirin 160-320 mg sekali minum pada serangan akut. Konseling dan Edukasi Menginformasikan individu dan keluarga untuk
melakukan modifikasi gaya hidup antara lain: 1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja berat dimana
membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya 2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak 3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol 4. Menjaga berat badan ideal 5. Mengatur pola makan 6. Melakukan olah raga ringan secara teratur 7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan
pengobatan diabetes secara teratur 8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid 9. Mengontrol tekanan darah Kriteria Rujukan Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis
jantung atau spesialis penyakit dalam) untuk tatalaksana lebih lanjut. Peralatan 1. Elektrokardiografi (EKG) 2. Radiologi (X ray thoraks) Prognosis Prognosis umumnya dubia ad bonamjika dilakukan
tatalaksana dini dan tepat. |
|||||||||
6. Diagram
Alur |
|
|||||||||
7. Unit
terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS II SUMPIUH |
|
SUJOTO,
SKM. NIP 19600217
198309 1 001 |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-II : D96 Worms/other parasites No. ICD-X : B76.0 Ankylostomiasis B76.1
Necatoriasis Tingkat Kemampuan 4A Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infestasi parasit Necator
americanus dan Ancylostoma
duodenale. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua
pasien ankilostomiasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK
Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
|
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Migrasi larva 1.
Rasa gatal pada kulit 2.
Pneumonitis Cacing dewasa 1.
Gangguan gastrointestinal yaitu anoreksia, mual,
muntah, diare, penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duedenum,
jejunum dan ileum.
2.
Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia
hipokromik mikrositik. 3.
Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara
infeksi sedang dan berat dengan tingkat kecedasan anak. Faktor Risiko 1.
Kurangnya penggunaan jamban keluarga. 2.
Kebiasaan menggunakan tinja sebgai pupuk. 3.
Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan
tanah. 4.
Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) ·
Gejala klinis tergantung jenis spesies cacing, jumlah
cacing, dan keadaan gizi penderita. ·
Pemeriksaan
Fisik 1.
Konjungtiva pucat 2.
Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva
yang menembus kulit disebut sebagai ground
itch. ·
Pemeriksaan
Penunjang Pemeriksaan
mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur atau larva cacing dewasa. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis ·
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Klasifikasi : 1.
Nekatoriasis
2.
Ankilostomiasis
Diagnosis Banding : - Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1.
Memberi
pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
antra lain : a.
Masing-masng
keluarga memiliki jamban keluarga b.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk c.
Menggunakan
alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah. 2.
Famakologis
a.
Pirantel
pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau b.
Mebendazol,
dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau c.
Albendazol,
pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg), dosis tunggal,
sedangkan pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak
diberikan pada wanita hamil. Creeping
eruption : tiabendazol topikal selama 1 minggu. Untuk cutaneus larva
migrans pengobatan dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut. d.
Sulfasferosus. Konseling
dan Edukasi 1.
Masing-masing
keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan
pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 2.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk. 3.
Menghindari
kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia. 4.
Menggunakan
sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah. 5.
Mencuci
tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan
air mengalir. 6.
Mennggunakan
alas kaki saat berkontak dengan tanah. Kriteria
Rujukan : - Peralatan ·
Peralatan
laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja. ·
Peralatan
laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin. Prognosis Prognosis
pada umumnya bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat kecuali
terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman Historis
Perubahan |
|
PUSKESMAS I
SUMPIUH |
|
DR. DRI
KUSRINI NIP 19720112 200212 2 004 |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : S87 (Appendicitis) No. ICD-10 : K.35.9 (Acute appendicitis) Tingkat Kemampuan 3B Apendisitis akut adalah
radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salahsatu kasus
akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera
dapat menyebabkan perforasi. Penyebab: 1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan
apendisitis akut 2.
Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing
lainnya |
|||||||||
2. Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
penatalaksanaan Apendisitis akut |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor :
……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan · Nyeri perut kanan bawah,
mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan
letak nyeri karena bersifat somatik. Gejala Klinis 1. Muntah
(rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus. 2.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. 3.
Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
4.
Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami
diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah
rektum. 5.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C
- 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. 6.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika
dan ureter. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective) · Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi a.
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit b. Kembung bila
terjadi perforasi c.
Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses 2. Palpasi Terdapat nyeri
tekan McBurney a.
Adanya
rebound tenderness (nyeri lepas tekan) b.
Adanya
defans muscular c.
Rovsing
sign positif
d.
Psoas
signpositif
e.
Obturator
Signpositif
3. Perkusi · Nyeri ketok (+) 4. Auskultasi · Peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforate 5. Colok dubur · Nyeri tekan pada jam 9-12 Tanda Peritonitis umum
(perforasi) : 1. Nyeri
seluruh abdomen 2. Pekak hati
hilang 3. Bising usus
hilang Apendiks yang mengalami
gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai
berikut: 1. Gejala
progresif dengan durasi lebih dari 36 jam 2. Demam tinggi
lebih dari 38,5oC 3. Lekositosis
(AL lebih dari 14.000) 4. Dehidrasi
dan asidosis 5. Distensi 6.
Menghilangnya bising usus 7. Nyeri tekan
kuadran kanan bawah 8. Rebound
tenderness sign 9. Rovsing
sign 10. Nyeri tekan
seluruh lapangan abdominal Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
darah perifer lengkap a.
Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil
akan meningkat. b.
Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung
jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%. c.
Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi
perforasi dan peritonitis. d.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. e.
Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
2. Foto polos
abdomen a.
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu..
b.
Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian
kanan bawah akan kolaps. c.
Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan
bawah abdomen kosong dari udara. d. Gambaran
udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. e.
Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan. f.
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara
bebas di bawah diafragma. g.
Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola
bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus),
kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya
dari appendik. Penegakan Diagnostik (Assessment)
· Diagnosis Klinis Riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis
akut. · Diagnosis Banding 1. Kolesistitis
akut 2. Divertikel
Mackelli 3. Enteritis
regional 4. Pankreatitis
5. Batu ureter 6. Cystitis 7. Kehamilan
Ektopik Terganggu (KET) 8. Salpingitis
akut Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Pasien yang telah
terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito. · Penatalaksanaan di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk: 1. Bed rest total
posisi fowler (anti Trandelenburg) 2.
Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut. 3.
Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi. 4.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah. · Komplikasi 1. Perforasi
apendiks 2. Peritonitis
umum 3. Sepsis · Kriteria Rujukan Pasien yang
telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi
cito. Peralatan · Labotorium untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap Prognosis · Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan
kondisi pasien |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai
Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
|
ARTRITIS
REMATOID |
|
|||||||||
SOP |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS GUMELAR |
|
|
|||||||||
1. Pengertian |
Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya |
||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan artritis
reumatoid di puskesmas Gumelar |
||||||||||
· 3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
||||||||||
4. Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015
Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama |
||||||||||
5. Prosedur |
Anamnesis : Gejala pada awal onset · Gejala prodromal: lelah
(malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. · Gejala spesifik pada banyak
sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai seluruh sendi terutama
sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal)
atau MTP (metatarsophalangeal), pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki.
Sendi DIP (distal interphalangeal) umumnya tidak terkena. · Gejala sinovitis pada sendi
yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan
menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam. · Gejala ekstraartikular:
mata (episkleritis), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
hematologi (anemia). Faktor Risiko 1. Wanita, 2. Faktor genetik. 3. Hormon seks. 4. Infeksi 5. Merokok Pemeriksaan Fisik · Manifestasi artikular: Bengkak/efusi sendi, nyeri
tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan neck, boutonniere,
deviasi ulnar) · Manifestasi
ekstraartikular: 1. Kulit: terdapat nodul
rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis. 2. Soft tissue
rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen
shoulder. 3. Mata dapat ditemukan
kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen,
episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit kronik. 4. Sistem respiratorik
dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial,
efusi pleura, atau fibrosis paru luas. 5. Sistem kardiovaskuler
dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena
embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati Diagnosis Klinis Diagnosis RA biasanya
didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis. Dibuat skor dari beberapa
poin dibawah ini : 1. Jumlah sendi yang terlibat
a. 1 sendi besar : 0 b. 2-10 sendi besar : 1 c. 1-3 sendi kecil (dengan
atau tanpa sendi besar) : 2 d. 4-10 sendi kecil (dengan
atau tanpa sendi besar) : 3 e. >10 sendi dengan
minimal 1 sendi kecil : 5 Sendi DIP, MTP I,
carpometacarpal I tidak termasuk dalam kriteria Yang dimaksud sendi kecil
adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari, dan pergelangan tangan Yang dimaksud sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan
pergelangan kaki. 4. Durasi a. Lebih dari 6 Minggu : 1 b. Kurang dari 6 Minggu : 0
Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA Penatalaksanaan 1. Pasien diberikan
informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada stadium akut dengan
menggunakan decker. 2. Pemberian obat anti
inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari, meloksikam
7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari. 3. Pemberian golongan
steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging
therapy). 4. Fisioterapi, tatalaksana
okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Kriteria rujukan 1. Tidak membaik dengan
pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah. 2. RA dengan komplikasi. 3. Rujukan pembedahan jika
terjadi deformitas. Prognosis Prognosis
adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan penyakit dan
penatalaksanaan selanjutnya |
||||||||||
6. Diagram Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit terkait |
|
||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
1.
Pengertian |
Jenis peradangan sendi kronis yang
biasanya terjadi pada sendi di kedua sisi tubuh, seperti tangan, pergelangan
tangan, atau lutut. |
||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pengobatan rheumatoid artritis |
||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No.188.4/
1.1.1.1.2 /415.25.33/2015 |
||||||
4.
Referensi |
PMK No.75
Tahun 2014 tentang pengobatan dasar Permenkes No
75 Tahun 2014 tentang puskesmas |
||||||
5.
Langkah-Langkah |
1. px datang dengan membawa buku rekam medis 2.Tanda gejala Bengkak pada
persendian, merah dan nyeri 3. Penatalaksanaan 1. Mengistirahatkan
sendi 2. Ibuprofen
3 x 400mg perhari 4.pencatatan pada rekam medis 5. Pasien Pulang |
Pencatatan pada
rekam medis Pasien datang tanda dan gejala bengkak pada persendian Penatalaksanaan Pasien pulang |
|||||
|
Poli Lansia,
Poli 2,Laborat,gizi |
PUSKESMAS II SUMPIUH |
|
|
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-II : D96 Worms/other
parasites No. ICD-X : B77.9 Ascariasis
unspecified Tingkat Kemampuan 4A Askariasis adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Ascaris lumbricoides. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua
pasien Askariasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan pelayanan
yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK
Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
|
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan ·
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat,
berat badan menurun, mual, muntah. Faktor Risiko 5.
Kebiasaan tidak mencuci tangan. 6.
Kurangnya penggunaan jamban. 7.
Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk. 8.
Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi
lalat yang membawa telur cacing. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik ·
Pemeriksaan tanda vital ·
Pemeriksaan generalis tubuh : konjungtiva anemis,
terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaa
penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara
langsung. Adanya telur cacing dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis ·
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
larva atau cacing dalam tinja.
Diagnosis Banding : Jenis
kecacingan lainnya Komplikasi : Anemia defisiensi besi Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 3.
Memberi
pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
antra lain : d.
Kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir e.
Menutup
makanan f.
Masing-masng
keluarga memiliki jamban keluarga g.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk h.
Kondisi
rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab. 4.
Famakologis
e.
Pirantel
pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau f.
Mebendazol,
dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau g.
Albendazol,
pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg) atau 20 ml
suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Konseling
dan Edukasi 7.
Masing-masing
keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan
pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 8.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk. 9.
Menghindari
kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia. 10. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola
limbah/sampah. 11. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan
aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir. 12. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga tetap bersih
dan tidak lembab. Kriteria
Rujukan : - Peralatan ·
Peralatan
laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja. Prognosis ·
Prognosis
pada umumnya bonam. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman Historis
Perubahan |
|
|
ASMA BRONKIAL |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
SPO |
No. Dokumen : |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tanggal Terbit : |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Halaman : |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PUSKESMAS II PURWOKERTO
TIMUR |
Tanda
Tangan |
dr. Leni Kurniati Jubaedah NIP.197211072006042013 |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
RUANG
LINGKUP |
Prosedur ini memuat langkah-langkah yang harus dilakukan
untuk menangani serangan asma dan asma jangka panjang. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TUJUAN |
1. Mengupayakan penanganan serangan asma yang cepat dan tepat untuk
menyelamatkan jiwa pasien. 2. Dengan pengobatan yang cepat dan tepat, prognosis asma menjadi lebih baik |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
KEBIJAKAN |
Semua pasien dengan serangan asma
lakukan segera penilaian derajat asma untuk menentukan tindakan penanganan
yang cepat dan tepat. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PETUGAS |
1. Dokter 2. Perawat |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PERALATAN
|
1. Tensimeter 2. Stetoskop
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PROSEDUR |
1.
Anamnesis: 1.1. Gejala batuk dan atau mengi berulang yang mempunyai
karakteristik episodik, terjadi pada malam hari (nokturnal), musiman,
berkaitan dengan aktifitas atau pencetus, reversibel, adanya riwayat atopi
dalam keluarga. 1.2. Sesak nafas terutama saat ekspirasi. 2.
Pemeriksaan fisik 1.1. Pada waktu serangan : tampak khas berupa pasien duduk
berjuang untuk menghirup udara, dada dalam posisi inspirasi dan menggunakan
otot bantu pernafasan. 1.2. Frekuensi nafas meningkat, amplitudo dangkal. 1.3. Sesak nafas, nafas cuping hidung sianosis. 1.4. Gerakan dinding dada berkurang, hipersonor. 1.5. Bunyi nafas melemah, wheezing ekspirasi, ekspirium
diperpanjang, ronki basah, ronki kering, suara lendir. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PROSEDUR |
Tabel Penilaian Derajat Serangan Asma 2.
Penatalaksanaan: 2.1.
Serangan asma
akut ringan 2.1.1. Oksigen : 4 – 6 liter/mnt ( dewasa ) ; 2 liter / menit ( anak ) 2.1.2. Agonis Beta – 2 oral : salbutamol 3 x 2-4
mg ( dewasa ); dosis anak : 0,05 – 0,1 mg / kgbb/ kali. 2.2.
Serangan asma
sedang dan berat dirujuk ke rumah sakit dengan tindakan pra rujukan yg
tepat,O2 terpasang,posisi tepat. 3.
Penatalaksanaan Lanjutan 3.1.
Hindari faktor
pencetus 3.2.
Bronkodilator :
salbutamol oral 3 x 2 mg ( dosis anak : 0,05 – 0,1 mg/kgbb/kali) atau
aminofilin oral 3 x 120 – 150 mg (dewasa). 3.3.
Kortikosteroid. 3.4.
Ekspektoran
mukolitik 3.5.
Antibiotik
diberikan jika ada dugaan infeksi bakterial : Eritromisin 3 x 250 mg
/Amoksisilin 3 x 500 mg/Kotrimoksazol 2 x 2 tablet ( Dewasa) |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
DIAGRAM ALIR |
PASIEN DATANG DILAKUKAN ANAMNESIS Keluhan :
batuk atau mengi berulang, episodic, berkaitan dengan aktivitas, atopi
keluarga dan cuaca, sesak nafas. PEMERIKSAAN FISIK : -
Tripod position -
Otot bantu nafas -
Respires meningkat Ekspirasi diperpanjang -
Wheezing ekspirasi RINGAN -
O2 -
Agonis Beta -
Steroid -
Mukolitik dan antibiotik bila perlu SEDANG Bisa
mengucapkan penggalan kalimat BERAT Hanya bias mengucapkan
kata PASIEN DIRUJUK |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
REFERENSI |
Panduan Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer,Permenkes nomer 5 thn 2014.dan kapita selekta kedokteran. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
SOP ASTIGMATISME |
|
|||||||
SOP |
No. Dokumen |
: |
|
||||||
No. Revisi |
: |
|
|||||||
Tanggal Terbit |
: |
|
|||||||
Halaman |
: |
1 / 2 |
|||||||
PUSKESMAS I TAMBAK |
|
dr. Harry Widyatomo NIP.198212202010011016 |
|||||||
1.
Pengertian |
Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan pada
satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan oleh
kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai meridian |
||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan tata laksana astigmatisme |
||||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No ....
/ .. /
SK-II/ IV/ 2016 tentang kebijakan |
||||||||
4.
Referensi |
1.
Gerhard,
K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd
Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007. 2.
Gondhowiardjo,
T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. 3.
James,
Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005. 4.
Riordan.
Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed
17. Jakarta: EGC. 2009. 5.
Sidarta,
I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2008. 6.
Vaughan,
D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000 |
||||||||
5.
Prosedur |
Masalah Kesehatan Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak
dibiaskan pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini
disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai
meridian. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur
dan sedikit distorsi yang kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien
memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat melihat lebih jelas. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum biasanya baik. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan menunjukkan
tajam penglihatan tidak maksimal dan akan bertambah baik dengan pemberian
pinhole. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal dengan
pemberian lensa silindris. Diagnosis Banding Kelainan refraksi lainnya. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang
sesuai. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Tidak diperlukan. Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan
gangguan penglihatan yang dapat dikoreksi. Kriteria Rujukan Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: 1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau 2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya
astigmatisme berat). Peralatan 1. Snellen Chart 2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial
lenses) 3. Pinhole Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam |
||||||||
6.
Langkah-Langkah |
1. Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil 2. Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa
sesuai nomor urut. 3. Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan. 4. Petugas mengukur ttv 5. Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb : ·
Keluhan Utama. ·
Keluhan tambahan. ·
Riwayat penyakit
terdahulu. ·
Riwayat penyakit
keluarga. ·
Lamanya sakit. ·
Pengobatan yang sudah
dilakukan. ·
Riwayat alergi obat. 6. Dokter
memeriksa pasien 7. Petugas memberikan resep kepada pasien 8. Pasien mengambil obat di apotek
puskesmas |
||||||||
7.
Hal-Hal yang perlu diperhatikan |
Penyampaian informasi mudah dipahami Pemeiksaan yang benar dan pengobtan yang tepat |
||||||||
8.
Unit Terkait |
1.
Pendaftaran 2.
Apotek 3.
administrasi |
||||||||
9.
Dokumen Terkait |
1. Rekam Medis 2. Buku register rawat
jalan |
||||||||
10. Rekamann
historis perubahan |
No |
Yang diubah |
Isi Perubahan |
Mulai diberlakukan |
|||||
|
|
|
|
||||||
Pengertian
|
Bells’palsy adalah
paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari paralisis
fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut, unilateral,
paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami
perbaikan pada 80-90% kasus. |
Kode Penyakit |
No. ICPC-2 : N91 Facial paralysis/Bells’
palsy No. ICD-10 : G51.0 Bells’ palsy |
Tujuan |
Prosedur ini dibuat dimaksudkan
untuk mengatur tatacara melakukan penanganan penderita bells’ palsy dengan
baik dan benar. |
Alat & Bahan |
Alat : Tempat tidur, Stetoskop,
Arloji, Thermometer, Tensimeter |
SOP |
PENATALAKSANAAN
· Karena
prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan masih
kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf
fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. · Pengobatan
dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset. · Hal
penting yang perlu diperhatikan: a.
Pengobatan inisial 1.
Steroid dan asiklovir (dengan prednison)
mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy (American Academy
Neurology/AAN, 2011). 2.
Steroid kemungkinan kuat efektif dan
meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal
(ANN, 2012). 3.
Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1
mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total selama
10 hari. 4.
Antiviral: asiklovir diberikan dengan
dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10 hari. Jika virus varicella zoster
dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari. b.
Lindungi mata Perawatan
mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari) dapat
mencegah corneal exposure. c.
Fisioterapi atau akupunktur: dapat
mempercepat perbaikan dan menurunkan sequele. RENCANA
TINDAK LANJUT Pemeriksaan
kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan setelah pengobatan. KRITERIA
RUJUKAN a. Bila dicurigai
kelainan supranuklear b. Tidak
menunjukkan perbaikan |
Unit Terkait |
Poli
Pengobatan, UGD |
|
BENDA ASING DI HIDUNG |
|
|||||||||
SPO |
No.
Dokumen : SPO/IX/U-01/04/16 |
||||||||||
No.
Revisi : 0 |
|||||||||||
Tanggal
Terbit : 4 April 2016 |
|||||||||||
Halaman :
1/2 |
|||||||||||
Puskesmas II PURWOKERTA UTARA |
|
Dr Maria Valentina 197208122002122004 |
|||||||||
1.
Pengertian |
Pengambilan benda asing di hidung dengan
menggunakan direct instrument; hooked probes; kateter; alat penyedot (suction) |
||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai
acuan dalam melakukan tindakan dengan tepat dan benar |
||||||||||
3.
Kebijakan |
Surat
Keputusan Kepala Puskesmas II Purwokerto Utara |
||||||||||
4.
Referensi |
KMK RI
Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama |
||||||||||
5.
Prosedur |
a. Alat dan Bahan 1) Sarung tangan 2) Lampu Kepala 3) Lidocain 1% dan phenylephrin 0,5% 4) Direct
instruments: hemostat, forceps alligator, forceps bayonet 5) hooked
probes 6) Kateter
foley (5-8 french) 7) Spuit
3 cc 8) Alat
penyedot (suction b. Teknik Pemeriksaa 1) Jelaskan
kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan. 2) Mencuci
tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan. 3) Pertahankan
suasana tenang di ruangan. 4) Lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien. 5) Persiapkan
peralatan yang dibutuhkan. 6) Posisikan
pasien pada sniffing position, baik terlentang ataupun dengan sedikit
elevasi kepala. Pasien yang tidak kooperatif harus difiksasi. Minta bantuan
untuk memfiksasi kepala. 7) Pemberian
anastesia dan vasokonstriktor mukosa dengan tampon adrenalin pada lubang
hidung membantu pemeriksaan dan pengambilan benda asing. Rendam kapas dengan
campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain. 8) Untuk
benda asing yang dapat terlihat jelas, tidak berbentuk bulat, dan tidak mudah
hancur, gunakan instrument hemostat, forseps alligator, atau forsep
bayonet. 9) Untuk
benda asing yang mudah dilihat namun sulit untuk dipegang, gunakan hooked
probes. Hook diletakkan dibelakang benda asing dan diputar
sehingga sudut hook terletak dibelakang benda asing. Benda asing kemudian
ditarik ke depan. 10) Untuk
benda asing kecil dan bulat yang sulit dipegang oleh instrumen, dapat juga
digunakan kateter balon. Gunakan kateter foley atau kateter fogarty.
Periksa balon kateter dan oleskan jeli lidokain 2% pada kateter. Dengan
posisi pasien supine, masukkan kateter melewati benda asing dan kembangkan
balon dengan udara atau air (2 ml untuk anak kecil dan 3 ml untuk anak yang
berbadan besar). Setelah balon dikembangkan, tarik kateter untuk mengeluarkan
benda asing. 11) Penyedotan
dengan suction digunakan untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, licin,
dan berbentuk bulat. Ujung kateter ditempatkan di benda asing, dan dilakukan
penyedotan dengan tekanan 100-140 mmHg. 12) Suction
juga digunakan untuk mengevakuasi sekret di hidung yang menghalangi benda
asing. |
||||||||||
6. Diagram
Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit
terkait |
BP Umum |
||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
|
BENDA ASING DI KONJUNGTIVA |
|
|||||||||
SOP |
No. Dokumen |
: |
|
||||||||
No. Revisi |
: |
|
|||||||||
Tanggal Terbit |
: |
|
|||||||||
Halaman |
: |
1 / 2 |
|||||||||
PUSKESMAS I
TAMBAK |
|
dr. Harry
Widyatomo NIP.198212202010011016 |
|||||||||
6.
Pengertian |
Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal tidak
dijumpai di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya
kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat
serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa dan bila timbul
infeksi sekunder |
|
|||||||||
7.
Tujuan |
Sebagai acuan tata laksana benda asing di konjungtiva |
|
|||||||||
8.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No ....
/ .. /
SK-II/ IV/ 2016 tentang SOP Benda asing di
konjungtiva |
|
|||||||||
9.
Referensi |
1.
Gondhowiardjo,
T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. 2.
Sidarta,
I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2008. 3.
Vaughan,
D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. |
|
|||||||||
10. Prosedur |
Keluhan Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke
dalam konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata
merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia. Faktor Risiko Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung,
seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait
dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Visus biasanya normal. 2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi. 3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva tarsal superior
dan/atau inferiordan/atau konjungtiva bulbi. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis banding Konjungtivitis akut Komplikasi 1. Ulkus kornea 2. Keratitis Terjadi bila benda asing pada konjungtiva tarsal
menggesek permukaan kornea dan menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi
berat dapat terjadi jika benda asing merupakan zat kimia. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing Berikut adalah cara yang dapat dilakukan: a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5% sebanyak 1-2 tetes
pada mata yang terkena benda asing. b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda
asing. c. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau
jarum suntik ukuran 23G. d. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke
tepi. e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada
tempat bekas benda asing. 2. Medikamentosa Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), misalnya
Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam selama 2 hari Konseling dan Edukasi 1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar
tidak memperberat lesi. 2. Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja
atau berkendara. 3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan
bertambah berat setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak, atau disertai dengan penurunan visus. Kriteria Rujukan 1. Bila terjadi penurunan visus 2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, misal:
karena keterbatasan fasilitas Peralatan 1. Lup 2. Lidi kapas 3. Jarum suntik 23G 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5% 5. Povidon Iodin Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam |
|
|||||||||
11. Langkah-Langkah |
9. Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil 10. Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa
sesuai nomor urut. 11. Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan. 12. Petugas mengukur ttv 13. Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb : ·
Keluhan Utama. ·
Keluhan tambahan. ·
Riwayat penyakit
terdahulu. ·
Riwayat penyakit
keluarga. ·
Lamanya sakit. ·
Pengobatan yang sudah
dilakukan. ·
Riwayat alergi obat. 14. Petugas memberikan resep kepada pasien 15. Pasien mengambil obat di apotek
puskesmas |
|
|||||||||
12. Hal-Hal yang perlu diperhatikan |
Penyampaian informasi mudah dipahami |
|
|||||||||
13. Unit Terkait |
4.
Pendaftaran 5.
UGD 6.
Apotek |
|
|||||||||
14. Dokumen Terkait |
3. Daftar hadir 4. Notulen |
|
|||||||||
15. Rekamann
historis perubahan |
No |
Yang diubah |
Isi Perubahan |
Mulai diberlakukan |
|
||||||
|
|
|
|
|
|||||||
|
Layanan
Klinis Blefaritis |
|
||
SOP |
No.
Dokumen |
: |
||
No.
Revisi |
: |
|||
Tanggal
Terbit |
: |
|||
Halaman |
: |
|||
|
|
|
1.
Pengertian |
Blefaritis adalah radang pada tepi
kelopak mata (margo palpebra) dapat disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada
tepi kelopak mata, serta dapat melibatkan folikel rambut. |
2.
Tujuan |
Mengobati pasien
dengan blefaritis yang datang berobat ke Puskesmas |
3.
Kebijakan |
|
4. Prosedur |
1. Petugas menyiapkan alat pemeriksaan, yaitu
tensimeter, stetoskop, senter, dan lup 2. Menanyakan keluhan pasien. Keluhan yang biasa
ditemui adalah gatal pada tepi kelopak mata. Dapat disertai keluhan lain
berupa merasa ada sesuatu di kelopak mata, panas pada tepi kelopak mata dan
kadang-kadang disertai rontok bulu mata. Selama tidur, sekresi mata mengering
sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka. 3. Mencari faktor resiko seperti : a) Kondisi kulit seerti dematitis seboroik b) Higiene dan lingkungan yang tidak bersih, dan c) Kesehatan atau daya tahan tubuh yang menurun 4. Melakukan pemeriksaan fisik dasar dan penunjang.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan : a) Skuama atau krusta di tepi kelopak b) Bulu mata rotok c) Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi
kelopak mata d) Dapat terjadi pembengkakak dan merah pada kelopak
mata e) Dan dapat ditemukan keropeng yang melekat erat
pada tepi kelopak mata; bila dilepaskan bisa terjadi perdarahan. 5. Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. 6. Menentukan komplikasi yang mungkin terjadi,
seperti blefarokonjungtivitis, madarosis, dan trikiasis. 7. Memberikan tata laksana berupa : a) Memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak dari kotoran dapat menggunakan sampo bayi. b) Kelopak mata dibersihkan dengan
kapas lidi hangat dan kompres hangat selama 5-10 menit. c) Apabila ditemukan tukak pada kelopak mata, salep atau tetes mata seperti eritromisin,
basitrasin atau gentamisin 2 tetes setiap 2 jam hingga gejala menghilang. 8. Melakukan konseling dan edukasi : a) Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala, alis mata, dan tepi
palpebra harus selalu dibersihkan terutama pada pasien dengan dermatitis
seboroik. b) Memberitahu pasien dan keluarga
untuk menjaga higiene personal dan lingkungan. 9. Mempertimbangkan rujukan bila tidak membaik
dengan pengobatan optimal. |
5. Referensi |
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5
Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer |
6. Unit
Terkait |
Poli Umum |
7. Rekaman Historis
No. |
Halaman |
Yang Diubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. Bagan
RUANG LINGKUP |
Protap ini mencakup diagnosis dan tata laksana
bronkhitis akut. |
||||||
TUJUAN |
Memberikan tata laksana yang tepat
pada pasien bronkhitis akut. |
||||||
KEBIJAKAN |
Berlaku untuk semua pasien. |
||||||
PETUGAS |
Dokter |
||||||
PERALATAN
|
1. Tensimeter 2. Stetoskop |
||||||
PROSEDUR |
1.
Pengertian Bronkhitis akut
sebenarnya merupakan bronkopneumonia yang lebih ringan, penyebabnya dapat
virus, mikoplasma atau bakteri. 2.
Gambaran
Klinis 2.1. Batuk yang mula-mula kering kemudian menjadi
berdahak kental dan mukopurulen, makin lama makin banyak. 2.2. Mungkin terdapat demam yang berlangsung 3-5 hari,
sesak nafas, nyeri otot dan sakit dada. 3.
Pemeriksaan
Fsik 3.1. Ditemukan ronki kasar. 4.
Pemeriksaan
Laboratorium. 4.1. Terdapat leukositosis. 5.
Penatalaksanaan
: 5.1. Selama demam beri Parasetamol 10 mg/kgbb/kali. 5.2. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): DMP
(dekstromethorfan) 15mg/kali 2 sd 3 x/hr. Kodein
(obat Doveri) dapat diberikan 3x10 mg/hr dewasa Untuk anak.> 6 thn ,Dekstrometorpan Hbr 1 mg/kgbb/hr
dibagi 3 dosis (bila batuk kering). Pemberian antitussif perlu pertimbangkan efek sesak
nafas. 5.3. Ekspectoran : GG 50-100 mg, tiap 2-6 jam bila
batuk berdahak,bromheksin,ambroksol,dosis sesuaikan . 5.4. Bronchodilator,salbutamol,teofilin,aminifillin. 5.5. Pilihan antibiotik
jika ada infeksi bakteri : Pada
penderita dewasa : 5.5.1.
Kotrimoksazol
dewasa 2 x 960 mg. 5.5.2.
Eritromisin
dewasa 4 x 500 mg. Anak 40 – 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. 5.5.3.
Amoxicillin 30 – 50 mg/kgbb perhari. 5.6. Nasehat : Istirahat, banyak minum,dilarang
merokok. 5.7. Jelaskan kemungkinan efek samping obat,sesak nafas,berdebar debar,lemas,keringat
dingin,gemetar. |
||||||
DIAGRAM
ALIR |
PASIEN DATANG DILAKUKAN ANAMNESIS Keluhan :
batuk kering / dahak, demam 3-5 hari, sesak nafas, nyeri dada PEMERIKSAAN FISIK : -
Suara dasar vasikular -
Ronki kasar -
Leukositosis TERAPI -
Berikan Paracetamol jika demam -
Berikan Dextrometorpan bila batuk kering -
Berikan Ekstpektoran bila batuk dahak -
Antibiotic : kotri, eritromicin,
amoxcilin -
Edukasi PASIEN PULANG |
||||||
REFERENSI |
Panduan
Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer,Permenkes nomer
5 thn 2014. |
|
Layanan
Klinis Buta Senja |
|
||
SOP |
No.
Dokumen |
: |
||
No.
Revisi |
: |
|||
Tanggal
Terbit |
: |
|||
Halaman |
: |
|||
|
|
1 |
1.
Pengertian |
Buta senja/ rabun senja disebut juga
nyctalopia atau hemarolopia adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik
pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan tanda
dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel
batang retina yang berperan pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa. |
2.
Tujuan |
Mengobati buta
senja yang dialami pasien yang datang berobat ke Puskesmas. |
3.
Kebijakan |
|
4. Prosedur |
1. Petugas mempersiapkan alat pemeriksaan berupa
tensimeter, stetoskop, senter, lup, dan oftalmoskop 2. Melakukan anamnesis kepada pasien. Keluhan yang
sering dikeluhkan Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan
gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup. 3. Petugas melakukan pemeriksaan fisik dasar. Dan
dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa mata. 4.
Menemukan
tanda-tanda defisiensi vitamin A seperti : Terdapat bercak bitot pada
konjungtiva, Kornea mata kering/kornea serosis, Kulit tampak kering dan
bersisik. 5. Menegakkan diagnosa klinis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik 6. Memberikan pengobatan berupa vitamin A dosis
tinggi (bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A, lubrikasi kornea, dan
pencegahan infeksi sekunder dengan tetes mata antibiotik. 7. Melakukan konseling dan Edukasi yatu dengan Memberitahu
keluarga adalah gejala dari suatu penyakit, antara lain; defisiensi vitamin A
sehingga harus dilakukan pemberian vitamin A dan cukup kebutuhan gizi.. |
5. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI
DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
6. Unit
Terkait |
Poli Umum |
7. Rekaman Historis
No. |
Halaman |
Yang Diubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. Bagan
|
CANDIDIASIS
ORAL |
|
||||
SOP |
No.
Dokumen : |
|||||
No. Revisi
: |
||||||
Tanggal
Terbit : |
||||||
Halaman : |
||||||
PUSKESMAS I WANGON |
Tanda Tangan |
dr. Tulus Budi P NIP.198203272009031006 |
||||
1. Pengertian |
Candidiasis oral adalah penyakit infeksi jamur Candida albicans yang menyerang mukosa
mulut. |
|||||
2. Tujuan |
Sebagai
pedoman dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat terhadap
pasien dengan candidiasis oral. |
|||||
3. Kebijakan |
. |
|||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA |
|||||
5. Prosedur |
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, mukosa maupun
organ dalam, sedangkan pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan : Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa metal, dan daya kecap
penderita yang berkurang. Faktor Risiko: imunodefisiensi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1.
Bercak merah, dengan maserasi
di daerah sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa) disertai bercak merah
yang terpisah di sekitarnya (satelit). 2. Guam atau oral thrush yang diselaputi pseudomembran pada
mukosa mulut. Pemeriksaan Penunjang Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10%
atau pewarnaan Gram. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Diagnosis Banding Peradangan
mukosa mulut yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Komplikasi Diare karena kandidiasis
saluran cerna. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1.
Memperbaiki status gizi dan
menjaga kebersihan oral 2.
Kontrol penyakit
predisposisinya 3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau larutan nistatin
100.000 – 200.000 IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3 hari Rencana Tindak Lanjut 1.
Dilakukan skrining pada
keluarga dan perbaikan lingkungan keluarga untuk menjaga tetap bersih dan
kering. 2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan
dengan obat anti jamur. Kriteria Rujukan Bila kandidiasis merupakan
akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV. |
|||||
1. Unit Terkait |
BP Umum, KIA, Klinik IMS, Laboratorium |
|||||
|
|
|||||
|
|
|||||
2.
Rekaman
Historis Perubahan |
||||||
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Tgl.
Mulai Diberlakukan |
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : K80 cardiac arrhytmia NOS No. ICD-10 : R09.2 Respiratory arrest/
Cardiorespiratory failure Tingkat Kemampuan 3B Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi
kegawatdaruratan karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak
yang mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh
malfungsi mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang mendadak
dan berat ini mengakibatkan kerusakan organ. Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas otot
jantung yang tidak terkoordinasi. Dengan EKG, ditunjukkan dalam bentuk
Ventricular Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan persisten VF, aliran
darah koroner menurun hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, aliran
darah katoris tidak ada sehingga menimbulkan kerusakan neurologi secara
permanen. Jenis henti jantung 1. Pulseless Electrical Activity (PEA) 2. Takikardia Ventrikel 3. Fibrilasi Ventrikel 4. Asistole |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien Cardiorespiratory Arrest yang datang ke Puskesmas Somagede
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : …………….
Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA 2.
Bigatello,
L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook of
the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006) 3.
O’Rouke.
Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed.McGraw Hill.
2009. 4.
3.
Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.
2007. |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan Pasien dibawa karena pingsan mendadak dengan henti
jantung dan paru. Sebelumnya, dapat ditandai dengan fase prodromal berupa
nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah. Hal yang perlu ditanyakan kepada keluarga pasien
adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA antara lain oleh: 1. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion atau
asidosis, hiper atau hipokalemia dan hipotermia) 2. 5 T (tension pneumothorax, tamponade, tablet atau
overdosis obat, trombosis koroner, dan thrombosis pulmoner), tersedak,
tenggelam, gagal jantung akut, emboli paru, atau keracunan karbon monoksida. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan: 1. Pasien tidak sadar 2. Tidak ada nafas 3. Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri besar
(karotis dan femoralis). Pemeriksaan Penunjang EKG Gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran VF
(Ventricular Fibrillation). Selain itu dapat pula terjadi asistol, yang
survival rate-nya lebih rendah daripada VF. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik
sedangkan anamnesis berguna untuk mengidentifikasi penyebabnya. Diagnosis Banding: - Komplikasi Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia
ensefalopati, kerusakan neurologi permanen dan kematian. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Melakukan resusitasi jantung paru pada pasien,
sesegera mungkin tanpa menunggu anamnesis dan EKG. 2. Pasang oksigen dan IV line Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien dan
tindak lanjut dari tindakan yang telah dilakukan, serta meminta keluarga
untuk tetap tenang pada kondisi tersebut. Rencana Tindak Lanjut Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk ke
spesialis. Kriteria rujukan Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of
Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk ke layanan sekunder untuk
tatalaksana lebih lanjut. Peralatan 1. Elektrokardiografi (EKG) 2. Tabung oksigen 3. Bag valve mask Prognosis Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung pada
waktu dilakukannya penanganan medis. |
|||||||||
6. Diagram
Alur |
|
|||||||||
7. Unit
terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
Fimosis
1. Pengertian |
Common Cold adalah keluarnya cairan dari hidung,
hidung yang terasa buntu dan iritasi tenggorokan yang kemudian mengakibatkan
timbulnya rasa batuk. Cairan hidung yang purulen juga tidak dapat dijadikan
suatu bukti adanya infeksi bakteri. |
||||||||||||
2. Tujuan |
Memberikan tata laksana
sesuai pengobatan rasional |
||||||||||||
3. Kebijakan |
Selain pengobatan simtomatik
perlu juga diberikan psikoterapi |
||||||||||||
4. Referensi |
|
||||||||||||
5. Prosedur |
PETUGAS 1.
Dokter 2.
perawat PERALATAN 1.
Tensimeter 2.
Steteskop PROSEDUR Tanda dan Gejala Infan
biasanya akan mengalami demam, 380C atau lebih dan kesulitan untuk
memberikan makanan maupun menidurkannya. Pada anak yang lebih besar, biasanya
anak mengeluhkan sakit-sakit pada badan, badan lemah dan anoreksia. Demam
yang tidak mengalami komplikasi biasanya akan sehat kembali dalam jangka
waktu 7 hari. Demam lama dengan gejala yang semakin memburuk selama 7 hari
tersebut mengindikasikan adanya suatu infeksi bakteri sekunder, sedangkan
hidung baru akan terlihat bersih dari bekas ingus setelah dua minggu. |
||||||||||||
6.
Langkah-Langkah |
Penatalaksanaan Tidak
diperlukan suatu terapi antibiotik karena common cold adalah suatu self-
limiting illness sehingga tidak diperlukan suatu terapi yang spesifik.
Obat-obatan common cold yang biasanya diresepkan oleh dokter belum
menunjukkan hasil yang signifikan dan umumnya tidak direkomendasikan.
Walaupun demikian, terapi umum yang akan membantu penderita antara lain;
Hindari asap rokok |
||||||||||||
7.
Bagan Alir |
|
||||||||||||
8.
Hal-hal yang perlu diperhatikan |
|
||||||||||||
9.
Unit Terkait |
1.
Ruang Periksa 2.
Rung KIA 3.
Ruang Bersalin 4.
UGD 5.
Rawat Inap |
||||||||||||
10. Dokumen Terkait |
1.
Buku register pasien 2.
Buku observasi 3.
Blangko pemakaian obat |
||||||||||||
11. Rekaman Historis perubahan |
|
|
CONTACT TRACING
KUSTA |
|
|
SOP |
No.
Dokumen : /PKM.DHD/SOP/ I /2018 |
||
No. Revisi : |
|||
Tanggal
Terbit : 2018 |
|||
Halaman : |
|||
PUSKESMAS DUHIADAA |
|
Nelyana, SKM NIP: 19811225
200501 2 020 |
|
1.
Pengertian |
Contact tracing
Kusta adalah pemeriksaan anggota keluarga yang kontak erat dan tinggal
serumah dengan pasien yang dilakukan di puskesmas atau saat kunjungan rumah |
||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan
dalam penatalaksanaan contact tracing kusta untuk meningkatkan kinerja di
Puskesmas Duhiadaa |
||
3.
Kebijakan |
|
||
4. Referensi |
Permenkes no. 5
tahun 2017 tentang Panduan Klinis bagi Dokter di Fasyankes Primer |
||
5.
Prosedur/
Langkah - langkah |
a.
Petugas menerima pasien kusta baru. b.
Petugas
mencatat seluruh anggota keluarga yang kontak serumah dengan pasien
kusta dalam kartu status pasien c.
Petugas menjelaskan kepada pasien dan
anggota keluarga yang mengantar tentang pentingnya pemeriksaan atau screening
awal untuk mengetahui tnda dan gejala kusta d.
Petugas mengirim anggota keluarga ke
laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan cuka-cuki (cuping kanan dan cuping
kiri) dan skin smear pada macula (apabila ditemukan tanda dan gejala kusta). e.
Petugas memberikan KIE bahwa hasil skin
smear bisa diambil kurang lebih 3 hari. f.
Petugas menjelaskan kepada anggota
keluarga tentang hasil dari pemeriksaan skin smear. g.
Petugas melakukan pencatatan dan
pelaporan pada kartu status pasien |
||
6.
Unit
Terkait |
a.
Loket b.
Unit layanan poli umum c.
Apotek |
Puskesmas KARANGGEDE |
PENANGANAN DERMATITIS CRACKED NIPLE |
||||
SPO |
No. Kode |
: |
|
Ditetapkan oleh
Kepala UPTD puskesmas karanggede dr Agung Budi P NIP
196808082006041010 |
|
Terbitan |
: |
|
|||
No. Revisi |
: |
|
|||
Tgl. Mulai Berlaku |
: |
|
|||
Halaman |
: |
|
1. Definisi |
Cracked niple adalah kerusakan pada puting mungkin
terjadi karena trauma pada puting akibat cara menyusui yang salah.
Diperkirakan sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple pain dan 26% di
antaranya mengalami lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple crack. |
|||||||
2.
Tujuan |
1. Memberikan penatalaksanaan Cracked niple dengan benar 2. Menurunkan
angka kejadian Cracked niple
dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari Cracked niple |
|||||||
3.
Kebijakan |
Langkah-langkah dalam
penanganan Cracked niple menerapkan langkah SPO yang
telah ditetapkan |
|||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 |
|||||||
5. Prosedur |
1. Memberikan penjelasan kepada pasien
tentang Cracked
niple dan cara
pencegahannya dengan teknik menyusui yang benar, puting harus kering ,mengoleskan colostrum
atau ASI yang keluar di sekitar puting susu dan membiarkan kering, mengistiraharkan payudara
apabila lecet sangat berat selama 24 jam, lakukan pengompresan
dengan kain basah dan hangat selama 5 menit jika terjadi bendungan payudara. 2. Memberikan tablet
Parasetamol tiap 4–6 jam untuk menghilang-kan nyeri. 3. Pemberian Lanolin dan
vitamin E 4.
Rujukan diberikan
jika terjadi kondisi yang mengakibatkan abses payudara |
|||||||
6. Ruang Lingkup |
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Poskesdes/ PKD, Posyandu |
|||||||
7. Diagram alir |
Anamnesa Pemeriksaan
fisik Penegakan
diagnosis Penatalaksanaan medikamentosa Non
medikamentosa rujuk |
|||||||
8. 6. Dokumen Terkait |
- Buku Rujukan - Form laporan insiden pada jam kerja - Buku register ruang tindakan |
|||||||
9. 7. Distribusi |
Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan |
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama
Kepala Puskesmas |
||||||||
Pengertian |
No. ICPC-2 :
D96 Worms/other parasites No. ICD-10 :
B76.9 Hookworm disease, unspecified Tingkat
Kemampuan 4A MasalahKesehatan CutaneusLarva Migrans (Creeping Eruption) merupakankelainankulitberupaperadanganberbentuk
linear atauberkelok-kelok, menimbuldanprogresif, yang disebabkanolehinvasi
larva cacingtambang yang berasaldarianjingdankucing.
Penularanmelaluikontaklangsungdengan larva. PrevalensiCutaneus Larva
Migrandi Indonesia yang dilaporkanolehsebuahpenelitianpadatahun 2012 di
KulonProgoadalahsekitar 15%. |
|||||||||
Tujuan |
Semua pasien cutaneus larva migransyang datang ke Puskesmas ABC
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
Kebijakan |
KeputusanKepala
Pusat Kesehatan MasyarakatKaranglewasnomor: 440/C.VII/SK/06/I/2016TentangKebijakanPelayananKlinisPuskesmasKaranglewas |
|||||||||
Referensi |
KeputusanMenteriKesehatanRepublik
IndonesiaNomor HK.02.02/MENKES/514/2015TentangPanduanPraktikKlinisBagiDokter
Di FasilitasPelayananKesehatan Tingkat Pertama |
|||||||||
Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasienmengeluhgataldanpanaspadatempatinfeksi. Padaawalinfeksi,
lesiberbentukpapul yang kemudiandiikutidenganlesiberbentuk linear
atauberkelok-kelok yang terusmenjalarmemanjang.
Keluhandirasakanmunculsekitarempatharisetelahterpajan. FaktorRisiko Orang yang berjalantanpa alas kaki, atauseringberkontakdengantanahataupasir.
HasilPemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana(Objective) PemeriksaanFisikPatognomonis Lesiawalberupapapuleritema yang menjalardantersusun linear
atauberkelok-kelokmeyerupaibenangdengankecepatan 2 cm per hari. Predileksipenyakitiniterutamapadadaerahtelapak kaki, bokong, genital
dantangan. PemeriksaanPenunjang Pemeriksaanpenunjang yang khusustidakada. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkanberdasarkan anamnesis danpemeriksaanfisik. Diagnosis Banding Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis Komplikasi Dapatterjadiinfeksisekunder. PenatalaksanaanKomprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Memodifikasi gaya hidup dengan menggunakan alas kaki dan sarung tangan
pada saat melakukan aktifitas yang berkontak dengan tanah, seperti berkebun
dan lain-lain. 2. Terapi farmakologi dengan Albendazol 400 mg sekali sehari, selama 3
hari. 3. Untuk mengurangi gejala pada penderita dapat dilakukan penyemprotan
Etil Klorida pada lokasi lesi, namun hal ini tidak membunuh larva. 4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi sesuai dengan
tatalaksana pioderma. KonselingdanEdukasi Edukasipasiendankeluargauntukpencegahanpenyakitdenganmenjagakebersihandiri. KriteriaRujukan Pasiendirujukapabiladalamwaktu 8 minggutidakmembaikdenganterapi. Peralatan Lup Prognosis Prognosis umumnyabonam. Penyakitinibersifatself-limited,
karenasebagianbesar larva matidanlesimembaikdalam 2-8 minggu, jaranghingga 2
tahun. |
|||||||||
Diagram Alur |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
RekamanHistorisPerubahan |
|
|
|
|
||||||||||
SPO |
No.Dokumen:SPO/VIII/UKP/ /2016 |
|||||||||||
No.
Revisi : |
||||||||||||
Tanggal
Terbit:04 April 2016 |
||||||||||||
Halaman :1/8 |
||||||||||||
Puskesmas
II Wangon |
|
drg.Imam
Hidayat NIP.196008181989011001 |
||||||||||
1.
Pengertian |
Demam berdarah dengue adalah infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue. |
|||||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan
penerapan langkah-langkah agar......... |
|||||||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas 2 Wangon nomer............. |
|||||||||||
4.
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015 |
|||||||||||
5.
Prosedur |
Anamnesis (Subjective) 1. Demam tinggi, mendadak,
terus menerus selama 2 – 7 hari. 2. Manifestasi perdarahan,
seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi berdarah, muntah
berdarah, atau buang air besar berdarah. 3. Gejala nyeri kepala,
mialgia, artralgia, nyeri retroorbital. 4. Gejala gastrointestinal,
seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati atau di bawah tulang
iga) 5. Kadang disertai juga
dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk, pilek. 6. Pada kondisi syok, anak
merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan kesadaran. 7. Pada bayi, demam yang tinggi
dapat menimbulkan kejang. Faktor Risiko 1. Sanitasi lingkungan yang
kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan barang bekas, genangan air
yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari. 2. Adanya jentik nyamuk Aedes
aegypti pada genangan air di tempat tinggal pasien sehari-hari. 3. Adanya penderita demam
berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonik untuk
demam dengue 1. Suhu > 37,5 derajat
celcius 2. Ptekie, ekimosis,
purpura 3. Perdarahan mukosa 4. Rumple Leed (+) Tanda Patognomonis untuk
demam berdarah dengue 1. Suhu > 37,5 derajat
celcius 2. Ptekie, ekimosis,
purpura 3. Perdarahan mukosa 4. Rumple Leed (+) 5. Hepatomegali 6. Splenomegali 7. Untuk mengetahui terjadi
kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan asites. 8. Hematemesis atau melena Pemeriksaan Penunjang : 1. Darah perifer lengkap,
yang menunjukkan: a. Trombositopenia (≤
100.000/μL). b. Kebocoran plasma yang
ditandai dengan: • peningkatan hematokrit
(Ht) ≥ 20% dari nilai standar data populasi menurut umur • Ditemukan adanya efusi
pleura, asites • Hipoalbuminemia,
hipoproteinemia c. Leukopenia < 4000/μL.
2. Serologi Dengue, yaitu
IgM dan IgG anti-Dengue, yang titernya dapat terdeteksi setelah hari ke-5
demam. Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis Demam
Dengue 1. Demam 2–7 hari yang
timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik. 2. Adanya manifestasi
perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji tourniquet
positif. 3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia,
nyeri retroorbital. 4. Adanya kasus DBD baik di
lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah. 5. Leukopenia <
4.000/mm3 6. Trombositopenia <
100.000/mm3 Apabila ditemukan gejala
demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala lain, diagnosis
klinis demam dengue dapat ditegakkan. Diagnosis Klinis Demam
Berdarah Dengue 1. Demam 2–7 hari yang
timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua) 2. Adanya manifestasi
perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji Tourniquette
yang positif 3. Sakit kepala, mialgia,
artralgia, nyeri retroorbital 4. Adanya kasus demam
berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah a.
Hepatomegali b. Adanya kebocoran plasma
yang ditandai dengan salah satu: • Peningkatan nilai
hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi menurut umur
• Ditemukan adanya efusi
pleura, asites • Hipoalbuminemia,
hipoproteinemia c. Trombositopenia <100.000/mm3 Adanya demam seperti di
atas disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis Demam
Berdarah Dengue. Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya syok pada penderita Demam Berdarah Dengue. Kriteria Diagnosis
Laboratoris Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan untuk survailans epidemiologi,
terdiri atas: Probable Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi antidengue. Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis
diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue dengan pemeriksaan RT-PCR,
antigen dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi
pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan. Isolasi virus Dengue
memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, namun
karena memerlukan teknologi yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan
ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. Diagnosis Banding 1. Demam karena infeksi
virus (influenza , chikungunya, dan lain-lain) 2. Idiopathic
thrombocytopenic purpura 3. Demam tifoid Komplikasi Dengue Shock Syndrome
(DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati Penatalaksanaan
komprehensif (Plan) Penatalaksanaan pada Pasien
Dewasa 1. Terapi simptomatik
dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3x500-1000 mg). 2. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi - Alur penanganan pasien
dengan demam dengue/demam berdarah dengue, yaitu:pemeriksaan penunjang
Lanjutan - Pemeriksaan Kadar
Trombosit dan Hematokrit secara serial Gambar 1.7 Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah Kriteria Rujukan 1. Terjadi perdarahan masif
(hematemesis, melena). 2. Dengan pemberian cairan
kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum membaik. 3. Terjadi komplikasi atau
keadaan klinis yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan kesadaran, dan
lainnya. Penatalaksanaan pada Pasien
Anak Demam berdarah dengue (DBD)
tanpa syok 1. Bila anak dapat minum a. Berikan anak banyak
minum • Dosis larutan per oral: 1
– 2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit. • Jenis larutan per oral:
air putih, teh manis, oralit, jus buah, air sirup, atau susu. b. Berikan cairan intravena
(infus) sesuai dengan kebutuhan untuk dehidrasi sedang. Berikan hanya larutan
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat (RL) atau Ringer Asetat (RA),
dengan dosis sesuai berat badan sebagai berikut: • Berat badan < 15 kg :
7 ml/kgBB/jam • Berat badan 15 – 40 kg :
5 ml/kgBB/jam • Berat badan > 40 kg :
3 ml/kgBB/jam 2. Bila anak tidak dapat
minum, berikan cairan infus kristaloid isotonik sesuai kebutuhan untuk
dehidrasi sedang sesuai dengan dosis yang telah dijelaskan di atas. 3. Lakukan pemantauan:
tanda vital dan diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per 4-6 jam. a. Bila terjadi penurunan
hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan jumlah cairan secara bertahap
sampai keadaan klinis stabil. b. Bila terjadi perburukan
klinis, lakukan penatalaksanaan DBD dengan syok. 4. Bila anak demam, berikan
antipiretik (Parasetamol 10 – 15 mg/kgBB/kali) per oral. Hindari Ibuprofen
dan Asetosal. 5. Pengobatan suportif lain
sesuai indikasi. Demam berdarah dengue (DBD)
dengan syok 1. Kondisi ini merupakan
gawat darurat dan mengharuskan rujukan segera ke RS. 2. Penatalaksanaan awal: a. Berikan oksigen 2 – 4
liter/menit melalui kanul hidung atau sungkup muka. b. Pasang akses intravena
sambil melakukan pungsi vena untuk pemeriksaan DPL. c. Berikan infus larutan
kristaloid (RL atau RA) 20 ml/kg secepatnya. d. Lakukan pemantauan klinis
(tanda vital, perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30 menit. e. Jika setelah pemberian
cairan inisial tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi pemberian infus larutan
kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan
pemberian larutan koloid 10 – 20 ml/kgBB/jam (maksimal 30 ml/kgBB/24 jam). f. Jika nilai Ht dan Hb
menurun namun tidak terjadi perbaikan klinis, pertimbangkan terjadinya
perdarahan tersembunyi. Berikan transfusi darah bila fasilitas tersedia dan
larutan koloid. Segera rujuk. g. Jika terdapat perbaikan
klinis, kurangi jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2 – 4 jam. Secara
bertahap diturunkan tiap 4 – 6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium. h. Dalam banyak kasus,
cairan intravena dapat dihentikan setelah 36 – 48 jam. Hindari pemberian
cairan secara berlebihan. 3. Pengobatan suportif lain
sesuai indikasi. Rencana Tindak Lanjut Demam berdarah dengue (DBD)
tanpa syok 1. Pemantauan klinis (tanda
vital, perfusi perifer, diuresis) dilakukan setiap satu jam. 2. Pemantauan laboratorium
(Ht, Hb, trombosit) dilakukan setiap 4-6 jam, minimal 1 kali setiap hari. 3. Pemantauan cairan yang
masuk dan keluar. Demam berdarah dengue (DBD)
dengan syok Dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama merujuk pasien ke RS jika kondisi pasien
stabil. Persyaratan perawatan di
rumah 1. Persyaratan untuk pasien
dan keluarga a. DBD non-syok(tanpa
kegagalan sirkulasi). b. Bila anak dapat minum
dengan adekuat. c. Bila keluarga mampu
melakukan perawatan di rumah dengan adekuat. 2. Persyaratan untuk tenaga
kesehatan a. Adanya 1 dokter dan
perawat tetap yang bertanggung jawab penuh terhadap tatalaksana pasien. b. Semua kegiatan
tatalaksana dapat dilaksanakan dengan baik di rumah. c. Dokter dan/atau perawat
mem-follow up pasien setiap 6 – 8 jam dan setiap hari, sesuai kondisi
klinis. d. Dokter dan/atau perawat
dapat berkomunikasi seara lancar dengan keluarga pasien sepanjang masa
tatalaksana. Kriteria Rujukan 1. DBD dengan syok
(terdapat kegagalan sirkulasi). 2. Bila anak tidak dapat
minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada kegagalan sirkulasi. 3. Bila keluarga tidak
mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat, walaupun DBD tanpa syok. Konseling dan Edukasi a. Penjelasan mengenai
diagnosis, komplikasi, prognosis, dan rencana tatalaksana. b. Penjelasan mengenai
tanda-tanda bahaya (warning signs) yang perlu diwaspadai dan kapan
harus segera ke layanan kesehatan. c. Penjelasan mengenai jumlah
cairan yang dibutuhkan oleh anak. d. Penjelasan mengenai diet
nutrisi yang perlu diberikan. e. Penjelasan mengenai cara
minum obat. f. Penjelasan mengenai
faktor risiko dan cara-cara pencegahan yang berkaitan dengan perbaikan
higiene personal, perbaikan sanitasi lingkungan, terutama metode 4M plus
seminggu sekali, yang terdiri atas: 1) Menguras wadah air,
seperti bak mandi, tempayan, ember, vas bunga, tempat minum burung, dan
penampung air kulkas agar telur dan jentik Aedes aegypti mati. 2) Menutup rapat semua
wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak dapat masuk dan bertelur. 3) Mengubur atau
memusnahkan semua barang bekas yang dapat menampung air hujan agar tidak
menjadi sarang dan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti. 4) Memantau semua wadah air
yang dapat menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti berkembang biak. 5) Tidak menggantung baju,
menghindari gigitan nyamuk, membubuhkan bubuk abate, dan memelihara ikan. Prognosis Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena hal
ini tergantung dari derajat beratnya penyakit. |
|||||||||||
6.
Diagram Alir (bila perlu) |
|
|||||||||||
7.
Unit terkait |
SemuaRuangan |
|||||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
|||||||||||
Pengertian
|
Delirium adalah gangguan kesadaran yang ditandai dengan
berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. |
KodePenyakit |
No. ICPC II : P71 Organic psychosis other No. ICD X : F05.9 Delirium, unspecified |
Tujuan |
Dapat melakukan pengelolaan penyakit yang
meliputi: 1. Anamnesa (Subjective) 2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Sederhana (Objective) 3. Penegakkan Diagnosa (Assessment) 4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) |
Alat&Bahan |
Stetoskop, Tensimeter |
SOP |
1. Melakukan Anamnesa(Subjective) Keluhan Pasien datang dengan penurunan
kesadaran, ditandai dengan: 1. Berkurangnya atensi 2. Gangguan psikomotor 3. Gangguan emosi 4. Arus dan isi pikir yang kacau 5. Gangguan siklus bangun tidur 6. Gejala diatas terjadi
dalam jangka waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari Hasil yang dapat diperoleh pada
autoanamnesis, yaitu: 1. Pasien tidak mampu
menjawab pertanyaan dokter sesuai dengan apa yang diharapkan, ditanyakan. 2. Adanya perilaku yang
tidak terkendali. Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan
medik lain yang mendahului terjadinya gejala delirium, misalnya gangguan
medik umum, atau penyalahgunaan zat. Faktor Risiko Adanya gangguan medik umum, seperti: 1. Penyakit SSP (trauma
kepala, tumor, pendarahan, TIA) 2. Penyakit sistemik,
seperti: infeksi, gangguan metabolik, penyakit jantung, COPD, gangguan
ginjal, gangguan hepar 3. Penyalahgunaan zat 2. Melakukan PemeriksaanFisikdanPemeriksaanPenunjangSederhana(Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik
generalis terutama sesuai penyakit utama. Pemeriksaan Penunjang : - 3.
PenegakanDiagnosa(Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Confusion Assessment Method (Algoritma) Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam
DSM-IV-TR (Diagnosis and Statistical Manual for Mental Disorder – IV –
Text Revised), adalah: 1. Gangguan kesadaran
disertai dengan menurunnya kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, dan
mengubah perhatian; 2. Gangguan Perubahan
kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau
perkembangan gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan demensia
sebelumnya, yang sedang berjalan atau memberat; 3. Perkembangan dari
gangguan selama periode waktu yang singkat (umumnya jam sampai hari) dan
kecenderungan untuk berfluktuasi dalam perjalanan hariannya; 4. Bukti dari riwayat,
pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa gangguan tersebut
disebabkan oleh: (a) kondisi medis umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus
obat dari suatu substansi. 4.
PenatalaksanaanKomprehensif(Plan) Tujuan Terapi 1. Mencari dan mengobati penyebab
delirium 2. Memastikan keamanan pasien 3. Mengobati gangguan perilaku terkait
delirium, misalnya agitasi psikomotor Penatalaksanaan 1. Kondisi pasien harus
dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan selama perawatan. 2. Apabila pasien telah
memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan obat pada terapi yang
sedang dijalanin oleh pasien. 3. Bila belum
mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat anti psikotik. Obat ini
diberikan apabila ditemukan gejala psikosis dan atau agitasi, yaitu:
Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ IntraVena (IV). Injeksi dapat
diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimal 20 mg/hari. Konseling dan Edukasi Memberikan informasi terhadap keluarga/ care
giver agar mereka dapat memahami tentang delirium dan terapinya. Kriteria Rujukan Bila gejala agitasi telah terkendali,
pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder untuk
memperbaiki penyakit utamanya. |
Unit Terkait |
Apotek, Rumah Sakit |
Status Dokumen |
|
||||
|
|
||||
PUSKESMAS RAWALO |
PROTAP
DEMAM |
||||
No Dokumen PKM.RWL. UGD-19 |
No Revisi 00 |
Halaman 1/1 |
|||
PROTAP UGD |
Tanggal Terbit 22 Maret 2016 |
Disetujui oleh, Kepala UPTD Puskesmas Rawalo dr. AENDAH SUSANTO NIP. 19601200 199003 1 002 |
|||
Pengertian |
Kriteria Diagnosis
Demam >
37,6OC terus-menerus menggigil |
||||
Tujuan
|
Sebagai acuan tatalaksana penderita deman |
||||
Kebijakan
|
Dibawah tanggung jawab dan pengawasan dokter |
||||
Prosedur |
Diagnosis Diferensial
-
Demam typoid, DHF Malaria
+Common Cold + FOU (Fever Unknown Origin) Pemeriksaan Penunjang
-
Hb, Leko, Diff, Trombosit, Darah Tepi,
Widal Perawatan
PUSKESMAS
-
Demam lama (> 1 minggu) -
Demam dengan perdarahan langsung dirujuk -
Demam
dengan kesadaran menurun langsung dirujuk Terapi
-
Demam Typhoid : Chloramphenicol -
Malaria : Chloroquin -
DHF : Infus RL, Penyulit :
-
Septik sjok Lama
perawatan : 1minggu |
||||
Unit terkait |
RAWAT INAP, BP, PUSTU/POLINDES
|
||||
Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas |
Penanganan Demam Typhoid |
Puskesmas Patikraja |
||
SPO |
No. Kode
: 6/ 13/ 013 |
Ditetapkan
Oleh Kepala Puskesmas Patikraja Priyono,SKM.MM NIP: 19590215 198012 1 007 |
||
Terbitan
:01 |
||||
No. Revisi :
0 |
||||
Tgl. Mulai Berlaku :1
Februari 2013. |
||||
Halaman :
1- 2 |
||||
No. Kode : B/ VI/ BPU/ SPO/ 6/ 13/013. |
1.
|
Ruang Lingkup |
Protap ini mencakup diagnosis dan
penatalaksanaan Demam Typhoid |
|||||||||||||||
2.
|
Tujuan |
Memberikan penatalaksanaan yang
menyeluruh pasien Demam Typhoid |
|||||||||||||||
3.
|
Kebijakan |
Berlaku
untuk semua pasien. |
|||||||||||||||
4.
|
Referensi |
1. Keputusan
Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.) 2. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006) 3. Feigin RD,
Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
4. Long SS,
Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long,
et al., 2003) 5. Gershon AA,
Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004) 6. Pomerans AJ,
Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002) 7. CDC. Typhoid
fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.htm (Center
for Disease and Control, 2005) -133- 8. Kalra SP,
Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003) 9. Tam FCH, King
TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects not only
typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria.
Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008) 10. Beig FK,
Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-Ã -vis blood
culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in
a resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et
al., 2010) 11. Summaries of
infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section 3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3.
117 (Anon., 2009) |
|||||||||||||||
5.
|
Prosedur |
Hasil
Anamnesis (Subjective) Keluhan
1. Demam turun naik
terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-ladder.
Demam tinggi dapatterjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua. 2. Sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal 3. Gangguan
gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual, muntah,
nyeri abdomen dan BAB berdarah 4. Gejala penyerta lain,
seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia 5. Pada demam tifoid berat,
dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang. Faktor
Risiko 1. Higiene personal yang
kurang baik, terutama jarang mencuci tangan. 2. Higiene makanan dan
minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang
tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat. 3. Sanitasi lingkungan yang
kurang baik. 4. Adanya outbreak demam
tifoid di sekitar tempat tinggal sehari-hari. 5. Adanya carrier tifoid
di sekitar pasien. 6. Kondisi imunodefisiensi.
Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum biasanya tampak
sakit sedang atau sakit berat. 2. Kesadaran: dapat compos
mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan, seperti apatis,
somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma) 3. Demam, suhu > 37,5oC.
4. Dapat ditemukan
bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut per
menit setiap kenaikan suhu 1oC. 5. Ikterus 6. Pemeriksaan mulut: typhoid
tongue, tremor lidah, halitosis 7. Pemeriksaan abdomen:
nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali 8. Delirium pada kasus yang
berat Pemeriksaan
fisik pada keadaan lanjut 1. Penurunan kesadaran
ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila
klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome). 2. Pada penderita dengan
toksik, gejala delirium lebih menonjol. 3. Nyeri perut dengan
tanda-tanda akut abdomen Pemeriksaan
Penunjang 1.
Darah
perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis Dapat menunjukkan: leukopenia /
leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis,
trombositopenia (biasanya ringan), anemia. 2. Serologi a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)®
· Hanya dapat mendeteksi
antibody IgM Salmonella typhi · Dapat dilakukan pada 4-5
hari pertama demam b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
· Dapat mendeteksi IgM dan
IgG Salmonella typhi · Dapat dilakukan pada 4-5
hari pertama demam c. Tes Widal tidak direkomendasi · Dilakukan setelah demam
berlangsung 7 hari. · Interpretasi hasil positif
bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4
kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari. · Hasil pemeriksaan Widal
positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang
bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal
tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena
terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan
over-treatment. 3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) Dapat dilakukan pada
spesimen: a. Darah :
Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi b. Feses :
Pada minggu kedua sakit c. Urin :
Pada minggu kedua atau ketiga sakit d.
Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carriertyphoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya:
SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase Penegakan
Diagnosis (Assessment) Suspek
demam tifoid (Suspect case) Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran
cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat
pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Demam
tifoid klinis (Probable case) Suspek
demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid. Diagnosis
Banding Demam
berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A,
sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses
dalam, demam yang berhubungan dengan infeksi HIV. Komplikasi
Biasanya
terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara lain
perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain. 1.
Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati) Penderita
dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan
kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma. 2.
Syok septik Penderita
dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat.
Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah turun,
nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin. 3.
Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis) Komplikasi
perdarahan ditandai denganhematoschezia. Dapat juga diketahui dengan
pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan
gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan
pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut. 4.
Hepatitis tifosa Kelainan
berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati. 5.
Pankreatitis tifosa Terdapat
tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Tanda
ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan. 6.
Pneumonia Didapatkan
tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos toraks Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
1.
Terapi suportif dapat dilakukan dengan: a.
Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi b.
Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun
parenteral. c.
Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah
serat. d.
Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas e.
Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien 2.
Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi
keluhan gastrointestinal. 3.
Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk
penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole
(Kotrimoksazol). 4.
Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif,
dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu
Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun
karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang). Tabel
Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid
|
|||||||||||||||
6.
|
Distribusi |
|
|||||||||||||||
7.
|
Dokumen Terkait |
1.
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2.
Kepala Puskesmas |
8.
Rekaman Historis
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : P70 Dementia No.
ICD-10 : F03 Unspecified
dementia Tingkat
Kemampuan 3A Masalah
Kesehatan Demensia merupakan sindrom akibat
penyakit otak yang bersifat kronik progresif, ditandai dengan kemunduran
fungsi kognitif multiple, termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya
tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial,
bahasa dan daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan deteriorasi
dalam kontrolemosi, hubungan sosial dan motivasi. Pada umumnya terjadi pada usia lanjut,
ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain
yang secara primer dan sekunder mempengaruhi otak. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua
pasien demensia yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK
Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama,
1993. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993) 3. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia, 2012) 4.
3.
World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological
and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World
Health Organization, 2010) |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil
Anamnesis (Subjective) Keluhan
Keluhan utama adalah gangguan daya
ingat, mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami, dan kesulitan
mempelajari informasi baru. Diawali dengan sering lupa terhadap kegiatan
rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama sendiri
atau keluarga. Faktor
Risiko
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
(Objective) Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan
penunjang Pemeriksaan laboratorium dilakukan
jika ada kecurigaan adanya kondisi medis yang menimbulkan dan memper berat
gejala. Dapat dilakukan Mini Mental State Examination (MMSE). Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis
Klinis Pemeriksaan
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kriteria
Diagnosis
Klasifikasi
Diagnosis
Banding
PenatalaksanaanKomprehensif
(Plan) Penatalaksanaan
Non
farmakologi
Farmakologi
a.
Jangan
berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil, galantamine dan
rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk semua kasus demensia.
Pertimbangkan pemberiannya hanya pada kondisi yang memungkinkan diagnosis
spesifik penyakit Alzheimer ditegakkan dan tersedia dukungan serta supervisi
adekuat oleh spesialis serta pemantauan efek samping oleh pelaku rawat. b.
Bila
pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik dosis rendah,
seperti Haloperidol 0,5 – 1 mg/hari. Kriteria
Rujukan
Prognosis Prognosis
umumnya ad vitam adalah dubia ad bonam, sedangkan fungsi adalah
dubia ad malam. Ad sanationam adalah ad malam. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
|
|||||||||
7. Unit terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman Historis
Perubahan |
|
|
DERMATITIS
ATOPIK |
|
|||||||||
SPO |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS
I SUMBANG |
|
Wahyanto,
SKM.,M.Kes. NIP.19650516
198803 1 104 |
|||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 :
S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10 :
L20 Atopic dermatitis Tingkat
Kemampuan Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant)
4A Dermatitis
Atopik (DA) adalah peradangan kulit berulang dan kronis dengan disertai
gatal. Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak dan sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada
keluarga atau penderita. |
||||||||||
2.
Tujuan |
Pasien
ditangani sesuai prosedur |
||||||||||
3.
Kebijakan |
sk |
||||||||||
4.
Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
||||||||||
5.
Prosedur |
Hasil Anamnesis
(Subjective) Keluhan Pasien datang
dengan keluhan gatal yang bervariasi lokasinya tergantung pada jenis
dermatitis atopik (lihat klasifikasi). Gejala dapat
hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.
Akibatnya penderita akan menggaruk. Pasien biasanya
juga mempunyai riwayat sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau
merasa tertekan. Faktor Risiko 1. Wanita lebih
banyak menderita DA dibandingkan pria (rasio 1,3 : 1). 2. Riwayat
atopi pada pasien dan atau keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis
alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis atopik, dan lain-lain). 3. Faktor
lingkungan: jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik.
4. Riwayat
sensitif terhadap wol, bulu kucing, anjing, ayam, burung, dan sejenisnya. Faktor Pemicu 1. Makanan:
telur, susu, gandum, kedelai, dan kacang tanah. 2. Tungau debu
rumah 3. Sering
mengalami infeksi di saluran napas atas (kolonisasi Staphylococus aureus)
Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan
Fisik Tanda
patognomonis Kulit penderita
DA: 1. Kering pada
perabaan 2. Pucat/redup 3. Jari tangan
teraba dingin 4. Terdapat
papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi dan krusta pada
lokasi predileksi Lokasi
predileksi: 1. Tipe bayi
(infantil) a. Dahi, pipi,
kulit kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai, serta lutut (pada anak
yang mulai merangkak). b. Lesi berupa
eritema, papul vesikel halus, eksudatif, krusta. 2. Tipe anak a. Lipat siku,
lipat lutut, pergelangan tangan bagian dalam, kelopak mata, leher,
kadang-kadang di wajah. b. Lesi berupa
papul, sedikit eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi, erosi. Kadang-kadang
disertai pustul. 3. Tipe remaja
dan dewasa a. Lipat siku,
lipat lutut, samping leher, dahi, sekitar mata, tangan dan pergelangan tangan,
kadang-kadang ditemukansetempat misalnya bibir mulut, bibir kelamin b. Lesi berupa
plak papular eritematosa, skuama, likenifikasi, kadang-kadang erosi dan
eksudasi, terjadi hiperpigmentasi. Berdasarkan
derajat keparahan terbagi menjadi: 1. DA ringan :
apabila mengenai < 10% luas permukaan kulit. 2. DA sedang :
apabila mengenai 10-50% luas permukaan kulit. 3. DA berat :
apabila mengenai > 50% luas permukaan kulit. Tanpa penyulit
(umumnya tidak diikuti oleh infeksi sekunder). Dengan penyulit
(disertai infeksi sekunder atau meluas dan menjadi rekalsitran (tidak membaik
dengan pengobatan standar). Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis
Klinis Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3
kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria Williams (1994) di bawah
ini. Kriteria mayor:
1. Pruritus 2. Dermatitis
di muka atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis
di fleksura pada dewasa 4. Dermatitis
kronis atau berulang 5. Riwayat
atopi pada penderita atau keluarganya Kriteria minor:
1. Xerosis 2. Infeksi
kulit (khususnya oleh S. aureus atau virus herpes simpleks) 3. Iktiosis/
hiperliniar palmaris/ keratosis piliaris 4. Pitriasis
alba 5. Dermatitis
di papilla mamae 6. White
dermogrhapism dan delayed blanch response 7. Kelilitis 8. Lipatan infra
orbital Dennie-Morgan 9.
Konjungtivitis berulang 10. Keratokonus
11. Katarak
subskapsular anterior 12. Orbita
menjadi gelap 13. Muka pucat
atau eritem 14. Gatal bila
berkeringat 15. Intolerans
terhadap wol atau pelarut lemak 16. Aksentuasi
perifolikular 17.
Hipersensitif terhadap makanan 18. Perjalanan
penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 19. Tes kulit
alergi tipe dadakan positif 20. Kadar IgE
dalam serum meningkat 21. Mulai
muncul pada usia dini Pada bayi,
kriteria diagnosis dimodifikasi menjadi: 1. Tiga
kriteria mayor berupa: a. Riwayat atopi pada keluarga b. Dermatitis
pada muka dan ekstensor c. Pruritus 2. Serta tiga
kriteria minor berupa: a.
Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular b. Fisura di
belakang telinga c. Skuama di
scalp kronis Diagnosis Dermatitis
seboroik (terutama pada bayi), Dermatitis kontak, Dermatitis numularis,
Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), Sindrom
Sezary, Dermatitis herpetiformis Pada bayi,
diagnosis banding, yaitu Sindrom imunodefisiensi (misalnya sindrom
Wiskott-Aldrich), Sindrom hiper IgE Komplikasi 1. Infeksi
sekunder 2. Perluasan
penyakit (eritroderma) Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
1.
Penatalaksanaan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu: a. Menemukan
faktor risiko. b. Menghindari
bahan-bahan yang bersifat iritan termasuk pakaian seperti wol atau bahan
sintetik. c. Memakai
sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab. d. Menjaga
kebersihan bahan pakaian. e. Menghindari
pemakaian bahan kimia tambahan. f. Membilas
badan segera setelah selesai berenang untuk menghindari kontak klorin yang
terlalu lama. g. Menghindari
stress psikis. h. Menghindari
bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor. i. Pada bayi,
menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh kencing atau feses, dan
hindari pemakaian bahan-bahan medicatedbaby oil. j. Menghindari
pembersih yang mengandung antibakteri karena menginduksi resistensi. 2. Untuk
mengatasi keluhan, farmakoterapi diberikan dengan: a. Topikal (2
kali sehari) • Pada lesi di
kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal, seperti: Desonid krim 0,05%
(catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim
0,025%) selama maksimal 2 minggu. • Pada kasus
dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan
golongan betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%. • Pada kasus
infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal atau
sistemik bila lesi meluas. b. Oral
sistemik • Antihistamin
sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau
setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. • Antihistamin
non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. Konseling dan
Edukasi 1. Penyakit
bersifat kronis dan berulang sehingga perlu diberi pengertian kepada seluruh
anggota keluarga untuk menghindari faktor risiko dan melakukan perawatan
kulit secara benar. 2. Memberikan
informasi kepada keluarga bahwa prinsip pengobatan adalah menghindari gatal,
menekan proses peradangan, dan menjaga hidrasi kulit. 3. Menekankan
kepada seluruh anggota keluarga bahwa modifikasi gaya hidup tidak hanya
berlaku pada pasien, juga harus menjadi kebiasaan keluarga secara
keseluruhan. Rencana tindak
lanjut 1. Diperlukan
pengobatan pemeliharaan setelah fase akut teratasi. Pengobatan pemeliharaan
dengan kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali sehari) dan penggunaan
krim pelembab 2 kali sehari sepanjang waktu. 2. Pengobatan
pemeliharaan dapat diberikan selama maksimal 4 minggu. 3. Pemantauan
efek samping kortikosteroid. Bila terdapat efek samping, kortikosteroid
dihentikan. Kriteria
Rujukan 1. Dermatitis
atopik luas dan berat 2. Dermatitis
atopik rekalsitran atau dependent steroid 3. Bila
diperlukan skin prick test/tes uji tusuk 4. Bila gejala
tidak membaik dengan pengobatan standar selama 4 minggu 5. Bila
kelainan rekalsitran atau meluas sampai eritroderma Prognosis Prognosis pada
umumnya bonam, dapat terkendali dengan pengobatan pemeliharaan. |
||||||||||
6.
Diagram Alir (bila
perlu) |
|
||||||||||
7.
Unit terkait |
Balai
pengobatan |
||||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
Puskesmas KARANGGEDE |
PENANGANAN DERMATITIS KONTAK ALERGIKA |
||||
SPO |
No. Kode |
: |
|
Ditetapkan oleh
Kepala UPTD puskesmas karanggede dr Agung Budi P NIP
196808082006041010 |
|
Terbitan |
: |
|
|||
No. Revisi |
: |
|
|||
Tgl. Mulai Berlaku |
: |
|
|||
Halaman |
: |
|
10.
Definisi |
Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi
peradangan kulit imunologik karena reaksi hipersensitivitas. Kerusakan kulit
terjadi didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen (fase sensitisasi)
yang umumnya berlangsung 2-3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan
alergen yang sama atau serupa, periode hingga terjadinya gejala klinis
umumnya 24-48 jam (fase elisitasi). Alergen paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh
adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. |
|||||||
11.
Tujuan |
1. Memberikan penatalaksanaan Dermatisis kontak alergik dengan benar 2. Menurunkan
angka kejadian dermatitis kontak alergik dengan memberikan penjelasan faktor
resiko dari Dermatisis
kontak alergik |
|||||||
12.
Kebijakan |
Langkah-langkah dalam
penanganan Dermatisis kontak
alergik
menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan |
|||||||
13. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 |
|||||||
14.
Prosedur |
5. Memberikan penjelasan kepada pasien
tentang Dermatisis
kontak alergik dan cara
pencegahannya dengan menghindari faktor resiko. 6.
Pemberian
topikal steroid betametason valerat krim 0,1 % selama 2 minggu 7.
Pemberian
obat oral antihistamin klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2
minggu atau loratadin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. 8.
Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal
atau antibiotik sistemik bila lesi luas. 9.
Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak
membaik dalam 4 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari
kontak. |
|||||||
15.
Ruang Lingkup |
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Poskesdes/ PKD, Posyandu |
|||||||
16. 7. Diagram alir |
Anamnesa Pemeriksaan
fisik Penegakan diagnosis Penatalaksanaan medikamentosa Non
medikamentosa rujuk |
|||||||
17. 6. Dokumen Terkait |
- Buku Rujukan - Form laporan insiden pada jam kerja - Buku register ruang tindakan |
|||||||
18. 7. Distribusi |
Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan |
Puskesmas KARANGGEDE |
PENANGANAN DERMATITIS KONTAK IRITAN |
||||
SPO |
No. Kode |
: |
|
Ditetapkan oleh
Kepala UPTD puskesmas karanggede dr Agung Budi P NIP
196808082006041010 |
|
Terbitan |
: |
|
|||
No. Revisi |
: |
|
|||
Tgl. Mulai Berlaku |
: |
|
|||
Halaman |
: |
|
19.
Definisi |
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi
peradangan kulit non-imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara langsung
tanpa didahului oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua orang
tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya dermatitis
jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya
berhubungan dengan pekerjaan. |
|||||||
20.
Tujuan |
1. Memberikan penatalaksanaan Dermatisis kontak iritan dengan benar 2.
Menurunkan angka kejadian dermatitis kontak iritan dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari Dermatisis kontak iritan. |
|||||||
21.
Kebijakan |
Langkah-langkah dalam
penanganan Dermatisis kontak
iritan menerapkan langkah SPO yang
telah ditetapkan |
|||||||
22. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 |
|||||||
23.
Prosedur |
10.
Memberikan
penjelasan kepada pasien tentang Dermatisis kontak iritan dan cara pencegahannya dengan menghindari
faktor resiko. 11.
Pemberian
topikal steroid betametason valerat krim 0,1 % selama 2 minggu 12.
Pemberian
obat oral loratadin 1 x 10 mg per hari selama maksimal
2 minggu. 13.
Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari
bahan-bahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan
fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab, serta memakai
alat pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja. 14.
Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal
atau antibiotik sistemik bila lesi luas. 15.
Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak
membaik dalam 4 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari
kontak. |
|||||||
24.
Ruang Lingkup |
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Poskesdes/ PKD, Posyandu |
|||||||
25. 7. Diagram Alir |
Anamnesa Pemeriksaan
fisik Penegakan
diagnosis Penatalaksanaan medikamentosa Non
medikamentosa rujuk |
|||||||
26. 8. Dokumen Terkait |
- Buku Rujukan - Form laporan insiden pada jam kerja - Buku register ruang tindakan |
|||||||
27. 9. Distribusi |
Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan |
Puskesmas KARANGGEDE |
PENANGANAN NAPKIN ECZEMA |
||||
SPO |
No. Kode |
: |
|
Ditetapkan oleh
Kepala UPTD puskesmas karanggede dr Agung Budi P NIP
196808082006041010 |
|
Terbitan |
: |
|
|||
No. Revisi |
: |
|
|||
Tgl. Mulai Berlaku |
: |
|
|||
Halaman |
: |
|
28.
Definisi |
Napkin eczema sering disebut juga dengan dermatitis popok atau diaper
rash adalah dermatitis di daerah genito-krural sesuai dengan tempat
kontak popok. Umumnya pada bayi pemakai popok dan juga orang dewasa yang
sakit dan memakai popok. Dermatitis ini merupakan salah satu dermatitis
kontak iritan akibat isi napkin (popok). |
|||||||
29.
Tujuan |
1. Memberikan penatalaksanaan napkin eczema dengan
benar 2. Menurunkan
angka kejadian napkin eczema dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari napkin eczema |
|||||||
30.
Kebijakan |
Langkah-langkah dalam
penanganan napkin eczema menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan |
|||||||
31. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 |
|||||||
32.
Prosedur |
16.
Memberikan
penjelasan kepada pasien tentang napkin eczema dan cara pencegahannya dengan menghindari faktor
resiko. 17.
Pemberian
topikal steroid hidrokortison 1-2,5% 2 kali sehari selama 3- 7 hari 18.
berikan antifungal nistatin sistemik 1 kali sehari selama 7
hari atau derivat azol topikal dikombinasi dengan zinc oxide diberikan
2 kali sehari selama 7 hari. 19.
Bila gejala tidak menghilang setelah pengobatan standar
selama 1 minggu, dilakukan: pengobatan dapat diulang 7 hari lagi dan pertimbangkan untuk
pemeriksaan ulang KOH atau Gram. 20.
Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak
membaik dalam 2 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari
kontak. |
|||||||
33.
Ruang Lingkup |
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Poskesdes/ PKD, Posyandu |
|||||||
34. 6. Diagram Alir |
Anamnesa Pemeriksaan
fisik Penegakan
diagnosis Penatalaksanaan medikamentosa Non medikamentosa rujuk |
|||||||
35. 7. Dokumen Terkait |
- Buku Rujukan - Form laporan insiden pada jam kerja - Buku register ruang tindakan |
|||||||
36. 8. Distribusi |
Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan |
Puskesmas KARANGGEDE |
PENANGANAN DERMATITIS NUMULARIS |
||||
SPO |
No. Kode |
: |
|
Ditetapkan oleh
Kepala UPTD puskesmas karanggede dr Agung Budi P NIP
196808082006041010 |
|
Terbitan |
: |
|
|||
No. Revisi |
: |
|
|||
Tgl. Mulai Berlaku |
: |
|
|||
Halaman |
: |
|
37.
Definisi |
Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk
lesi mata uang (koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing/madidans).
Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun,
pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis
numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada
usia sebelum satu tahun, umumnya kejadian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Faktor resiko nya adalah riwayat trauma fisis dan
kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama),
riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis
numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung alkohol, lingkungan
dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit sebelumnya |
|||||||
38.
Tujuan |
1. Memberikan penatalaksanaan dermatitis numularis dengan benar 2. Menurunkan
angka kejadian dermatitis numularis dengan memberikan penjelasan faktor
resiko dari dermatitis numularis |
|||||||
39.
Kebijakan |
Langkah-langkah dalam
penanganan dermatitis numularis menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan |
|||||||
40. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 |
|||||||
41.
Prosedur |
21.
Memberikan
penjelasan kepada pasien tentang dermatitis numularis dan cara pencegahannya
dengan menghindari faktor resiko. 22.
Pemberian
topikal steroid betametason valerat krim 0,1 % selama 2 minggu 23.
Pemberian
obat oral antihistamin klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2
minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. 24.
Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal
atau antibiotik sistemik bila lesi luas. 25.
Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak
membaik dengan pengobatan topikal standar dan diduga terdapat faktor
penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi
danatau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut,
THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut. |
|||||||
42.
Ruang Lingkup |
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Poskesdes/ PKD, Posyandu |
|||||||
43. 7. Diagram Alir |
Anamnesa Pemeriksaan
fisik Penegakan
diagnosis Penatalaksanaan medikamentosa Non
medikamentosa rujuk |
|||||||
44. 7. Dokumen Terkait |
- Buku Rujukan - Form laporan insiden pada jam kerja - Buku register ruang tindakan |
|||||||
45. 8. Distribusi |
Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan |
|
DERMATITIS
PERIORAL |
|
|
SPO |
No. Dokumen : |
||
No. Revisi : |
|||
Tanggal Terbit: |
|||
Halaman : |
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas + NIP |
||||||||
Pengertian |
Erupsi eritematosa persisten yang terdiri dari papul
kecil dan papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut. |
|||||||||
Tujuan |
Memberikan
tatalaksana yang tepat pada pasien dengan diagnosa Dermatitis Perioral |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala
Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor :
440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama |
|||||||||
Prosedur |
Pemeriksaan
Fisik Tanda patognomonis Erupsi
eritematosa yang terdiri dari papul, papulopustul atau papulovesikel,
biasanya tidak lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut, namun pada
anak lesi dapat meluas ke perinasal atau periorbita. Pemeriksaan
Penunjang Umumnya tidak diperlukan. Beberapa
agen penyebab terlibat dalam patogenesis penyakit ini diantaranya penggunaan
kosmetik dan glukokortikoid. Penatalaksanaan
Untuk keberhasilan pengobatan,
langkah pertama yang dilakukan adalah menghentikan penggunaan semua kosmetik
dan kortikosteroid topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik dermatitis
perioral memiliki kecenderungan untuk
bertahan, terutama jika pasien terbiasa menggunakan pelembab atau krim malam.
Dalam kasus resisten, dermatitis
perioral membutuhkan farmakoterapi, seperti: 1. Topikal a.
Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali sehari b.
Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali sehari c. Asam
azelaik krim 20% atau gel 15%, dua kali sehari d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari
selama 4 minggu 2. Sistemik a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali
sehari selama 3 minggu. Jangan diberikan pada
pasien sebelum usia pubertas. b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3
minggu. Jangan diberikan pada pasien sebelum
usia pubertas. c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4
minggu. Jangan diberikan pada pasien sebelum usia
pubertas. d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari
selama 4-6 minggu e.
Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari berturut-turut per minggu
selama 4 minggu. Pemeriksaan
Penunjang Lanjutan Pada pasien yang menderita
dermatitis perioral dalam waktu lama, pemeriksaan mikroskopis lesi dapat disarankan untuk mengetahui apakah ada
infeksi bakteri, jamur atau adanya Demodex
folliculorum. Konseling dan
Edukasi Edukasi dilakukan terhadap
pasien dan pada pasien anak edukasi dilakukan kepada orangtuanya. Edukasi
berupa menghentikan pemakaian semua kosmetik, menghentikan pemakaian
kortikostroid topikal. Eritema dapat terjadi pada beberapa hari setelah
penghentian steroid. Kriteria
rujukan Pasien dirujuk apabila memerlukan pemeriksaan mikroskopik atau pada pasien dengan gambaran
klinis yang tidak biasa dan perjalanan penyakit yang lama. |
|||||||||
Diagram Alir |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
7.
Pengertian |
|
||||||||
8.
Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pengobatan dermatitis |
||||||||
9.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No.188.4/
1.1.1.1.2 /415.25.33/2015 |
||||||||
10.
Referensi |
Permenkes No
75 tahun 2014 tentang puskesmas PMK No. 5
tahun 2014 tentang pengobatan dasar |
||||||||
11.
Langkah-Langkah |
1.
Pasien dating dengan membawa rekam medis 2.
Pemeriksaan fisik pasien 3.
Pemeriksaan tanda-tanda vital 4. Tanda
gejala 1. Ruam
kulit bermacam-macam dengan batas tidak jelas. 2. Bentuk
ruam eritema (kemerahan) krusta (keropeng) vesikel (gelembung kecil berisi
nanah) eksudasi (basah) 3. Kadang-kadang
oedem pada kelopak mata, skrotum/bibir 4. Ruam
terjadi di pipi, siku, lutut, tengkuk, pergelangan tangan dan kaki 5. Penatalaksanaan 1. Sismetik Ø
Antihistamin klasik sedative misalnya
klorfeniramin maleat untuk mengurangi gatal. Ø
Bila terdapat infeksi sekunder dapat
ditambahkan antibiotic sistemik atau topical 2. Topikal Ø
Bila lesi akut/eksudatif kompres 2-3 x sehari
1-2 jam dengan larutan rivanol 0,1% atau NACL 0,9% Ø
Krim Kortikosteroid potensi sedang atau
rendah, 1-2x sehari sesudah mandi, sesuai dengan keadaan lesi, bila sudah
membaik dapat diganti dengan potensi yang lebih rendah Kortikosteroid
potensi rendah : krim
hidrokortison 1% - 2,5% Kortikosteroid
potensi sedang : krim
betametason 0,1% Ø
Pada kulit kering dapat dibelikan emolien /
pelembab segara sesudah mandi Ø
. 6.
Pencatatan pada buku rekam
medis |
Pasien datang Pemeriksaan fisik pasien Pasien mengambil obat Penatalaksanaan Klasifikasi
tekanan darah Tanda
dan Gejala Pemeriksaan tanda-tanda vital |
|||||||
|
Poli Lansia,
Poli 2 |
|
DERMATITIS SEBOROIK |
|
|||||||||
SPO |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS
I SUMBANG |
|
Wahyanto,
SKM.,M.Kes. NIP.19650516
198803 1 104 |
|||||||||
1.
Pengertian |
No. ICPC-2 :
S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10 :
L21 Seborrhoeic dermatitis Tingkat
Kemampuan 4A Dermatitis
seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk segolongan kelainan
kulit yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi di tempat-tempat
kelenjar sebum). |
||||||||||
2.
Tujuan |
Pasien
ditangani sesuai prosedur |
||||||||||
3.
Kebijakan |
sk |
||||||||||
4.
Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
||||||||||
5.
Prosedur |
Hasil Anamnesis
(Subjective) Keluhan Pasien datang
dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal hanya
berupa ketombe ringan pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan
lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Faktor Risiko Genetik, faktor
kelelahan, stres emosional , infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria
lebih sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, kurang
tidur Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan
Fisik Tanda
patognomonis 1. Papul sampai
plak eritema 2. Skuama
berminyak agak kekuningan 3. Berbatas
tidak tegas Lokasi
predileksi Kulit kepala,
glabela, belakang telinga, belakang leher, alis mata, kelopak mata, liang
telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae
pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah angogenital Bentuk klinis
lain Lesi berat:
seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor, dan berbau (cradle cap). Pemeriksaan
Penunjang Pada umumnya
tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis
Klinis Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
Banding Psoriasis
(skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz, skuama tebal seperti mika),
Kandidosis (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna merah cerah
berbatas tegas dengan lesi satelit disekitarnya), Otomikosis, Otitis
eksterna. Komplikasi Pada anak, lesi
bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
1. Pasien
diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya keluhan, misalnya
stres emosional dan kurang tidur. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi
makanan rendah lemak. 2.
Farmakoterapi dilakukan dengan: a. Topikal Bayi: • Pada lesi di
kulit kepala bayi diberikan asam salisilat 3% dalam minyak kelapa atau
vehikulum yang larut air atau kompres minyak kelapa hangat 1 kali sehari
selama beberapa hari. • Dilanjutkan
dengan krim hidrokortison 1% atau lotion selama beberapa hari. • Selama
pengobatan, rambut tetap dicuci. Dewasa: • Pada lesi di
kulit kepala, diberikan shampo selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol
2%, zink pirition (shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor
carbonis detergent) 2-5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-3 kali
seminggu selama 5-15 menit per hari. • Pada lesi di
badan diberikan kortikosteroid topikal: Desonid krim 0,05% (catatan: bila
tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama
maksimal 2 minggu. • Pada kasus
dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat diberikan kortikosteroid
kuat misalnya betametason valerat krim 0,1%. • Pada kasus
dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2%. b. Oral
sistemik • Antihistamin
sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 2 minggu,
setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2 minggu. • Antihistamin
non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mgselama maksimal 2 minggu. Konseling dan
Edukasi 1.
Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin
merawat kulit kepala bayi. 2.
Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul pada
bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia. 3. Memberikan
informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan
mengontrol emosi dan psikisnya. Kriteria
Rujukan Pasien dirujuk
apabila tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar. Prognosis Prognosis pada
umumnya bonam, sembuh tanpa komplikasi. |
||||||||||
6.
Diagram Alir (bila
perlu) |
|
||||||||||
7.
Unit terkait |
Balai
pengobatan |
||||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
|
DERMATOFITOSIS |
|
|
SOP |
No.
Dokumen : |
||
No.
Revisi : |
|||
TanggalTerbit: |
|||
Halaman : |
|||
Puskesmas I
Kembaran |
|
NamaKepalaPuskesmas drg. Tri
Handa |
PENGERTIAN |
Dermatofitosisadalahinfeksijamurdermatofita
yang memilikisifatmencernakan keratin di
jaringan yang mengandungzattanduk, misalnya stratum korneumpada
epidermis, rambut, dan kuku. Penularanterjadimelaluikontaklangsungdenganagenpenyebab.
Sumberpenularandapatberasaldarimanusia (jamurantropofilik), binatang
(jamurzoofilik) ataudaritanah (jamurgeofilik). Klasifikasidermatofitosis 1.
Tineakapitis, dermatofitosispadakulitdanrambutkepala. 2.
Tineabarbae, dermatofitosispadadagudanjenggot. 3.
Tineakruris, padadaerahgenitokrural, sekitar anus, bokong, danperutbagianbawah.
4.
Tineapedis et manum, pada kaki dantangan. 5. Tineaunguium, pada kuku jaritangandan kaki.
6. Tineakorporis, padabagian lain yang
tidaktermasukbentuk 5 tinea di atas. Bilaterjadi di
seluruhtubuhdisebutdengan tineaimbrikata. FaktorRisiko 1. Lingkungan yang lembabdanpanas 2. Imunodefisiensi 3. Obesitas 4. Diabetes Melitus |
TUJUAN |
Memberikan tata laksana yang tepat pada pasiendermatofitosis. |
KEBIJAKAN |
|
REFERENSI |
1. Djuanda,
A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. IlmuPenyakitKulitdanKelamin. Edisikeenam.
Jakarta. BalaiPenerbitFakultasKedokteranUniversitas Indonesia. 2. James,
W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. SaundersElsevier. 3.PerhimpunanDokterSpesialisKulitdanKelamin.2011.PedomanPelayananMedik.
Jakarta. |
PROSEDUR |
Anamnesis (Subjective) Keluhan Padasebagianbesarpasiendatangdenganbercakmerahbersisik
yang gatal. Adanyariwayatkontakdengan orang yang mengalamidermatofitosis. HasilPemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana
(Objective) PemeriksaanFisik Gambaranumum:
Lesiberbentukinfiltrateritematosa,
berbatastegas, denganbagiantepi yang lebihaktifdaripadabagiantengah,
dankonfigurasipolisiklik. Lesidapatdijumpai
di daerahkulitberambut terminal,berambutvelus (glabrosa) dan kuku. PemeriksaanPenunjang PemeriksaanmikroskopisdenganKOH,
akanditemukanhifapanjangdanartrospora. Diagnosis
(Assessment) Dermatofitosis Diagnosis
Banding TineaKorporis:
Dermatitis numularis,
Pytiriasisrosea, Erythema annularecentrificum, Granuloma annulare TineaKruris:
Kandidiasis,
Dermatitis intertrigo, Eritrasma TineaPedis:
Hiperhidrosis,
Dermatitis kontak, Dyshidrotic eczema TineaManum:
Dermatitis
kontakiritan, Psoriasis TineaFasialis:
Dermatitis
seboroik, Dermatitis kontak Komplikasi Jarangditemukan,
dapatberupainfeksibakterialsekunder. PenatalaksanaanKomprehensif
(Plan) Penatalaksanaan 1. Higienediriharusterjaga,
danpemakaianhanduk/pakaiansecarabersamaanharusdihindari. 2. Untuklesiterbatas,
diberikanpengobatantopikal, yaitudengan: antifungaltopikalsepertikrimklotrimazol,
mikonazol, atauterbinafin yang diberikanhinggalesihilangdandilanjutkan
1-2minggukemudianuntukmencegahrekurensi. 3. Untukpenyakit yang
tersebarluasatauresistenterhadapterapitopikal, dilakukanpengobatansistemikdengan: a. Griseofulvindapatdiberikandengandosis
0,5-1 g per hari untuk
orang dewasadan 0,25 – 0,5 g
per hariuntukanak- anakatau
10-25 mg/kgBB/hari, terbagidalam 2 dosis. b. Golonganazol, sepertiKetokonazol: 200
mg/hari; Itrakonazol:100 mg/hariatauTerbinafin: 250
mg/hariPengobatandiberikanselama 10-14 haripadapagiharisetelah makan. KonselingdanEdukasi ·
Edukasimengenaipenyebabdancarapenularanpenyakit. ·
Edukasipasiendankeluargajugauntukmenjagahigienetubuh,
namunpenyakitinibukanmerupakanpenyakit yang berbahaya. Kriteriarujukan Pasiendirujukapabila:
1. Penyakittidaksembuhdalam 10-14
harisetelahterapi. 2. Terdapatimunodefisiensi. 3. Terdapatpenyakitpenyerta yang menggunakanmultifarmaka.
Prognosis
Pasiendenganimunokompeten,
prognosis umumnyabonam,sedangkanpasiendenganimunokompromais, quo ad sanationamnyamenjadidubiaadbonam.
|
UNIT TERKAIT |
Ruang pengobatan umum |
PUSKESMAS
WONOSOBO I |
DIARE AKUT |
||||
SPO |
No Kode |
: |
|
Disahkan oleh Kepala Puskesmas Wonosobo 1 |
|
Terbitan |
: |
|
|
||
No. Revisi |
: |
|
|
||
Tgl. Mulai |
: |
|
|
||
Berlaku |
: |
|
|
||
Halaman |
: |
2 halaman |
Dr.H.R. Danang Sananto S NIP: 19691206 200701 1 009 |
TUJUAN |
Tata
laksana diare yang cepat dan dapat mencegah kehilangan cairan dan elektrolit
yang membahayakan dan mencegah masalah gizi pada anak. |
KEBIJAKAN |
Prinsip
penatalaksanaan diare yang utama adalah rehidrasi. |
DEFINISI
|
Diare akut adalah buang air besar lembek/cair
konsistensinya encer,lebih sering dari biasanya disertai berlendir,bau amis,
berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari
biasanya dan berlangsung kurang dari 7 hari. |
PROSEDUR |
6.
Perawat memanggil pasien 7.
Perawat menyapa pasien dan atau keluarganya 8.
Perawat mempersilahkan pasien duduk 9.
Perawat menanyakan keluhan pasien 10. Perawat
melakukan anamnesa, meliputi : 10.1.
Berapa kali BAB dalam 1 hari? 10.2.
Apakah diserati lendir ? 10.3.
Apakah konsistensi BAB encer? 10.4.
Apakah pasien haus? 10.5.
Mulai kapan pasien merasakan keluhan ? 10.6.
Apakah mengalami keluhan lain ? 11. Perawat
melakukan Vital Sign yang meliputi 11.1.
Tekanan Darah 11.2.
Suhu 11.3.
Nadi 11.4.
Respiratory 12. Perawat
mencatat hasil anamnesa dan vital sign di rekam medis pasien 13. Perawat
memberikan catatan rekam medis kepada dokter 14. Dokter
memeriksa : Anamnesis: 14.1.
Sudah berapa lama diare berlangsung, berapa kali
sehari, warna dan konsistensi tinja, lendir dan/ darah dalam tinja, muntah,
anak lemah, kesadaran menurun, rasa haus, rewel, kapan terakhir kencing, suhu
badan 14.2.
Jumlah cairan yang masuk selama diare 14.3.
Anak minum ASI/PASI, apakah anak makan makanan yang
tidak biasa, apakah ada yang menderita diare di sekitarnya dari mana sumber
air minum Pemeriksaan
fisik: 14.4.
Perhatikan tanda utama: kesadaran, rasa haus, turgor
kulit abdomen. 14.5.
Perhatikan tanda tambahan: ubun-ubun besar cekung atau
tidak, mata cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, kering atau
tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah. 14.6.
Timbang BB 14.7. Penilaian dehidrasi penderita
diare : 14.7.1.
Tanpa dehidrasi ( kehilangan cairan < 5% berat badan
) : 4.7.1.1
Tidak
ditemukan tanda utama dan tanda tambahan 4.7.1.2
Keadaan
umum baik, sadar 4.7.1.3
Tanda
vital dalam batas normal 4.7.1.4
Ubun-ubun
besar tidak cekung, mata tidak cekung, airmata ada, mukosa mulut dan bibir
basah 4.7.1.5
Turgor
abdomen baik, bising usus normal 4.7.1.6
Akral
hangat 4.7.1.7
Pasien
dapat dirawat di rumah kecuali bila terdapat komplikasi lain ( tidak mau
minum, muntah terus, diare yang frekuen) 14.7.2.
Dehidrasi ringan ( kehilangan cairan 5-10 % berat badan
): 4.7.2.1
Bila
didapatkan 2 tanda utama ditambah 2atau lebih tanda tambahan 4.7.2.2
Keadaan
umum gelisah/cengeng 4.7.2.3
Ubun-ubun
besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, airmata kurang, mukosa mulut dan
bibir sedikit kering 4.7.2.4
Turgor
menurun 4.7.2.5
Akral
hangat 4.7.2.6
Pasien
harus dirawat inap 14.7.3.
Dehidrasi berat (kehilangan cairan tubuh >10% berat
badan): 4.7.3.1
Apabila
didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau lebih tanda tambahan 4.7.3.2
Keadaan
umum lemah, letargi atau koma 4.7.3.3
Ubun-ubun
sangat cekung, mata sangat cekung, airmata tidak ada, mukosa mulut dan bibir
sangat kering 4.7.3.4
Turgor
buruk 4.7.3.5
Akral
dingin 14.8.
Pasien harus rawat inap 14.9. Langkah promotif /preventif 14.9.1.
14.10.
Langkah
kuratif 15. Dokter
mencatat hasil dan menuliskan resep di rekam medis pasien 16. Dokter
menulis obat di lembar resep : 16.1.1.
Tidak boleh diberikan obat anti diare 16.1.2.
Pemberian cairan: per oral ( cairan rumah tangga,
oralit) 5.2.2.1
Pemberian
cairan disesuaikan derajat dehidrasi Ü Tanpa dehidrasi : cairan rumah tangga
dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan sesuai usia setiap kali BAB atau
muntah dengan dosis: kurang dari 1
tahun : 50-100 cc, 1–5 tahun
: 100 - 200 cc, > 5 tahun : semaunya Ü Dehidrasi tidak berat (ringan-sedang) Ü Rehidrasi dengan oralit 75 cc/kgBB dalam
3 jam pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung
sesuai umur seperti diatas tiap kali BAB Ü
Dehidrasi
berat : rujuk rumah sakit 5.2.2.2
Antibiotik diberikan sesuai hasil pemeriksaan
laboratorium (bila ada indikasi), bila tidak memungkinkan pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan penyebab maka adanya darah dalam tinja (bentuk
disentri) bisa dijadikan indikasi pemberian antibiotik (sebagai pilihan :
kotrimoxazol, amokcisillin), anti parasit : metronidazol 5.2.2.3
Nutrisi : anak tidak boleh dipuasakan, makanan
diberikan sedkit-sedkit tapi sering (± 6x sehari), rendah serat, buah-buahan
dierikan terutama pisang. 17. Dokter
menyarankan pasien 17.1.1.
Upayakan ASI tetap diberikan 17.1.2.
Kebersihan perorangan, lingkungan 17.1.3.
Imunisasi campak 17.1.4.
Memberikan makanan penyapihan yang benar 17.1.5.
Penyediaan
air minum yang bersih 17.1.6.
Selalu memasak makanan yang benar 18. Dokter
memberikan resep kepada pasien 19. Dokter
mempersilahkan pasien untuk mengambil obat di Ruang Obat |
REFERENSI |
Buku Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011 |
UNIT TERKAIT |
1.
Pendaftaran 2.
Ruang
Obat |
UPTD PUSKESMAS NGAWI
|
SOP DIARE NON-SPESIFIK
|
||||
NO. DOKUMEN |
NO. REVISI - |
HALAMAN 1-3 |
|||
PROSEDUR TETAP |
TANGGAL TERBIT : 2 Januari 2014 |
||||
Tim penyusun : 1.
Widodo,S.Kep.Ns 2.
Endang
Setyowati,S.Kep.Ns |
Ditetapkan di : Ngawi,
1 Januari 2014 Kepala Puskesmas Ngawi dr. SITI AGUSTINNINGSIH NIP. 19720830 200501 2 012 |
||||
Pengertian |
ü Diare adalah keadaan buang-buang
air dengan banyak cairan dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu
atau gangguan lain. ü Diare akut adalah buang air besar
atau lembek/cair konsistensinya encer, lebih sering dari biasanya disertai
berlendir, bau amis,berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekwensinya
lebih sering dari biasanya. ü Diae non spesifik adalah diarae
yang bukan disebabkan oleh uman kusus aupun parasit.
|
||||
Tujuan |
Penatalaksanaan kasus diare sesuai standar
therapy di puskesmas. |
||||
Kebijakan |
Penerapan standar
therapy di Puskesmas. |
||||
Penyebab |
Penyebabnya adalah virus, makanan
yang merangsang atau yang tercemar toksin, gangguan pencernaan dan
sebagainya. |
||||
Gambaran Klinis |
ü Demam yang sering menyertai
penyakit ini memperberat dehidrasi. ü Gejala dehidrasi tidak akan
terlihat sampa mencapai kehilanagn 4-5% dari BB. ü Gejala dan tanda dehidrasi antara
lain ; § Rasa haus, mulut dan bibir kering. § Menurunnya turgar kulit. § Menurunnya berat badan, hypotensi,
lemah otot. § Sesak nafas, gelisah. § Mata cekung, air mata tidak ada. § Oliguri kemudian anuria. § Menurunnya kesadaran, mengantuk. ü Bila kekurangan cairan mencapai
10% atau lebih penderita jatuh ke dalam dehidrasi berat dan bila berlanjut
dapat terjadi syok dan kematian. |
||||
Diagnosis |
Ditentukan dari gejala buang air besar
berulang kali lebih seringdari biasanyadengan konsistensinya yang lembek dan
cair. |
||||
Penatalaksanaan |
WHO telah menetapkan unsur utama dalam
penangulangan diare akut yaitu ; ü Pemberian cairan, berupa upaya
rehidrasi oral ( URO ) untuk mencegah maupun mengobati dehidrasi. ü Melanjutkan makanan seprti biasa,
teruama ASI, selama diare dan dalam masa penyembuhan. ü Tudak menggunakan antidiare,
sementara antibiotik maupun antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera,
disentri, atau terbukti giardiasis atau amubiasis. ü Pemberian petunjuk yang efektif
bagi ibu dan anak serta beserta keluarganya tentang upaya dehirasi oral di
rumah, tanda-tanda merujuk dan cara mencegah diare di masa yang akan datang. Dasarpengobatan diare akut adalah
rehidrasi dan memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu
langkah pertama adalah di tentukan derajat dehidrasi : 1. Terapi A ( dihidrasi tanpa
dehidrasi ) § Berikan cairan ( air tajin,
larutan garam gula, oralit ) sebanyak yan diinginkan hingga diare stop,
sebagai petunjuk berikan setiap habis BAB> § Anak < 1 thn : 50-100 ml § Anak 1-4 thn : 100-200 ml § Anak > 5 thn : 200-300 ml § Dewasa : 300-400 ml § Meneruskan pemberian makanan atau
ASI bagi bayi 2. Terapi B ( diare dengan dehidrasi
ringan-sedang ) § Oralit diberikan 75 ml/kg dalam 3
jam, janagn dengan botol. § Jika anak muntah ( karena
pemberian cairan terlalu cepat ), tunggu 5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan
pemberian lebih lambat ( satu sendok setiap 2-3 menit ). 3. Terapi C ( diare dengan diare
berat ) § Di berikan RL 100ml yang terbagi
dalam beberapa waktu § Setiap 1-2 jam pasien di periksa
ulang, jika hidrasi tidak membaik tetesan diperceat. Setelah 6 jam ( bayi )
atau setiap 3 jam ( pasien lebih tua ) pasien kembali di periksa. Pemberian zinc pada kasus diare pada anak
anak dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah diare selama 3 bulan ke
depan. Zinc mempercepat penyembuhan epithel usus yang luka atau terkoyak
selam terjadinya diare.
|
||||
output |
Tata laksana diare
non-spesifik sesuai standar therapy Puskesmas. |
||||
Daftar Pustaka |
Departemen kesehatan RI, 2007, Pedoman
Pengobtan Dasar di Puskesmas 2007, cetakan tahun 2008,
Depkes RI, Jakarta. |
||||
PUSKESMAS II KEMRANJEN |
|
Dr.M.Amir
Fuad NIP 19600217 198309 1 001 |
||||||||
1. Pengertian |
No.
ICPC-2 : D70 Gastrointestinalinfection No.
ICD-10 : A06.0 Acuteamoebicdysentery Tingkat Kemampuan 4A Disentri
merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan kematian
dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
bakteri disentri basiler yang disebabkan oleh shigellosis dan amoeba
(disentri amoeba). |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua disentri
basiler dan disentri amubayang datang ke Puskesmas II Kemranjen mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
|||||||||
5. Prosedur |
Anamnesis (Subjective) Keluhan
1.
Sakit perut terutama sebelah kiri dan buang air besar encer secara terus
menerus bercampur lendir dan darah 2.
Muntah-muntah 3.
Sakit kepala 4.
Bentuk yang berat (fulminatingcases) biasanya disebabkan oleh S.
dysentriaedengan gejalanya timbul mendadak dan berat, dan dapat meninggal
bila tidak cepat ditolong. Faktor
Risiko Higiene
pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang. PemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana
(Objective) Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan: 1.
Febris 2.
Nyeri perut pada penekanan di bagian sebelah kiri 3.
Terdapat tanda-tanda dehidrasi 4.
Tenesmus Pemeriksaan
Penunjang Pemeriksaan
tinja secara langsung terhadap kuman penyebab. Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis
Klinis Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis
Banding 1.
Infeksi Eschericiae coli 2.
Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive(EIEC) 3.
Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik(EHEC) Komplikasi
1. Haemolyticuremicsyndrome
(HUS) 2.
Hiponatremia berat 3.
Hipoglikemia berat 4.
Komplikasi intestinal seperti toksikmegakolon, prolapsrektal, peritonitis dan
perforasi Penatalaksanaan
komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
1.
Mencegah terjadinya dehidrasi 2.
Tirah baring 3.
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral 4.
Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat diberikan cairan melalui infus 5.
Diet, diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari,
kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. 6.
Farmakologis: a. Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari pengobatan
menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada
perbaikan, antibiotik diganti dengan jenis yang lain. b.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal Fluorokuinolon seperti
Siprofloksasin atau makrolidAzithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Dosis Siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500
mg/hari selama 3 hari sedangkan Azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal
dan Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian Siprofloksasin merupakan
kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita hamil. c.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriaetipe 1
yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis
3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotik yang dianjurkan dalam
pengobatan stadium karier disentribasiler. d.
Untuk disentri amuba diberikan antibiotik Metronidazol 500mg 3x sehari selama
3-5 hari Rencana
Tindak Lanjut Pasien
perlu dilihat perkembangan penyakitnya karena memerlukan waktu penyembuhan
yang lama berdasarkan berat ringannya penyakit. Konseling
dan Edukasi 1.
Penularan disentri amuba dan basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan
kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan
sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi serta penggunaan jamban yang
bersih. 2.
Keluarga ikut berperan dalam mencegah penularan dengan kondisi lingkungan dan
diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang
tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih. 3.
Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan makanan lunak sampai frekuensi
BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada
kemajuan. Kriteria
Rujukan Pada
pasien dengan kasus berat perlu dirawat intensif dan konsultasi ke pelayanan
kesehatan sekunder (spesialis penyakit dalam). Peralatan
Laboratorium
untuk pemeriksaan tinja Prognosis
Prognosis
sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi,
dan pengobatannya. Pada umumnya prognosis dubiaadbonam. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai Pengobatan,Rawat
Inap,Labolatorium,KIA |
|||||||||
8.Rekaman
HistorisPerubahan |
|
UPTD PUSKESMAS SELOMERTO
1 |
DISLIPIDEMIA |
Disahkan oleh
Kepala PuskesmasSelomerto
1
DrSumanto NIP.196409092002121001 |
||
SPO |
No. Kode |
: |
||
Terbitan |
: |
|||
No. Revisi |
: |
|||
Tgl. MulaiBerlaku |
: 1 Mei 2013 |
|||
Halaman |
: 1/2 |
1. Tujuan |
Agar dapat mendiagnosa
dan memberikan terapeutk pada pasien dislipidemia |
|||||||||||||
2. Kebijakan |
Sebagai pedoman dalam
mendiagnosa dan memberikan terapeutik pada pasien dislipidemia.Dalam
mendiagnosa dan memberikan terapeutik pada pasien dislipidemia harus
mengikuti langkah langkah SPO Dislipidemia |
|||||||||||||
3. RuangLingkup |
Puskesmas Selomerto 1 |
|||||||||||||
4. Definisi |
Dislipidemia adalah
kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan
satu atau lebih fraksi lipid dalam darah.Beberapa fraksi lipid yang utama
adalah kenaikan kadar kolesterol total ,kolesterol LDL, dan atau
trigliserida,serta penurunan kolesterol HDL. |
|||||||||||||
5. Prosedur |
1.
Petugas menerima pasien 2.
Petugas mengidentifikasi
pasien 3.
Petugas
menganamnesa pasien,apakah petugas merasa sering pusing,merasa badannya
linu-linu,pasien merasa kegemukan,pasien merasa cepat lelah 4.
Petugas mencuci
tangan 7 langkah 5.
Petugas memeriksa tanda-tanda vital pasien,tensi,suhu,nadi,pernafasan 6.
Petugas melakukan
pemeriksaan fisik pasien,pemeriksaan antropometri ( lngkar perut dan IMT/Indeks Massa Tubuh)
dan tekanan darah. Cara pengukuran IMT (kg/m2)=BB (kg) / TB2 (m) 7.
Petugas mengirimkan
permintaan laboratorium pasien untuk dilakukan pemeriksaan kadar cholesterol
total,kadar cholesterol LDL,kadar cholesterol HDL,dan Trigliserida 8.
Petugas membaca
hasil laboratorium dimana terdapat semua atau salah satu hasil pemeriksaan
yang tidak normal 9.
Petugas menegakkan
diagnosa dengan anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang 10. Petugas melakukan terapi pada pasien -
non farmakologis Modifikasi
diet,latihan jasmani,pengelolaan berat badan Latihan fisik
dilakukan selama 150 menit per minggu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
pasien -farmakologis Terapicairan,
diberikancairan RL/asering/D5 sesuaikebutuhanpasien Hipertrigliserida ,diberikan asam fibrat
(gemfibrozil 2x 600 mg/hr,fenofibrat
1x 160 mg/hr Hipercholesterolemia ,diberikan dengan golongan statin
(simvastatin 10 mg ,1x1/hari malam hari) 11. Petugas memberikan resep kepada keluargapasien untuk mengambil obat di apotek puskesmas 12. Petugas mencuci tangan 7 langkah 13. Petugasmendokumentasikantindakan |
|||||||||||||
6. Diagram Alir |
Petugas mencuci
tangan 7 langkah Petugas memeriksa
tanda-tanda vital pasien Petugas melakukan
pemeriksaan fisik pasien Petugas mengirimkan permintaan laboratorium pasien Petugas menegakkan diagnosa dengan
anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Petugas melakukan
terapi pada pasien Petugas memberikan resep kepada keluargapasien untuk mengambil obat di apotek puskesmas Petugas membaca
hasil laboratorium Petugas mencuci
tangan 7 langkah Petugas menganamnesa
pasien Petugas mengidentifikasi pasien Petugas menerimapasien Petugasmendokumentasikantindakan |
|||||||||||||
7. Referensi |
Panduan Praktek Klinis
Bagi Dokter Di fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer,2013 |
|||||||||||||
8. DokumenTerkait |
Catatan medik,buku
registrasi rawat jalan,buku registrasi rawat inap |
|||||||||||||
9. Distribusi |
BP Umum,Rawat inap puskesmas
Selomerto 1 |
10. Rekamanhistorisperubahan
No |
Yang dirubah |
Isi Perubahan |
Tgl.mulaidiberlakukan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
UPTD PUSKESMAS
SELOMERTO
1 |
DISLIPIDEMIA |
||
DAFTAR TILIK |
No. Kode |
: |
|
Terbitan |
: |
||
No.
Revisi |
: |
||
Tgl. MulaiBerlaku |
: |
||
Halaman |
: 1/1 |
No |
Langkah Kegiatan |
Ya |
Tidak |
Tidak Berlaku |
|
1.
|
Apakah |
Petugas menerima pasien ? |
|
|
|
2.
|
Apakah |
Petugas mengidentifikasi pasien? |
|
|
|
3.
|
Apakah |
Petugas menganamnesa pasien,apakah petugas
merasa sering pusing,merasa badannya linu-linu,pasien merasa kegemukan,pasien
merasa cepat lelah? |
|
|
|
4.
|
Apakah |
Petugas mencuci tangan 7 langkah? |
|
|
|
5.
|
Apakah |
Petugas memeriksa tanda-tanda vital
pasien,tensi,suhu,nadi,pernafasan? |
|
|
|
6.
|
Apakah |
Petugas melakukan pemeriksaan fisik
pasien,pemeriksaan antropometri (
lngkar perut dan IMT/Indeks Massa Tubuh) dan tekanan darah? |
|
|
|
7.
|
Apakah |
Petugas mengirimkan permintaan laboratorium
pasien untuk dilakukan pemeriksaan kadar cholesterol total,kadar cholesterol
LDL,kadar cholesterol HDL,dan Trigliserida? |
|
|
|
8.
|
Apakah |
Petugas membaca hasil laboratorium dimana
terdapat semua atau salah satu hasil pemeriksaan yang tidak normal? |
|
|
|
9.
|
Apakah |
Petugas menegakkan diagnosa dengan
anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang? |
|
|
|
10.
|
Apakah |
Petugas melakukan terapi pada pasien? |
|
|
|
11. |
Apakah |
Petugas memberikan resep kepada keluargapasien untuk mengambil
obat di apotek puskesmas? |
|
|
|
12. |
Apakah |
Petugas mencuci tangan 7 langkah? |
|
|
|
13. |
Apakah |
Petugasmendokumentasikantindakan? |
|
|
|
CR: …………………………………………%.
Selomerto,………………………
Pelaksana/
Auditor
(………………………)
|
DISPEPSIA |
|
|
SOP |
No.
Dokumen : PM/PKBM3/PDF/001 |
||
No.
Revisi : - |
|||
Tanggal
Terbit : 15 Mei 2016 |
|||
Halaman : 1/3 |
|||
PUSKESMAS KEBUMEN III |
|
H.Tri Tunggal E.S.,SKM.MPH NIP. 197201051994031006 |
1.PENGERTIAN |
Dispepsia adalah sekumpulan gejala
berasal dari regio gastroduodenum yang berupa nyeri epigastrium, rasa
terbakar, rasa penuh setelah makan, perasaan cepat kenyang yang dapat terjadi
terus menerus atau kambuh – kambuhan. |
2.TUJUAN |
|
3.KEBIJAKAN |
|
4.REFERENSI |
Dojoningrat dharmika. Dispepsia fungsional. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid 1 edisi V. Jakarta pusat: penerbita departemen ilmu
penyakit dalam FKUI, 2006. Hal 916 |
5.PROSEDUR |
1. Petugas melakukan
anamnesis (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat alergi, dan riwayat keluarga). 2. Petugas melakukan
pemeriksaan vital sign yang diperlukan sesuai indikasi. 3. Petugas melakukan
pemeriksaan fisik yang diperlukan sesuai indikasi. 4. Jika ada indikasi, petugas
melakukan pemeriksaan penunjang. 5. Petugas menegakkan
diagnosis dan atau diagnosis banding berdasarkan anamnesa, pemeriksaan vital
sign, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan). 6.
Petugas menentukan klasifikasi diagnosis berdasarkan: kriteria roma III, dispepsia fungsional adalah
terdapat satua tau lebih dari gejala: a. rasa penuh (kekenyangan) setelah makan b. perasaan
cepat kenyang c. nyeri ulu hati d. rasa terbakar di uluhati. 7. Petugas memberikan
terapi sesuai dengan diagnose yang ditegakkan. 8. Bila ada indikasi dispepsia dengan penyakit penyerta/indikasi khusus,
petugas memberikan terapi sesuai indikasi khusus tersebut. 9. Petugas memberika
edukasi kepada pasien dan atau keluarganya tentang modifikasi gaya hidup. 10. Jika ada indikasi,
petugas melakukan rujukan ke unit pelayanan lainnya. 11. Petugas menyerahkan
resep kepada pasien untuk diserahkan ke unit farmasi. 12. Petugas
mendokumentasikan semua hasil anamnesis, pemeriksaan, diagnosa, terapi,
rujukan yang telah dilakukan ke dalam rekam medis pasien. 13. Petugas menyerahkan
rekam medis ke petugas simpus dan P-care
untuk dientry. 14. Petugas
mendokumentasikan hasil anamnesis, pemeriksaan, diagnosa, terapi, rujukan
yang sudah tercatat ke dalam rekam medis ke aplikasi simpus dan P-care. |
6. UNIT TERKAIT |
Unit Ruang BP Umum |
7.
REKAMAN HISTORIS PERUBAHAN
No |
Yang Dirubah |
Isi Perubahan |
Tgl. Mulai Diberlakukan |
1 |
|
|
|
2 |
|
|
|
|
JUDUL SOP (CALIBRI 12) |
|
|
SOP |
No.
Dokumen : PM/PKBM3/PDF/001 |
||
No.
Revisi : - |
|||
Tanggal
Terbit : 15 Mei 2016 |
|||
Halaman : 2/3 |
1.
REKAMAN HISTORIS PERUBAHAN
No |
Yang Dirubah |
Isi Perubahan |
Tgl. Mulai Diberlakukan |
1 |
|
|
|
2 |
|
|
|
3 |
|
|
|
4 |
|
|
|
5 |
|
|
|
6 |
|
|
|
|
JUDUL SOP (CALIBRI 12) |
|
|
DAFTAR TILIK |
No.
Dokumen : PM/PKBM3/PDF/001 |
||
No.
Revisi : - |
|||
Tanggal
Terbit : 15 Mei 2016 |
|||
Halaman : 3/3 |
No |
KEGIATAN |
YA |
TIDAK |
TIDAK BERLAKU |
1. |
|
|
|
|
2. |
|
|
|
|
3. |
|
|
|
|
4. |
|
|
|
|
5. |
|
|
|
|
6. |
|
|
|
|
7. |
|
|
|
|
8. |
|
|
|
|
9. |
|
|
|
|
10. |
|
|
|
|
11. |
|
|
|
|
12. |
|
|
|
|
13. |
|
|
|
|
14. |
|
|
|
|
15. |
|
|
|
|
16. |
|
|
|
|
17. |
|
|
|
|
18. |
|
|
|
|
19. |
|
|
|
|
Jumlah |
|
|
|
Compliance rate (CR) =
………………………………
Pelaksana/ Auditor
UPTD PUSKESMAS SELOMERTO 1 |
DIABETES MELITUS |
Disahkan oleh Kepala Puskesmas
Selomerrto 1
dr.Sumanto NIP.
196409092002121001 |
||
SPO |
No. Kode |
: |
||
Terbitan |
: |
|||
No. Revisi |
: |
|||
Tgl. MulaiBerlaku |
: 1 Mei 2013 |
|||
Halaman |
: 1/3 |
1. Tujuan |
Agar petugasdapat menegakkan diagnosis diabetes melitus(DM) dan
melakukan pengobatan dan penyuluhan untuk pencegahan diabetes melitus. |
|||||||||||
2. Kebijakan |
Sebagaipedomanbagipetugasuntukmendiagnosadanmengobatipasien. |
|||||||||||
3. RuangLingkup |
PoliumumPuskesmasSelomerto 1 |
|||||||||||
4. Definisi |
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, saraf, ginjal dan pembuluh darah. |
|||||||||||
5. Prosedur |
a. Petugasmemanggilpasiensesuainomorurut. b. Petugasmenulisidentitaspasien di buku register c. Petugasmelakukananamnesapadapasienapakahpasienmengeluhkan gejala klasik DM yang berupa poliuria
(sering kencing), polidipsi (sering haus) dan polifagi (serng lapar). d. Petugas menanyakan pada pasien apakah terdapat keluhan
lain seperti berat badan turun tanpa penyebab yang jelas, kesemutan, gatal,
mata kabur, impotensi pada pria, pruritus vulva pada wanita, serta adakah
luka yang tidak kunjung sembuh. e. Petugasmelakukanpemeriksaantekanandarah f. Petugasmelakukanpemeriksaannadi g. Petugasmelakukanpemeriksaansuhu h. Petugasmelakukanpemeriksaanfisiktermasukekstremitas atas dan bawah termasuk jari. i. Biladiperlukanpetugasmembuatpermintaan pemeriksaan gula darah atau urin ke
laboratorium. j. Petugasmenyerahkansuratpermintaankepada pasienuntukselanjutnyapasienkelaboratorium k. Petugasmenerimahasillaboratoriumdaripasien l. Petugasmembacahasillaboratorium danmenegakan
diagnose berdasarkanhasil lab dananamnesis, yaitu: v Gejala klasik DM
+Glukosa darah sewatu ≥ 200 mg/dl (darah kapiler) v Gejala klasik DM +Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dl (darah
kapiler) v Tanpa gejala kasik DM + kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau GDP
ulang ≥ 100 mg/dl (darah kapiler) m. Petugas memberikan penatalaksanaan awal DM berupa
terapi gizi medis (TGM) dan latihan jasmani selama 2 – 4 minggu. Apabila
kadar gula darah belum mencapai
sasaran dilakukan intervensi farmakologi dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. v Obat hipoglikemik oral (OHO) dimulai dengan dosis kecil
dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis hampir maksimal. Pemberian OHO bersamaan dengan
pengaturan diit dan latihan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau OHO kombinasi. Terapi OHO kombinasi harus dipilih
dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda v Golongan Biguanid: Metformin, dosis awal 500 mg dosis
maksimal 2500 mg diberikan 1-3 kali/hari v Golongan Sulfonilurea: Glibenklamid dosis awal 2.5 mg
dosis maksimal 15 mg/hr diberikan 15 – 30 menit sebelum makan, 1-2 kali/hari. n. Petugas mengedukasi pasien tentang penyakit DM,
perlunya pengendalian dan pemantauan gula darah, penyulit DM dan resikonya
serta bagaimana mengatasi sementara keadaan gawat darurat akibat DM (rasa
sakit dan hipoglikemia). o.
Petugas mengedukasi
pasien tentang terapi gizi medis (TGM)makanan yang seimbang sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. p. Petugas mengedukasi pasien tentan latihan jasmani
secara teratur 3 – 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. q. Petugasmenulisresep. r. Petugasmenyerahkanresepkepadapasien s. Petugasmenulishasilpemeriksaanfisik,
laboratorium,diagnosedanterapikedalamrekam medic pasien t. Petugasmenandatanganirekam medic u. Petugasmenulis diagnose kebukurgisterrawatjalan. |
|||||||||||
6. Diagram Alir |
membuatrujukanpasienuntukpemeriksaangula darah Pasien
ke laboratoriumuntukpemeriksaangula darah Menerimahasillaboratoriumdaripasien Petugas menegakkan diagnosa berdasarkan anamnesa
dan hasil laboratorium Petugas mengedukasi pasien dan menulis resep menyerahkanresepkepadapasien menulishasilpemeriksaanfisik,
laboratorium,diagnosedanterapikedalamrekam medic pasien menulis diagnose
kebukurgisterrawatjalan. melakukanpemeriksaanfisikmeliput TD, nadi,
ekstremitas atas dan bawah melakukananamnesapadapasien tentang trias klasik DM dan keluhan lain memanggilpasiensesuainomorurut |
|||||||||||
7. Referensi |
12. Pedomam Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun 2002 Hal
26-27, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1, FKUI.
13. Pedoman pengobatan dasar di Puskesmas, Depkes RI
,dirjen pelayanan kefarmasian dan alat
kesehatan 2002 |
|||||||||||
8. DokumenTerkait |
14. Catatan Medik, 15. Blanko Rujukan, 16. Buku Register, 17. Blanko Resep |
|||||||||||
9. Distribusi |
18. Rawat Inap, 19. Laboratorium |
10. RekamanHistorisPerubahan
No |
Yang dirubah |
Isi Perubahan |
Tgl.mulaidiberlakukan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
UPTD PUSKESMAS SELOMERTO 1 |
DIABETES MELITUS |
||
DAFTAR TILIK |
No. Kode |
: |
|
Terbitan |
: |
||
No. Revisi |
: |
||
Tgl. MulaiBerlaku |
: |
||
Halaman |
: 1/2 |
No |
Langkah
Kegiatan |
Ya |
Tidak |
Tidak Berlaku |
|
1 |
Apakah |
Petugasmemanggilpasiessesuainomorurut? |
|
|
|
2 |
Apakah |
Petugasmenulisidentitaspasien
di buku register? |
|
|
|
3 |
Apakah |
Petugasmelakukananamnesapadapasienapakahpasienmengeluhkan gejala klasik DM yang berupa poliuria
(sering kencing), polidipsi (sering haus) dan polifagi (sering lapar)? |
|
|
|
5 |
Apakah |
Petugas menanyakan pada pasien apakah terdapat keluhan lain
seperti berat badan turun tanpa penyebab yang jelas, kesemutan, gatal, mata
kabur, impotensi pada pria, pruritus vulva pada wanita, serta adakah luka
yang tidak kunjung sembuh? |
|
|
|
6 |
Apakah |
Petugasmelakukanpemeriksaantekanandarah? |
|
|
|
7 |
Apakah |
Petugasmelakukanpemeriksaannadi? |
|
|
|
8 |
Apakah |
Petugasmelakukanpemeriksaansuhu? |
|
|
|
9 |
Apakah |
Petugasmelakukanpemeriksaanfisiktermasuk ekstremitas atas dan bawah termasuk jari? |
|
|
|
10 |
Apakah |
Biladiperlukanpetugasmembuatpermintaan pemeriksaan gula darah atau urin ke laboratorium? |
|
|
|
11 |
Apakah |
Petugasmenyerahkansuratpermintaankepada pasienuntukselanjutnyapasienkelaboratorium? |
|
|
|
12 |
Apakah |
Petugasmembacahasillaboratorium danmenegakan diagnose
berdasarkanhasil lab dananamnesis, yaitu: v
Gejala klasik DM +Glukosa darah sewatu ≥ 200
mg/dl (darah kapiler) v
Gejala
klasik DM +Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dl (darah kapiler) v
Tanpa
gejala kasik DM + kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau GDP ulang ≥ 100 mg/dl (darah
kapiler)? |
|
|
|
13 |
Apakah |
Petugas memberikan penatalaksanaan awal DM berupa
terapi gizi medis (TGM) dan latihan jasmani selama 2 – 4 minggu. Apabila
kadar gula darah belum mencapai
sasaran dilakukan intervensi farmakologi dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin? |
|
|
|
14 |
Apakah |
Petugas mengedukasi pasien tentang penyakit DM,
perlunya pengendalian dan pemantauan gula darah, penyulit DM dan resikonya
serta bagaimana mengatasi sementara keadaan gawat darurat akibat DM (rasa
sakit dan hipoglikemia)? |
|
|
|
15 |
Apakah |
Petugas mengedukasi pasien tentang terapi gizi medis
(TGM) makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan? |
|
|
|
16 |
Apakah |
Petugas mengedukasi pasien tentan latihan jasmani
secara teratur 3 – 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit? |
|
|
|
17 |
Apakah |
Petugasmenulisresep? |
|
|
|
18 |
Apakah |
Petugasmenyerahkanresepkepadapasien? |
|
|
|
19 |
Apakah |
Petugasmenulishasilpemeriksaanfisik,
laboratorium,diagnosedanterapikedalamrekam medic pasien? |
|
|
|
20 |
Apakah |
Petugasmenandatanganirekam
medic? |
|
|
|
21 |
Apakah |
Petugasmenulis
diagnose kebukurgisterrawatjalan? |
|
|
|
CR :………………………%
Selomerto,………………………
Pelaksana/
Auditor
(………………………………)
|
Diabetes
Melitustipe 1 |
|
||
SOP |
No. Dokumen |
: |
||
No. Revisi |
: |
|||
TanggalTerbit |
: |
|||
Halaman |
: |
|||
UPT PUSKESMAS
DTP SINGAJAYA |
|
AcuSuhendar,
SKM NIP. 19660909
198902 1 001 |
1. Pengertian |
Definisi Diabetes mellitus
adalahganguanmetabolik yang ditandaiolehhiperglikemiaakibatefekpadakerja
insulin (resistensi insulin) dansekresi insulin ataukedua-duanya. Anamnesis Keluhan: 1. Polifagia 2. Poliuri 3. Polidipsi 4. PenurunanBeratBadan Keluhantidakkhas DM: 1. Lemah 2. Kesemutan
(rasa baal di ujung-ujungektremitas) 3. Gatal 4. Mata
kabur 5. Disfungsiereksipadapria 6. Pruritus
vulvae padawanita 7. Luka
yang sulitsembuh FaktorRisiko 1. Beratbadanlebihdanobesitas
(IMT lebihdari 23 kg/m2) 2. Riwayat
DM dalamkeluargadekat 3. Riwayatabortusberulang,
melahirkanbayicacat, atau BB lahirbayilebihdari 4000 gram 4. Riwayat
DM gestasional 5. Penggunaan
steroid jangkapanjang HasilPemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana
(Objective) Tandapatognomonis Penurunanberatbadan yang
tidakjelaspenyebabnya Faktorpredisposisi 1. Usia
. 45 tahun 2. Diet
tinggikaloridanlemak 3. Aktifitasfisik
yang kurang 4. Hipertensi
(TD lebihdari 140/90MmHg) 5. Riwayat
TGT atau GDPT 6. Penderitapenyakitjantung
coroner, tuberculosis, hipertiroidisme 7. Dislipidemia PemeriksaanPenunjang 1. GulaDarahPuasa 2. GulaDarah
2 jam Post Prandial 3. HbA1c PenegakanDiagnostik (Assessment)
Diagnosaklinis Kriteria diagnostic DM dangangguantoleransiglukosa: 1. Gejalaklasik
DM (polyuria, polydipsia, polifagia) + glukosa plasma sewaktulebihdari 200
mg/dl (11.1 mmol/L). Glukosa plasma
sewaktumerupakanhasilpemeriksaansesaatpadasuatuharitanpamemperhatikanwaktumakanterakhir. 2. Gejalaklasik
DM+ kadarglukosa plasma puasalebihdari 126 mg/dl.
Puasadiartikanpasientidakmendapatkaloritambahansedikitnya8jam. 3. Kadar
glukosa plasma 2 jampada TTOG lebihdari 200 mg/dL (11.1 mmol/L) TTGO
dilakukandenganstandar WHO, menggunakanbebanglukosaanhidrus 75 gram yang
dilarutkandalam air. 4. HbA1C Penentuan diagnosis DM berdasarkan HbA1c
lebihdari 6,5% belumdapatdigunakansecaranasional di Indonesia,
mengingatstandarisasipemeriksaan yang masihbelumbaik. Apabilahasilpemeriksaantidakmemenuhikriteria
normal atau DM, makadapat di golongkankedalamkelompok TGT atau GDPT
tergantungdarihasil yang di peroleh. Kriteriagangguantoleransiglukosa: 1. GDPT
ditegakanbilastelahpemeriksaanglukosa plasma puasadidapatkanantara 100-125
mg/dl (5.6-6.9 mmol/L) 2. TGT ditegakanbilasetelahpemeriksaan
TTGO kadarglukosa plasma 140-199 mg/dlpada 2 jam sesudahbebanglukosa 75gram
(7.8-11.1 mmol/L) 3. HbA1C
5.7-6.4% Penentuan diagnosis DM
berdasarkan HbA1C lebihdari 6.5% belumdapatdigunakansecaranasional di
Indonesia, mengingatstandarisasipemeriksaan yang masihbelumbaik Diagnosis Banding Diabetes insipidus Komplikasi A. Akut: 1. Ketoasidosisdiabetik 2. Hyperosmolar
non ketotik 3. Hipoglikemia B. Kronik: 1. Makroangiopati 2. Pembuluhdarahjantung 3. Pembuluhdarahperifer 4. Pembuluhdarahotak C. Mikroangiopati 1. Pembuluhdarahkapiler
retina 2. Pembuluhdarahkapiler
renal D. Neuropati E. Gabungan: 1. Kardiomiopati 2. Rentaninfeksi 3. Kaki
diabetic 4. Disfungsiereksi |
2. Tujuan |
Prosedur ini dibuat untuk pedomanpengobatanpasiendengandiagnosadiabetes mellitus tipe 1 di
tingkatpelayanandasar/puskesmasolehdokterumum |
3. Kebijakan |
SK Kepala UPT Puskesmas DTP
Singajaya No. …./…/ KEP/ PKM / 2017tentangLayananKesehatan di UPT Puskesmas
DTP Singajaya. |
4. Referensi |
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati,S.Eds. Bukuajarilmupenyakitdalam. Ed 4. Vol.
III. Jakarta: PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam FKUI; 2006. 2. PerkumpulanEndokrinologi
Indonesia. KonsensusPengelolaandanPencegahan Diabetes MelitusTipe 2 di
Indonesia. 2011 |
5. Prosedur |
Penatalaksanaan Terapiuntuk Diabetes
Melitusdilakukandenganmodifikasigayahidupdanpengobatan (algoritmapengelolaan
DM tipe 2). Farmakoterapi yang diberikan,
yaitu: Pemberian OHO, terdiridari: 1. OHO dimulaidengandosiskecildanditingkatkansecarabertahapsesuairesponskadarglukosadarah,
dapatdiberikansampaidosis optimal. 2. Sulfonilurea:
15 –30 menitsebelummakan. 3. Metformin
:sebelum/padasaat/sesudahmakan. 4. Penghambatglukosidase
(Acarbose): bersamamakansuapanpertama. KonselingdanEdukasi Meliputipemahamantentang: 1. Pemyakit
DM 2. Maknadanperlunyapengendaliandanpemantauan
DM. 3. Penyulit
DM. 4. Intervensifarmakologis. 5. Hipoglikemia. 6. Masalahkhusus
yang di hadapi. 7. Cara
mengembangkan system pendukungdanmengajarkanketerampilan. 8. Cara
mempergunakanfasilitasperawatankesehatan. 9. Pemberianobatjangkapanjangdengan
control. KriteriaRujukan Sistemrujukanperludilakukanpadaseluruhpusatpelayanankesehatan
yang memungkinkandilakukanrujukan, rujukanmeliputi: 1. Rujukankebagianmata 2. Rujukanuntukterapigizimedissesuaiindikasi 3. Rujukanuntukedukasikepadaedukator
diabetes 4. Rujukankepadaperawatkhusus
kaki (podiatrist)<spesialisperilaku (psikolog) atauspesialis lain
sebagaibagiandaripelayanandasar 5. Konsultasi
lain sesuaikebutuhan Peralatan 1. AlatPemeriksaanGulaDarahSederhana 2. Alatpengukurberatdantinggibadananaksertadewasa 3. SkalaAntropometri Prognosis Vitam: Dubia ad bonam Fungsionam: Dubia ad malam Sanationam: Dubia ad malam |
6. Unit
Terkait |
1. Unit
BP Umum 2. Unit
BP Gigi 3. Unit
Perawatan 4. Unit
KIA – KB 5. MTBS 6. PONED 7. IGD |
|
TATALAKSANA KASUS DIABETES
MELITUS TIPE II |
|
|
|
No.
Dokumentasi : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT
I/2017 |
||
No
Revisi : |
|||
TanggalTerbit : 20 Pebruari
2017 |
|||
Halaman : 1/5 |
|||
PuskesmasSusut I |
TTD Kapus |
dr.
Ni Nym Kurniawati NIP. 19840609 201001 2 008 |
|
1.
Pengertian |
Definisi: Diabetes
mellitus tipe II merupakan kumpulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia
akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau
kedua-duanya. Faktor
risiko: ·
Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/m2) ·
Riwayat penyakit DM di keluarga ·
Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau
sedang dalam terapi hipertensi) ·
Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000
gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional ·
Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic
ovary syndrome) ·
Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)
/ TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) ·
Aktifitas jasmani yang kurang Manifestasi Klinis: ·
Keluhan klasik DM: polifagia, poliuri,
polidipsi, penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya. ·
Keluhan tidak khas dapat berupa lemah,
kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas), gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita, luka yang
sulit sembuh Pemeriksaan
Fisik: 1.
Penilaian berat badan 2.
Mata : Penurunan visus, lensa mata buram 3.
Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan
mikrofilamen Pemeriksaan
Penunjang:Gula darah puasa, gula darah 2 jam Post Prandial, urinalisis,
funduskopi, pemeriksaan fungsi ginjal, EKG, Xray thoraks. Diagnosis Klinis: Kriteria
diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa: 1.
Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia,
polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir ATAU 2.
Gejala Klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa
≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya
8 jam ATAU 3.
Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi
glukosa oral (TTGO)> 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan
dalam air. Apabila
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula
Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh |
|
TATALAKSANA KASUS DIABETES
MELITUS TIPE II |
|
|
|
No.
Dokumentasi : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT
I/2017 |
||
No
Revisi : |
|||
TanggalTerbit : 20 Pebruari
2017 |
|||
Halaman : 2/5 |
|||
PuskesmasSusut I |
TTD Kapus |
dr.
Ni Nym Kurniawati NIP. 19840609 201001 2 008 |
|
|
Kriteria
gangguan toleransi glukosa: 1.
GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l) 2.
TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
(7,8 -11,1 mmol/L) 3.
HbA1C 5,7 -6,4% Komplikasi: 1.
Akut: ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non
ketotik, hipoglikemia 2.
Kronik: makroangiopati, pembuluh darah
jantung, pembuluh darah perifer, pembuluh darah otak 3.
Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler
retina, pembuluh darah kapiler renal 4.
Neuropati 5.
Gabungan: kardiomiopati, rentan infeksi, kaki
diabetik, disfungsi ereksi Penatalaksanaan: Terapi
untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup sehat dan
pengobatan. ·
Dosis OHO Cara Pemberian OHO, terdiri dari: 1.
OHO dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis optimal. 2.
Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. 3.
Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan. 4.
Penghambat glukosidase (Acarbose):
bersama makan suapan pertama. ·
Konseling dan Edukasi Edukasi meliputi pemahaman tentang: 1.
Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi
dapat dikontrol 2.
Gaya hidup sehat harus diterapkan pada
penderita misalnya olahraga, menghindari rokok, dan menjaga pola makan. Pemberian obat jangka panjang dengan
kontrol teratur setiap 2 minggu ·
Terapi Nutrisi medis: 1.
Pada penderita diabetes perlu ditekankan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan 2.
Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total
asupan energi 3.
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan
kalori, dan pembatasan makanan yang mengandung lemak jenuh, seperti daging
berlemak dan susu Asupan protein sebesar 10-20% dari
total asupan energi. Pada pasien nefropati jumlah asupan protein yaitu
0,8g/Kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi. |
|
TATALAKSANA KASUS DIABETES
MELITUS TIPE II |
|
|||||||||||||
|
No.
Dokumentasi : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT
I/2017 |
||||||||||||||
No
Revisi : |
|||||||||||||||
TanggalTerbit : 20 Pebruari
2017 |
|||||||||||||||
Halaman : 3/5 |
|||||||||||||||
PuskesmasSusut I |
TTD Kapus |
dr.
Ni Nym Kurniawati NIP. 19840609 201001 2 008 |
|||||||||||||
|
·
Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5
kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu
intensitas sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Kriteria
Rujukan: Untuk penanganan tindak lanjut
pada kondisi berikut: 1.
DM tipe 2 dengan komplikasi 2.
DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk 3.
DM tipe 2 dengan infeksi berat Prognosis: prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah
penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam,
namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam. |
||||||||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan penerapan
langkah-langkah untuk: -
Penanganan pasien DM
tipe II -
Mengurangi gejala
klinis DM tipe II -
Mencegah terjadinya komplikasi |
||||||||||||||
3.
Kebijakan |
SK
Kepala Puskesmas No.008/UKP/SUSUT I / 2017 tentang layanan
klinis |
||||||||||||||
4.
Referensi |
1. Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/MENKES/514 Tahun 2015 tentang
panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
||||||||||||||
5.
Persiapan |
1.
Alat a.
Stetoskop b.
Thermometer c.
Tensimeter d.
Glukometer sederhana 2.
Bahan a.
Alat Perlindungan Diri b.
Stick GDS |
||||||||||||||
6.
Langkah-langkah |
Anamnesa
Pasien -
Memperkenalkan diri -
Menanyakan identitas pasien -
Menanyakan keluhan utama pasien yang dapat berupa
keluhan klasik diabetes atau yang tidak khas, riwayat perjalanan penyakit
hingga keluhan menggunakan konsep Sacred
seven dan Fundamental Four Menanyakan riwayat kesehatan terdahulu seperti, hipertensi, diabetes
melitus, jantung, asthma,obat – obatan yang dikonsumsi, riwayat kesehatan
keluarga serta riwayat sosial yang berkaitan dengan penyakit dan komplikasi
yang saat ini diderita pasien |
||||||||||||||
|
TATALAKSANA KASUS DIABETES
MELITUS TIPE II |
|
|||||||||||||
|
No.
Dokumentasi : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT
I/2017 |
||||||||||||||
No
Revisi : |
|||||||||||||||
TanggalTerbit : 20 Pebruari
2017 |
|||||||||||||||
Halaman : 4/5 |
|||||||||||||||
PuskesmasSusut I |
TTD Kapus |
dr.
Ni Nym Kurniawati NIP. 19840609 201001 2 008 |
|||||||||||||
|
Pemeriksaan
Fisik -
Petugas melakukan informed
consent tentang tindakan yang akan dilakukan. -
Petugas cuci tangan dan
menggunakan APD -
Petugas melakukan pemeriksaan
vital sign -
Petugas melakukan fisik
menyeluruh -
Petugas melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana -
Petugas melakukan cuci tangan -
Penegakan diagnose dan evaluasigizi, evaluasi
penyulit DM, evaluasi perencanaan makan sesuai kebutuhan Tatalaksana
Kasus -
Golongan Biguanid:
Metformin, dosis awal 500 mg dosis maksimal 2500 mg diberikan 1-3 kali/hari -
Golongan Sulfonilurea:
Glibenklamid dosis awal 2.5 mg dosis maksimal 15 mg/hr diberikan 15 – 30
menit sebelum mkan, 1-2 kali/hari. -
Golongan Inhibitor α
glukosidase: Acarbose dosis awal 50 mg dosis maksimal 300 mg diberikan 1-3
kali/hari -
Insulin : short acting atau
long acting -
Konseling dan edukasi sesuai dengan terapi non
farmakologis dan efek samping obat Pencatatan rekam medis
dan register Rujuk
apabila menemukan komplikasi atau tanda-tanda infeksi berat |
||||||||||||||
7.
Diagram Alir |
Pasien datang Anamnesa Petugas mencuci tangan dan gunakan APD Pemeriksaan fisik dan Laboratorium
sederhana Pasien datang Mencuci tangan Menggunakan APD Pengkajian Awal Klinis Pasien datang Mencuci tangan Menggunakan APD Pengkajian Awal Klinis |
|
TATALAKSANA KASUS DIABETES
MELITUS TIPE II |
|
|||||||||||||||||
|
No.
Dokumentasi : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT
I/2017 |
||||||||||||||||||
No
Revisi : |
|||||||||||||||||||
TanggalTerbit : 20 Pebruari
2017 |
|||||||||||||||||||
Halaman : 5/5 |
|||||||||||||||||||
PuskesmasSusut I |
TTD Kapus |
dr.
Ni Nym Kurniawati NIP. 19840609 201001 2 008 |
|||||||||||||||||
|
Penegakan Diagnosa Evaluasi penyulit DM, status gizi, dan
perencanaan sesuai kebutuhan Pencatatan rekam medis dan register
pasien serta kelengkapan administrasi Pemberian Edukasi Gaya Hidup Sehat dan
pemberian terapi sesuai pedoman yang berlaku Pulang |
||||||||||||||||||
7. Hal-hal yang perlu diperhatikan |
1. Keadaan umum pasien dan komplikasi 2. Kelengkapan ketersediaan alat- alat kesehatan 3. Pemakaian APD 4. Konseling dan
edukasi |
||||||||||||||||||
8. Unit terkait |
-
Ruangan Pemeriksaan Umum -
Ruangan UGD -
Ruangan rawat inap -
Ruangan Laboratorium -
Ruangan Konseling |
||||||||||||||||||
9. Dokumen terkait |
1. Buku register 2. Dokumen/ rekam medik |
||||||||||||||||||
10. Rekaman Historis Perubahan |
|
|
EPILEPSI |
|
|
SPO |
No. Dokumen : SPO/ VII/ UKP/ 01/ 16 |
||
No. Revisi : |
|||
Tanggal Terbit : 4 April 2016 |
|||
Halaman : 1/3 |
|||
Puskesmas I Cilongok |
|
dr. Novita Sabjan NIP. 19731101 200604 2 006 |
|
Pengertian |
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari
24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan
epilepsi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas listrik
yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak. |
||
Tujuan |
Agar petugas dapat menegakkan
diagnosis epilepsi, melakukan pengobatan, edukasi pasien dan keluarga, |
||
Kebijakan |
|
||
Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 |
||
Prosedur |
v. Petugas memanggil pasien yang telah dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital oleh perawat, w. Petugas melakukan anamnesa pada pasien, x. Petugas menanyakan pada pasien: Langkah pertama: memastikan apakah kejadian
yang bersifat paroksismal merupakan bangkitan epilepsi. 1. Gejala sebelum,
selama dan paska bangkitan ·
Keadaan penyandang saat
bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/ tidur/ berkemih. ·
Gejala awitan (aura, gerakan/
sensasi awal/ speech arrest). ·
Pola/bentuk yang tampak
selama bangkitan: gerakan tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat berkeringat, deviasi mata. ·
Keadaan setelah kejadian:
bingung, terjaga, nyeri |
|
EPILEPSI |
|
|
|
SPO |
No. Dokumen : SPO/ VII/ UKP/ 01/ 16 |
|
||
No.
Revisi : |
|
|||
Tanggal
Terbit : 4
April 2016 |
|
|||
Halaman : 2/3 |
|
|||
|
·
kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis. ·
Faktor pencetus: alkohol,
kurang tidur, hormonal. ·
Jumlah pola bangkitan satu
atau lebih, atau terdapat perubahan pola bangkitan. 2. Penyakit lain yang mungkin diderita
sekarang maupun riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik
maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab. 3. Usia
awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan. 4. Riwayat
terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE,
kombinasi terapi). 5. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga. 6. Riwayat
keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik atau sistemik. 7. Riwayat
pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak. 8. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam. 9. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP. y. Petugas melakukan pemeriksaan fisik meliputi inspeksi adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit
neurologik fokal, pemeriksaan neurologis. z.
Petugas menegakan diagnosis, sebagai dokter
pelayanan primer, bila pasien terdiagnosis sebagai
epilepsi, untuk penanganan awal pasien harus dirujuk ke
dokter spesialis |
|
EPILEPSI |
|
|||||||||
SPO |
No. Dokumen : SPO/ VII/ UKP/ 01/ 16 |
||||||||||
No. Revisi : |
|||||||||||
Tanggal Terbit : 4 April 2016 |
|||||||||||
Halaman : 3/3 |
|||||||||||
|
saraf. ·
Jika terjadi kejang,
tangani kejang dengan obat-obatan anti konvulsi yang tersedia di puskesmas. f. Petugas memberikan
Konseling dan Edukasi: · Memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit ini tidak
menular. · Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi
penderita.Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak perlu
pendampingan sehingga lingkungan dapat menerima dengan baik. · Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan baik. i.
Petugas mencucitangan sebelum dan setelah tindakan, j. Petugas menulis hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnose dan terapi kedalam rekam medis pasien, serta melengkapi lembar surat rujukan bagi pasien epilepsi
yang baru pertama kali terdiagnosis. k. Petugas menandatangani rekam medis. |
||||||||||
Petugas memanggil pasien yg sebelumnya telah diperiksa
vital sign nya |
penanganan
awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis saraf. Petugas memberikan konseling dan
edukasi Petugas menegakkan diagnosa berdasar pemeriksaan yang telah dilakukan Petugas menulis pada RM Petugas melakukan anamnesa, cuci tangan, pemeriksaan fisik secara lengkap,
kemudian cuci tangan setelah pemeriksaan |
||||||||||
Unit terkait |
Poli Umum, RM |
||||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
|
EPISKLERITIS |
|
|
SOP |
NO. DOKUMEN :
|
||
NO. REVISI
: |
|||
TANGGAL TERBIT : 1 Maret 2016 |
|||
HALAMAN
: 2 halaman |
|||
DINAS KESEHATAN
KABUPATEN BANYUMAS |
|
Disahkan Oleh Kepala Puskesmas Kalibagor Dr. Fajar Windiyasari DW,MM NIP. 19751126 200701 2 006 |
|
PENGERTIAN |
Merupakan
reaksi radang pada epislera yaitu jaringan ikat vaskular yang terletak
diantara konjungtiva dan permukaan sklera. |
||
TUJUAN |
Menghentikan proses peradangan pada episklera. |
||
KEBIJAKAN |
Semua
peradangan pada episklera baik yang ringan maupun yang merupakan tanda adanya
penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid ostritis dan systemic Lupus
erythematosus ( SLE ) . |
||
PETUGAS |
1. Dokter |
||
PERALATAN
|
1.
Snellen
chart 2.
Lampu
senter 3.
Kapas
bersih 4.
Tetes mata
rasokonstiktor ; fenil efrin 2,5% |
||
PROSEDUR |
1. Periksa bola mata dengan penyinaran senter. 2. Tampak Kemerahan pada episkleritis yang
disebabkan oleh kongesti pleksus episklera superfisial dan konjungtival yang
letaknya di atas dan terpisah dari lapisan sklera dan pleksus episklera
profunda di dalamnya .Lakukan penetesan Fenil Efedrin 2,5% akan mengecilkan
kongesti dan mengurangi kemerahan. 3. Pada episkleritis nodular, ditemukan nodul
kemerahan berbatas tegas di bawah konjungtiva. Nodul dapat di gerakan bila
nodul di tekan dengan kapas atau melalui kelopak mata yang di pejamkan di atasnya,
akan timbul rasa sakit yang menjalar di sekitar mata. 4. Periksa virus mata. 5. Periksa mata biasanya berair dengan secret yang
jernih dan encer . Bila secret tebal, kental, dan berair, perlu di pikirkan
diagnosis lain. |
||
BAGIAN TERKAIT |
- BP Umum |
||
REFERENSI |
Ilyas, S, 2005. Ilmu penyakit mata
3rd ed, Jakarta : Balai Penerbit FK UI . |
|
EPISTAKSIS |
|
|||||||||
SPO |
No.
Dokumen : SPO/IX/KB-00/04/16 |
||||||||||
No.
Revisi : 0 |
|||||||||||
Tanggal
Terbit : 4 April 2016 |
|||||||||||
Halaman :
1/2 |
|||||||||||
Puskesmas II PURWOKERTA UTARA |
|
Dr Maria Valentina 197208122002122004 |
|||||||||
1.
Pengertian |
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir
keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. |
||||||||||
2. Tujuan |
Untuk
memahami dan melakukan tindakan dengan benar dan tepat |
||||||||||
3.
Kebijakan |
Surat
Keputusan Kepala Puskesmas II Purwokerto Utara |
||||||||||
4.
Referensi |
KMK RI
Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama |
||||||||||
5.
Prosedur |
a.
Peralatan
dan Bahan Medis Habis Pakai 1)
Lampu
kepala 2)
Spekulum
hidung 3)
Alat
penghisap (suction) 4)
Pinset
bayonet 5)
Tampon
anterior, Tampon posterior 6)
Kaca
rinoskopi posterior 7)
Kapas
dan kain kassa 8)
Lidi
kapas 9)
Nelaton
kateter 10) Benang kasur 11) Larutan Adrenalin 1/1000 12) Larutan Pantokain 2% atau
Lidokain 2% 13) Larutan Nitras Argenti 15 –
25% 14) Salep vaselin, Salep
antibiotik
1) Melakukan Anamnesa terhadap pasien 2) Menanyakan Keluhan Pasien a.
Keluar darah dari hidung atau riwayat
keluar darah dari hidung. b. Harus
ditanyakan secara spesifik mengenai : a) Lokasi
keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok) b) Banyaknya
perdarahan c) Frekuensi
d) Lamanya
perdarahan
1) Rinoskopi
anterior Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan
dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk
mengetahui sumber perdarahan. 2) Rinoskopi
posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi
posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan
neoplasma. 3) Pengukuran
tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan
diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis
posterior yang hebat dan sering berulang. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu
: 1. Menghentikan perdarahan 2. Mencegah komplikasi 3. Mencegah berulangnya epistaksis Penatalaksanaan 1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa
dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok,
pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan. 2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan,
kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung
dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku. 4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang
dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan
Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan
untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan.
Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi. 5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat
dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi
larutan Nitras Argenti 15 – 25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area
tersebut diberi salep antibiotik. 6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain
kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat
juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab Tiga prinsip utama dalam
menanggulangi epistaksis, yaitu : 1. Menghentikan perdarahan 2. Mencegah komplikasi 3. Mencegah berulangnya epistaksis Penatalaksanaan 1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa
dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok,
pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan. 2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan,
kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka
dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku. 4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang
dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan
Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan
untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan.
Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi. 5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat
dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi
larutan Nitras Argenti 15 – 25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area
tersebut diberi salep antibiotik. 6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain
kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat
juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab Rencana Tindak Lanjut Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah selanjutnya
adalah mencari sumber perdarahan atau penyebab epistaksis. Konseling dan Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga untuk: 1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini
merupakan gejala suatu penyakit, sehingga dapat mencegah timbulnya kembali
epistaksis. 2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan
hipertensi. 3. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu
keras. 4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung,
termasuk jari sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien
anak. 5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat
meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen. Pemeriksaan penunjang lanjutan Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila
dicurigai sinusitis. Kriteria Rujukan 1. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas
yang tidak tersedia di layanan Tingkat Pertama, misalnya naso-endoskopi. 2. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di
rongga hidung atau nasofaring. 3. Epistaksis yang terus berulang atau masif |
||||||||||
6.
Diagram Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit
terkait |
|
||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas + NIP |
||||||||
Pengertian |
penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum. |
|||||||||
Tujuan |
Memberikan
tatalaksana yang tepat pada pasien dengan diagnosa Eritrasma |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama |
|||||||||
Prosedur |
- Pemeriksaan Fisik Lokasi : lipat
paha bagian dalam, sampai skrotum, aksilla, dan intergluteal
Efloresensi :
eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan kadang
erosif. Kadang juga didapatkan likenifikasi dan
hiperpigmentasi. - Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan
dengan lampu Wood 2. Sediaan
langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram -Penatalaksanaan 1. Pengobatan
topikal: salep Tetrasiklin 3% 2. Pengobatan
sistemik: Eritromisin 1 g sehari (4 x 250mg) - Konseling dan Edukasi 1. Bagi penderita
diabetes, tetap mengontrol gula darah 2. Menjaga
kebersihan badan 3. Menjaga agar
kulit tetap kering 4. Menggunakan
pakaian yang bersih dengan bahan yang menyerap
keringat. 5. Menghindari
panas atau kelembaban yang berlebih |
|||||||||
Diagram Alir |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
|
ERISIPELAS |
|
|||||||||
SPO |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS
I SUMBANG |
|
Wahyanto,
SKM.,M.Kes. NIP.19650516
198803 1 104 |
|||||||||
1.
Pengertian |
No. ICPC-2 : S
76Skin infection order No. ICD-10 : A
46 Erysipelas Tingkat
Kemampuan 4A Erisipelas
adalah penyakit infeksi bakteri akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, melibatkan dermis
atas dengan tanda khas meluas ke limfatik kutaneus superfisial. |
||||||||||
2.
Tujuan |
Semua
pasien ditangani sesuai prosdur |
||||||||||
3.
Kebijakan |
SK |
||||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
||||||||||
5.
Prosedur |
Hasil Anamnesis
(Subjective) Keluhan Terdapat gejala
konstitusi seperti demam dan malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit.
Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa terbakar, nyeri dan bengkak.
Didahului trauma atau riwayat faringitis. Faktor Risiko: 1. Penderita
Diabetes Mellitus 2. Higiene
buruk 3. Gizi kurang 4. Gangguan
saluran limfatik Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan
Fisik Lokasi : kaki,
tangan dan wajah Efloresensi
: eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi
dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula. Penegakan
Diagnostik(Assessment) Diagnosis
Klinis Penegakan
diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis
Banding: Selulitis,
Urtikaria Komplikasi: Ganggren, Edema
kronis, terjadi scar, sepsis, demam Scarlet, Pneumonia, Abses,
Emboli, Meningitis Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
1. Istirahat 2. Tungkai
bawah dan kaki yang diserang ditinggikan Pengobatan
sistemik : 1. Analgetik
antipiretik 2. Antibiotik :
a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari b. Sefalosporin
4 x 400 mg selama 5 hari Rencana tindak
lanjut : 1. Memantau
terjadinya komplikasi 2. Mencegah
faktor risiko Konseling dan
Edukasi 1. Bagi
penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah 2. Menjaga
kebersihan badan Kriteria
Rujukan Jika
terjadi komplikasi Prognosis Dubia
ad bonam |
||||||||||
6.
Diagram Alir (bila
perlu) |
|
||||||||||
7.
Unit terkait |
Balai
pengobatan |
||||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
Pengertian |
No. ICPC-2 : S07 Rash generalized No. ICD-10 : L27.0 Generalized skin
eruption due to drugs and medicament Tingkat
Kemampuan 4A Masalah
Kesehatan Exanthematous Drug Eruption adalah
salah satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang terjadi akibat
pemberian obat yang sifatnya sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi
alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe
lambat) menurut Coomb and Gell. Nama lainnya adalah erupsi
makulopapular atau morbiliformis. |
|||||||||
Tujuan |
Semua pasien exanthematous drug eruption yang datang ke Puskesmas ABC
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
|||||||||
Prosedur |
Hasil
Anamnesis (Subjective) Keluhan
Gatal ringan sampai berat yang
disertai kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan muncul 10-14 hari setelah
mulai pengobatan. Biasanya disebabkan karena penggunaan antibiotik
(ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) atau analgetik-antipiretik non
steroid. Kelainan umumnya timbul pada tungkai,
lipat paha, dan lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gejala diikuti
demam subfebril, malaise, dan nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah
mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-bahan yang dipakai untuk diagnostik
(contoh: bahan kontras radiologi). Faktor
Risiko
Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis
Tempat predileksi
Pemeriksaan Penunjang
Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis
Diagnosis Banding
Komplikasi
Penatalaksanaan
komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah
menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Farmakoterapi yang diberikan, yaitu:
Bedak salisilat 2% dan
antipruritus (Menthol 0.5% - 1%) Konseling
dan Edukasi
Kriteria
Rujukan
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus
untuk mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug Eruption. Prognosis Prognosis umumnya bonam, jika
pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak memenuhi kriteria rujukan. |
|||||||||
Diagram Alur |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
KabupatenBanyumas |
SPO FARINGITIS AKUT |
|
|
SPO |
No. Dokumen : |
||
No. Revisi : |
|||
Tanggal Terbit : |
|||
Halan : 2/ |
Nama Puskesmas........ |
TTD KAPUS |
Nama dan gelar Kepala
Nip.................................. |
|
Tujuan |
Mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada pasien
faringitis akut |
|
|
3. Kebijakan |
Berlaku pada semua pasien faringitis
akut |
|
|
4. Referensi |
|
|
|
5. Prosedur/ Langkah- langkah |
20. Pengertian 20.1.
Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi
orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari influensa
(Rinofaringitis). 20.2.
Penyebab : virus yang menyerang jaringan limfoid faring. 20.3.
Faktor pencetus atau yang memperberat iritasi makanan
yang merangsang. 20.4.
Infeksi sekunder dapat terjadi oleh berbagai kuman
seperti : golongan streptokokus, stafilokokus, influensa dan kuman anaerob. 20.5.
Perjalanan penyakit bergantung pada : 20.5.1.
Adanya infeksi sekunder 20.5.2.
Daya tahan tubuh penderita 20.5.3.
Virulensi kuman 20.6.
Faringitis biasanya sembuh sendiri dalam waktu 3 – 5
hari. 21. Gambaran
klinis 21.1.
Nyeri tenggorok dan sakit menelan, yang mungkin
didahului pilek atau influensa lainya. 21.2.
Nyeri sampai ke telinga (otalgia) 21.3.
Hiperemia pada jaringan linfoid di dinding belakang
faring yang kadang disertai folikel eksudat menandakan adanya infeksi
sekunder, pada permukaannya mungkin terlihat alur-alur sekret mukopurulen. 22. Penatalaksanaan: 22.1.
Istirahat dan banyak minum 22.2.
Pengobatan simtomatis : 22.2.1.
Demam : parasetamol 3 x 500 mg (dosis anak : 10
mg/kgbb/kali) Ingus
yang berlebihandiberikan dekongestan : efedrin 3 x 10 mg (dosis ana |
|
|
6. Diagram Alir (jikadibutuhkan) |
|
|
|
7. Unit terkait |
|
|
|
|
FILARIASIS |
|
||||
SOP |
No.
Dokumen : |
|||||
No. Revisi
: |
||||||
Tanggal
Terbit : |
||||||
Halaman : |
||||||
PUSKESMAS I WANGON |
Tanda Tangan |
dr. Tulus Budi P NIP.198203272009031006 |
||||
6. Pengertian |
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh
berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak
mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. |
|||||
7. Tujuan |
Sebagai
pedoman dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksanan yang tepat terhadap
pasien Filariasis |
|||||
8. Kebijakan |
. |
|||||
9. Referensi |
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA |
|||||
10.
Prosedur |
Penyakit
kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu: Wucheria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular di
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai
vektor penular penyakit kaki gajah. 1.
Langkah
Diagnosis 1.1.
Anamnesis Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah
endemik dengan daerah endemik lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan intensitas paparan terhadap vektor infektif di daerah endemik
tersebut. Manifestasi akut, berupa: a.
Demam berulang ulang selama
3-5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja
berat. b.
Pembengkakan kelenjar getah
bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (lymphadentitis) yang
tampak kemerahan, panas, dan sakit. c.
Radang saluran kelenjar getah
bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal kaki atau pangkal
lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis). d.
Filarial abses akibat
seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan
mengeluarkan nanah serta darah. e.
Pembesaran tungkai, lengan,
buah dada, kantong zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early
Imphodema). Gejala kronis filariasis berupa: pembesaran yang menetap (elephantiasis)
pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti)
yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh
reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis. Perjalanan penyakit bila diurut dari masa inkubasi maka dapat
dibagi menjadi: a.
Masa prepaten, yaitu masa
antara masuknya larva infektif hingga terjadinya mikrofilaremia berkisar
antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang
menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik ini pun tidak semua
kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok
yang asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik mikrofilaremik. b.
Masa inkubasi, masa antara
masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8 –
16 bulan. c.
Gejala klinik akut merupakan
limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang
terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat
amikrofilaremik maupun mikrofilaremik. d.
Gejala menahun, terjadi 10 –
15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada
stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun
ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta
membebani keluarganya. 1.2.
Pemeriksaan
Fisik Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfangitis dan
limfadenitis yang berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali
dalam setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah distal dari kelenjar yang
terkena tempat cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis berkembang
lebih sering di ekstremitas bawah daripada atas. Selain pada tungkai, dapat
mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara. Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran
limfe. Bentuk manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai
bertahun-tahun dari episode akut. Tanda klinis utama yaitu hidrokel,
limfedema, elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai
bertambahnya usia. Manifestasi genital di banyak daerah endemis, gambaran kronis yang
terjadi adalah hidrokel. Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis,
funikulitis, edema karena penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan
bisa dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan elefantiasis ekstremitas,
episode limfedema pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis di daerah
saluran limfe yang terkena dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena
ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi di daerah paha dan
ekstremitas bawah sama seringnya, sedangkan B.malayi hanya mengenai
ekstremitas bawah saja. Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti, pembuluh
limfe alat kelamin laki-laki sering terkena, disusul funikulitis,
epididimitis, dan orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering
bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3 –15
hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. Pada filariasis brugia,
limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah
bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe
menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki
dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat
terjadi 12 x/tahun sampai beberapa kali per bulan. Kelenjar limfe yang
terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut
yang khas, setelah 3 minggu sampai 3 bulan. Pada kasus menahun filariasis bancrofti, hidrokel paling banyak
ditemukan. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas,
tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di
tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi tanpa keluhan,
tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan
kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi di tungkai bawah di
bawah lutut dan lengan bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih
dari 2 kali ukuran asalnya. 1.3.
Pemeriksaan
Penunjang 1.3.1.
Identifikasi mikrofilaria
dari sediaan darah. Cacing filaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah
tebal atau tipis pada waktu malam hari antara jam 10 malam sampai jam 2 pagi
yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright. Mikrofilaria
juga dapat ditemukan pada cairan hidrokel atau cairan tubuh lain (sangat
jarang). 1.3.2.
Pemeriksaan darah tepi
terdapat leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-30% dengan pemeriksaan
sediaan darah jari yang diambil mulai pukul 20.00 waktu setempat. 1.3.3.
Bila sangat diperlukan
dapat dilakukan Diethylcarbamazine provocative test. 1.4.
Diagnosis 1.4.1. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang identifikasi mikrofilaria. Di daerah endemis, bila
ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas disertai dengan kelainan
genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak
ada sebab lain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan
filariasis sangat tinggi. 1.4.2. Diagnosis Banding Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan
adenolimfadenitis filariasis akut Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan penyakit sistemik
granulomatous lainnya. 1.5. Komplikasi Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau bagian tubuh lainnya)
akibat obstruksi saluran limfe. 2.
Penatalaksanaan
Komperehensif 2.1.
Penatalaksanaan Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki
perjalanan penyakit, antara lain dengan : a.
Memelihara kebersihan kulit. b.
Fisioterapi kadang diperlukan
pada penderita limfedema kronis. c.
Obat
antifilaria adalah Diethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin
(obat ini bermanfaat apabila diberikan pada fase akut yaitu ketika pasien
mengalami limfangitis). d.
Dosis
DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada Tropical
Pulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu. e.
Ivermektin
diberikan dosis tunggal 150 ug/kgBB efektif terhadap penurunan derajat
mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp.
penurunan tersebut bersifat gradual. Kontraindikasi ivermektin yaitu wanita
hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki efek terhadap
cacing dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk
menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah. f.
Pemberian
antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga
mencegah terjadinya limfedema kronis. g.
Antihistamin
dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan.
Analgetik dapat diberikan bila diperlukan. h.
Pengobatan
operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif,
demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif. 2.2.
Konseling dan Edukasi Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai
penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara penularannya.
Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan dan pengendalian penyakit
menular ini melalui: a.
Pemberantasan nyamuk dewasa b.
Pemberantasan jentik nyamuk c.
Mencegah gigitan nyamuk 2.3.
Rencana
Tindak Lanjut Setelah
pengobatan, dilakukan kontrol ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila
masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada pemeriksaan darahnya, pengobatan
dapat diulang 6 bulan kemudian. 2.4.
Kriteria Rujukan Pasien dirujuk bila dibutuhkan
pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan
konservatif. |
|||||
11.
Unit
Terkait |
BP Umum, Laboratorium |
|||||
|
|
|||||
|
|
|||||
12.
Rekaman
Historis Perubahan |
||||||
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Tgl.
Mulai Diberlakukan |
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
Puskesmas Blooto |
FILARIASIS |
|||
SPO |
No. Kode |
Ditetapkan Oleh Kepala Puskesmas Blooto Dr.Farida
Mariana NIP.19781104
200501 2 014 |
||
Terbitan
:01 |
||||
No.
Revisi : 0 |
||||
Tgl. Mulai Berlaku :2
Januari 2015 |
||||
Halaman :
1- 2 |
||||
|
||||
10.
Pengertian |
Filariasis
(Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat
menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki,lengan dan alat kelamin baik perempuan
maupun laki-laki. |
|||
11.
Tujuan |
Prosedur ini dibuat
dimaksudkan untuk dokter dapat melakukan konseling dan edukasi kepada pasien
dan keluarga dan memberikan terapi dengan baik. |
|||
12.
Kebijakan |
Langkah- langkah Penanganan Filariasis wajib
sesuai dengan langkah- langkah SPO ini. |
|||
13.
Referensi |
Perawatan Dasar DEPKES RI Tahun 2014 |
|||
14.
Alat |
Alat : Tempat tidur, Stetoskop, Arloji, Thermometer, Tensimeter,Tampon hidung, · |
|||
15.
Prosedur |
PENATALAKSANAAN
Terapi
filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit,
antara lain dengan: a. Memelihara
kebersihan kulit. b. Fisioterapi
kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis. c. Obatantifilaria
adalahDiethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin. d. DEC
dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa, Ivermektin merupakan
antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak memiliki efek makrofilarisida. e. Dosis
DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada TropicalPulmonary
Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu. f. Efek
samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing
dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat
cacingdewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2
bentuk yang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal: 1. Reaksi
sistemik berupa demam,sakit kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia, malaise
dan muntah-muntah. Reaksi sistemik cenderung berhubungan dengan intensitas
infeksi. 2. Reaksi
lokal berbentuk limfadenitis,abses,dan transien limfedema. Reaksi lokal
terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik. 3. Efek
samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis, sehingga obat
tersebut tidak diberikan dalam program pengobatan masal didaerah endemis
filariasis dengan ko-endemis Onchorcercia valvulus. g. Ivermektin
diberikan dosis tunggal 150 ug/kg BB efektif terhadap penurunan derajat
mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp.
penurunan tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermektin sama dengan DEC,
kontraindikasi ivermektinyaitu wanita hamil dan anakkurang dari 5 tahun.
Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermektin harus diberikan
setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap
rendah. h. Pemberian
antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga
mencegah terjadinya limfedema kronis. i. Antihistamin
dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan.
Analgetik dapat diberikan bila diperlukan. j. Pengobatan
operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian
pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif. KONSELING
DAN EDUKASI Memberikan
informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit filariasis terutama
dampak akibat penyakit dan cara penularannya. Pasien dan keluarga juga harus
memahami pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini melalui: a.
Pemberantasan nyamuk dewasa. b.
Pemberantasan jentik nyamuk. c.
Mencegah gigitan nyamuk. Setelah
pengobatan, dilakukan kontrol ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila
masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada pemeriksaan darahnya, pengobatan
dapatdiulang 6 bulan kemudian. KRITERIA
RUJUKAN Pasien
dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik
dengan pengobatan konservatif. |
|||
Puskesmas Blooto |
FILARIASIS |
|
SOP |
No. Kode |
|
Terbitan
:01 |
||
No.
Revisi : 0 |
||
Tgl. Mulai Berlaku : |
||
Halaman :
2- 2 |
|
|
||
7.Unit terkait |
Poli Pengobatan, Kasir,UGD |
||
8.Dokumen
Terkait |
Buku rekam medis pasien |
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : Y81 Phimosis No. ICD-10 : N47 Phimosis Tingkat Kemampuan 4A Fimosis adalah kondisi dimana
preputium tidak dapat diretraksi melewati glans penis. Fimosis dapat bersifat
fisiologis ataupun patalogis. Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada bayi
dan anak-anak. Pada anak usia 3 tahun 90% preputium telah dapat diretraksi
tetapi pada sebagian anak preputium tetap lengket pada glans penis sehingga
ujung preputium mengalami penyempitan dan mengganggu proses berkemih. Fimosis
patologis terjadi akibat peradangan atau cedera pada preputium yang
menimbulkan parut kaku sehingga menghalangi retraksi. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien Fimosis yang datang ke Puskesmas
Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : …………….
Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
5.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA 6.
Sjamsuhidajat R,
Wim de Jong. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2.
Jakarta: EGC,2004. 7.
Hayashi Y,
Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and Circumcision.
The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301. 8.
Drake T, Rustom
J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678. 9.
TekgülS,
Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr Chr, dan
Stein R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology. European Association of
Urology. 2013. hlm 9-10 |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin seperti:
1. Nyeri saat buang air kecil 2. Mengejan saat buang air kecil 3. Pancaran urin mengecil 4. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan
smegma. Faktor Risiko 1. Hygiene yang buruk 2. Episode berulang balanitis atau balanoposthitis
menyebabkan skar pada preputium yang menyebabkan terjadinya fimosis patalogis
3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang tidak
menjalani sirkumsisi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal
hingga ke korona glandis 2. Pancaran urin mengecil 3. Menggelembungnya ujung preputium saat berkemih 4. Eritema dan udem pada preputium dan glans penis 5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki
skar dan tampak sehat 6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling preputium
terdapat lingkaran fibrotik 7. Timbunan smegma pada sakus preputium Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan fisik Diagnosis Banding Parafimosis, Balanitis, Angioedema Komplikasi Dapat terjadi infeksi berulang karena penumpukan
smegma. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05%
betametason) 2 kali perhari selama 2-8 minggu pada daerah preputium. 2. Sirkumsisi Rencana Tindak Lanjut Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan
perkembangan maka kondisi akan membaik dengan sendirinya Konseling dan Edukasi Pemberian penjelasan terhadap orang tua atau pasien
agar tidak melakukan penarikan preputium secara berlebihan ketika
membersihkan penis karena dapat menimbulkan parut. Kriteria Rujukan Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk tindakan
sirkumsisi maka dirujuk ke layanan sekunder. Peralatan Set bedah minor Prognosis Prognosis bonam bila penanganan sesuai |
|||||||||
6. Diagram
Alur |
|
|||||||||
7. Unit
terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
Pengertian |
No.
ICPC-2 : A85 Adverse effect medical agent No.
ICD-10 : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments Tingkat
Kemampuan 4A Masalah
Kesehatan Fixed Drug Eruption (FDE) adalah
salah satu jenis erupsi obat yang sering dijumpai. Darinamanya dapat
disimpulkan bahwa kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat yang sama.
Mempunyai tempat predileksi dan lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous
Drug Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik). |
|||||||||
Tujuan |
Semua
pasien Fixed Drug
Eruption yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan prosedur |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
|||||||||
Prosedur |
Hasil
Anamnesis(Subjective) Keluhan
Pasien datang keluhan kemerahan atau
luka pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin, yang terasa panas.
Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi penyebab
seperti Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim, dan analgetik. Anamnesis yang dilakukan harus
mencakup riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu. Kelainan timbul secara
akut atau dapat juga beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Keluhan lain
adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril. Faktor Risiko
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi khas:
Tempat predileksi:
Pemeriksaan penunjang Biasanya tidak diperlukan Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan Diagnosis Banding Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes
simpleks , SJS (Steven Johnson Syndrome) Komplikasi Infeksi sekunder Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Prinsip tatalaksana adalah
menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi
yang dapat diberikan, yaitu:
Konseling
dan Edukasi
Kriteria Rujukan
Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus
untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption. Prognosis Prognosis umumnya bonam, jika
pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak memenuhi kriteria rujukan. |
|||||||||
Diagram Alur |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas + NIP |
||||||||
Pengertian |
Fluor Albus adalah nama lain dari keputihan. |
|||||||||
Tujuan |
Memberikan
tatalaksana yang tepat pada pasien dengan diagnosa Fluor Albus |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama |
|||||||||
Prosedur |
- Pemeriksaan Fisik Penyebab discharge terbagi menjadi masalah
infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi dapat karena benda asing,
peradangan akibat alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau prolaps
uteri, sedangkan masalah infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau
virus seperti berikut ini: 1. Kandidiasis
vaginitis, disebabkan oleh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau,
pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan eritema satelit di luar vagina 2. Vaginosis
bakterial (pertumbuhan bakteri anaerob, biasanya Gardnerella vaginalis),
memperlihatkan adanya duh putih atau abu-abu yang melekat di sepanjang
dinding vagina dan vulva, berbau amis dengan pH >4,5. 3. Servisitis
yang disebabkan oleh chlamydia, dengan gejala inflamasi serviks yang mudah
berdarah dan disertai duh mukopurulen 4.
Trichomoniasis, seringkali asimtomatik, kalau bergejala, tampak duh kuning
kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH >4,5. 5. Pelvic inflammatory
disease (PID) yang disebabkan oleh chlamydia, ditandai dengan nyeri
abdomen bawah, dengan atau tanpa demam. Servisitis bisa ditandai dengan
kekakuan adneksa dan serviks pada nyeri angkat palpasi bimanual. 6. Liken
planus 7. Gonore 8. Infeksi
menular seksual lainnya 9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon atau kondom
yang terlupa diangkat) Periksa klinis dengan seksama untuk menyingkirkan adanya
kelainan patologis yang lebih serius. - Pemeriksaan Penunjang Swab vagina atas (high vaginal swab)
tidak terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada keadaan keraguan
menegakkan diagnosis, gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada saat
kehamilan, postpartum, postaborsi dan postinstrumentation. Penatalaksanaan Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit menular
seksual dapat diobati sesuai dengan gejala dan arah diagnosisnya. Vaginosis bakterial: 1.
Metronidazol atau Klindamisin secara oral atau per vaginam.
2. Tidak
perlu pemeriksaan silang dengan pasangan pria. 3. Bila
sedang hamil atau menyusui gunakan metronidazol 400 mg 2x sehari untuk 5-7
hari atau pervaginam. Tidak direkomendasikan untuk minum 2 gram peroral. 4. Tidak
dibutuhkan peningkatan dosis kontrasepsi hormonal bila menggunakan antibiotik
yang tidak menginduksi enzim hati. 5. Pasien
yang menggunakan IUD tembaga dan mengalami vaginosis bakterial dianjurkan
untuk mengganti metode kontrasepsinya. Vaginitis kandidiosis terbagi atas: 1. Infeksi tanpa komplikasi 2. Infeksi parah 3. Infeksi kambuhan 4. Dengan kehamilan 5. Dengan diabetes atau immunocompromise - Penatalaksanaan vulvovaginal kandidiosis: 1. Dapat
diberikan azol antifungal oral atau pervaginam 2. Tidak perlu
pemeriksaan pasangan 3. Pasien dengan
vulvovaginal kandidiosis yang berulang dianjurkan untuk memperoleh pengobatan
paling lama 6 bulan. 4. Pada saat
kehamilan, hindari obat anti-fungi oral, dan gunakan imidazol topikal hingga
7 hari. 5. Hati-hati
pada pasien pengguna kondom atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa penggunaan
antifungi lokal dapat merusak lateks 6. Pasien
pengguna kontrasepsi pil kombinasi yang mengalami vulvovaginal kandidiosis
berulang, dipertimbangkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lainnya Chlamydia: 1. Azithromisin
1 gram single dose, atau Doksisiklin 100 mg 2 x
sehari untuk 7 hari 2. Ibu hamil
dapat diberikan Amoksisilin 500 mg 3 x sehari
untuk 7 hari atau Eritromisin 500 mg 4 x sehari
untuk 7 hari Trikomonas vaginalis: 1. Obat minum
nitromidazol (contoh metronidazol) efektif untuk mengobati trikomonas
vaginalis 2. Pasangan
seksual pasien trikomonas vaginalis harus diperiksa dan diobati bersama
dengan pasien 3. Pasien HIV
positif dengan trikomonas vaginalis lebih baik dengan regimen oral
penatalaksanaan beberapa hari dibanding dosis tunggal 4. Kejadian
trikomonas vaginalis seringkali berulang, namun perlu dipertimbangkan pula
adanya resistensi obat - Rencana Tindak Lanjut Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit menular
seksual sebaiknya ditawarkan untuk diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan
HIV. - Konseling dan Edukasi 1. Pasien
diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan di
tingkat rujukan. 2. Pasien
disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit belum
tuntas diobati. - Kriteria Rujukan Pasien dirujuk
apabila: 1. Tidak
terdapat fasilitas pemeriksaan untuk pasangan 2. Dibutuhkan
pemeriksaan kultur kuman gonore 3. Adanya arah
kegagalan pengobatan |
|||||||||
Diagram Alir |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
|
FRAKTUR
TERBUKA |
|
|||||||||
SOP |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS GUMELAR |
|
|
|||||||||
1. Pengertian |
fraktur yang terdapat hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit
sehingga terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi
infeksi. |
||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan fraktur terbuka
di puskesmas Gumelar |
||||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
||||||||||
4. Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015
Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama |
||||||||||
5. Prosedur |
Anamnesis : 1. Adanya patah tulang
terbuka setelah terjadinya trauma 2. Nyeri 3. Sulit digerakkan 4. Deformitas 5. Bengkak 6. Perubahan warna 7. Gangguan sensibilitas 8. Kelemahan otot Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi (look) Adanya luka terbuka pada
kulit yang dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau
dari luar oleh karena tertembus, misalnya oleh peluru atau trauma langsung
dengan fraktur yang terpapar dengan dunia luar. 2. Palpasi (feel) a. Robekan kulit yang
terpapar dunia luar b. Nyeri tekan c. Terabanya jaringan
tulang yang menonjol keluar d. Adanya deformitas e. Panjang anggota gerak
berkurang dibandingkan sisi yang sehat 3. Gerak (move) Umumnya tidak dapat
digerakkan Penatalaksanaan 1. Pembersihan terhadap
luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis untuk
mengeluarkan benda asing yang melekat. 2. Balut luka untuk
menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang menonjol keluar sedapat mungkin dihindari
memasukkan komponen tulang tersebut kembali kedalam luka. 3. Fraktur grade II dan III
sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna. 4. Pemberian antibiotika:
merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi pada fraktur terbuka.
Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar. Untuk fraktur
terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan
dikombinasi dengan golongan aminoglikosida. 5. Pencegahan tetanus:
semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.
Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
tetanus toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus
imunoglobulin. KriteriaRujukan Pasien segera dirujuk
setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda vital. |
||||||||||
6. Diagram Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit terkait |
UGD |
||||||||||
|
FRAKTUR
TERBUKA |
|
|||||||||
SOP |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
|
FRAKTUR
TERTUTUP |
|
|||||||||
SOP |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS GUMELAR |
|
|
|||||||||
1. Pengertian |
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur tertutup
adalah suatu fraktur yang tidak berhubungan dengan lingkungan luar. |
||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan fraktur tertutup
di puskesmas Gumelar |
||||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
||||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
||||||||||
5. Prosedur |
Anamnesis Keluhan 1. Adanya riwayat trauma
(terjatuh, kecelakaan, dll) 2. Nyeri 3. Sulit digerakkan 4. Deformitas 5. Bengkak 6. Perubahan warna 7. Gangguan sensibilitas 8. Kelemahan otot Faktor Risiko: Osteoporosis Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi (look) Adanya deformitas dari
jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota tubuh tdak dapat
digerakkan. 2. Palpasi (feel) a. Teraba deformitas tulang
jika dibandingkan dengan sisi yang sehat. b. Nyeri tekan. c. Bengkak. d. Perbedaan panjang
anggota gerak yang sakitdibandingkan dengan sisi yang sehat. 3. Gerak (move)
Umumnya tidak dapat
digerakkan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan
radiologi berupa foto polos dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan
lateral Penatalaksanaan 1. Semua fraktur dikelola
secara emergensi dengan metode ATLS 2. Lakukan stabilisasi
fraktur dengan bidai, waspadai adanya tanda-tanda compartemen syndrome seperti
edema, kulit yang mengkilat dan adanya nyeri tekan. 3. Rujuk segera kelayanan
sekunder Kriteria Rujukan: Pasien segera
dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda vital. |
||||||||||
6. Diagram Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit terkait |
|
||||||||||
|
FRAKTUR
TERTUTUP |
|
|||||||||
SOP |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN |
Furunkel Pada Hidung |
Disahkan
oleh Kepala
Puskesmas PURWOKERTO SELATAN Dr.
HENDRO HARJITO NIP. 196903102002122003 |
|||
SOP |
No Kode |
: |
|
||
Terbitan |
: |
|
|||
No.
Revisi |
: |
|
|||
Tgl.
Mulai Berlaku |
: |
|
|||
Halaman |
: |
|
1. Pengertian |
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau
folikel rambut yang melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
aureus. Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data
spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi
paling banyak pada anak-anak, remaja sampai dewasa muda. |
2.Tujuan |
Menegakkan diagnosis furunkel pada hidung dan memberikan tata laksana yang
tepat |
3. Kebijakan |
Penatalaksanaan Furunkel pada hidung di BP Umum dengan menggunakan SPO
ini |
4. Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
no514 tahun 2015 tentang panduan klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama |
5. Prosedur |
Anamnesis Keluhan
Pasien
datang dengan keluhan adanya bisul di dalam hidung. Gejala
adanya bisul di dalam hidung kadang disertai rasa nyeri dan perasaan tidak
nyaman. Kadang dapat disertai gejala rhinitis. Faktor
Risiko a. Sosio
ekonomi rendah b. Higiene
personal yang jelek c. Rhinitis
kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung. d. Kebiasaan
mengorek-ngorek bagian dalam hidung. Pemeriksaan
Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana Pemeriksaan
Fisik Pada
lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral vestibulum
nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung). Pemeriksaan
Penunjang: Tidak diperlukan Penegakan
Diagnosis (Assessment) Diagnosis
Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Diagnosis
Banding: - Komplikasi
a. Furunkel
pada hidung potensial berbahaya karena infeksi dapat menyebar ke vena
fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus sehingga menyebabkan
tromboflebitis sinus kavernosus. b. Abses. c. Vestibulitis.
Rencana
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
a. Kompres
hangat dapat meredakan perasaan tidak nyaman. b. Jangan
memencet atau melakukan insisi pada furunkel. c. Pemberian
antibiotik topikal, seperti pemberian salep antibiotik bacitrasin dan
polmiksin B serta antibiotik oral karena lokasi furunkel yang berpotensial
menjadi bahaya. Antibiotik diberikan dalam 7-10 hari, dengan pemberian
Amoxicilin 500 mg, 3x/hari, Cephalexin 250 – 500 mg, 4x/hari, atau
Eritromisin 250 – 500 mg, 4x/hari. d. Insisi
dilakukan jika sudah timbul abses. Konseling
dan Edukasi Memberitahukan
individu dan keluarga untuk: a. Menghindari
kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung. b. Tidak
memencet atau melakukan insisi pada furunkel. c. selalu
menjaga kebersihan diri. |
5. Unit Terkait |
1.
Dokter. 2.
Perawat. |
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : K77 Heart failure No. ICD-10 :I50.9 Heart failure, unspecified Tingkat Kemampuan Gagal jantung akut 3B Gagal jantung kronik 3A Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah
kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas hidup, tingginya
rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian.
Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas
meningkat seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun),
1,3% (55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien kasus
gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko
terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20,3% pada perempuan. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien Gagal Jantung Akut dan Kronik yang datang ke Puskesmas Somagede
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : …………….
Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA 2.
Panduan
Pelayanan Medik. PAPDI. 2009. 3.
Usatine,
R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008) 4.
Rakel,
R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011) |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan 1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu d’effort) 2. Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu) 3. Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal
dyspneu) Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan
mental pada orangtua Faktor Risiko 1. Hipertensi 2. Dislipidemia 3. Obesitas 4. Merokok 5. Diabetes melitus 6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya 7. Riwayat infark miokard Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) Pemeriksaan Fisik: 1. Peningkatan tekanan vena jugular 2. Frekuensi pernapasan meningkat 3. Kardiomegali 4. Gangguan bunyi jantung (gallop) 5. Ronki pada pemeriksaan paru 6. Hepatomegali 7. Asites 8. Edema perifer Pemeriksaan Penunjang 1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali dan
melihat gambaran edema paru 2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi,
perubahan gelombang T, dan gambaran abnormal lain). 3. Darah perifer lengkap Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham
yaitu minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria Mayor: 1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal
nocturnal dyspneu) 2. Distensi vena-vena leher 3. Peningkatan tekanan vena jugularis 4. Ronki basah basal 5. Kardiomegali 6. Edema paru akut 7. Gallop (S3) 8. Refluks hepatojugular positif Kriteria Minor: 1. Edema ekstremitas 2. Batuk malam 3. Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas) 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari
normal 7. Takikardi >120 kali per menit Diagnosis Banding 1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma,
pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), emboli paru. 2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom
nefrotik 3. Sirosis hepatik 4. Diabetes ketoasidosis Komplikasi 1. Syok kardiogenik 2. Gangguan keseimbangan elektrolit Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Modifikasi gaya hidup a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter
(ringan), maksimal 1 liter (berat) b. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol 2. Aktivitas fisik a. Pada kondisi akut berat: tirah baring b. Pada kondisi sedang atau ringan:batasi beban
kerja sampai 60% hingga 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur) 3. Penatalaksanaan farmakologi Pada gagal jantung akut: a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit b. Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan
pemberian furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus dapat diulang tiap jam sampai
dosis maksimal 600 mg/hari. c. Segera rujuk. Pada gagal jantung kronik: a. Diuretik: diutamakan loop diuretic (furosemid)
bila perlu dapat dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 jam tidak ada respon
rujuk ke layanan sekunder. b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II
receptor blocker (ARB) mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai
tercapai dosis yang efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah
mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai segera dirujuk. c. Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk
menjaga denyut nadi tidak terlalu cepat. Konseling dan Edukasi 1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko
penyakit gagal jantung kronik misalnya tidak terkontrolnya tekanan darah,
kadar lemak atau kadar gula darah. 2. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-tanda
kegawatan kardiovaskular dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah
pengobatan di rumah sakit. 3. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan. 4. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien
beraktivitas dan berinteraksi. 5. Melakukan konferensi keluarga untuk
mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat penatalaksanaan
pasien, serta menyepakati bersama peran keluarga pada masalah kesehatan
pasien. Kriteria Rujukan 1. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke
fasilitas peayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung
atau spesialis penyakit dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan
seperti ekokardiografi. 2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis
mengalami perburukan dalam waktu cepat harus segera dirujuk layanan sekunder
atau layanan tertier terdekat untuk dilakukan penanganan lebih lanjut. Peralatan 1. EKG 2. Radiologi (X ray thoraks) 3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer
lengkap Prognosis Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid
dan respon pengobatan. |
|||||||||
6. Diagram
Alur |
|
|||||||||
7. Unit
terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
Cardiorespiratory Arrest
Fimosis
Nama Puskesmas........ |
TTD KAPUS |
Nama dan gelar Kepala
Nip.................................. |
|
1.Pengertian |
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas (kecemasan) dan depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakannya suatu
diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik harus
ditemukan, walaupun tidak terusmenerus, di samping rasa cemas atauk hawatir berlebihan. |
|
|
2. Tujuan |
Mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada pasien
axietas depresi |
|
|
3. Kebijakan |
Berlaku pada semua pasien anxietas
depresi |
|
|
4. Referensi |
|
|
|
5. Prosedur/ Langkah- langkah |
Hasil Anamnesis Subjective Keluhan : Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar, gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa cemas/khawatir berlebihan. Allo dan Auto Anamnesis tambahan: 1.Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat yang menurun, merasa sedih/ murung, nafsu makan berkurang atau meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang menurun, pesimistis. 2.Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan terdapat stresor kehidupan. 3.Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol, tembakau, stimulan, dan lain-lain) Faktor Risiko 1.Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiper aktivitas sistem noradrenergik, faktorgenetik 2.Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar. 3.Adanya stres kehidupan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana Objective : Pemeriksaan Fisik Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan fisiknya. Pemeriksaan penunjang Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda yang bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya. Penegakan Diagnostik Assessment Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya gejala-gejala kecemasan dan depresi yang timbul bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri. 1.Gejala-gejala kecemasan antara lain: a.Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi b.Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak dapat santai c.Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan,
sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare. 2.Gejala-gejala depresi antara lain: suasana perasaan sedih/murung, kehilangan minat/kesenangan (menurunnya semangat dalam melakukan aktivitas), mudah, lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun, gangguan pola makan, kepercayaan diri yang berkurang, pesimistis, rasa tidak berguna/rasa bersalah Diagnosis Banding GangguanCemas AnxietasOrganik, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat
Penggunaan Zat,Gangguan Depres |
|
|
6. Diagram Alir (jikadibutuhkan) |
|
|
|
7. Unit terkait |
|
|
|
8.Rekaman
Historis
Perubahan |
|
|
|
KabupatenBanyumas |
SPO GGN. PSIKOTIK |
|
|
SPO |
No. Dokumen : |
||
No. Revisi : |
|||
Tanggal Terbit : |
|||
Halan : 2/ |
Nama Puskesmas........ |
TTD KAPUS |
Nama dan gelar Kepala
Nip.................................. |
|
1.Pengertian |
Gangguan yang ditandai
dengan ketidakmampuan atau hendaya berat dalam menilai realita,
berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain dimanifestasikan dengan
adanya halusinasi dan waham. |
|
|
2. Tujuan |
Mampu mendiagnosis dan melakukan terapi dan perujukan
pada pasien dengan gangguan psikotik |
|
|
3. Kebijakan |
Berlaku pada semua pasien gangguan
psikotik |
|
|
4. Referensi |
|
|
|
5. Prosedur/ Langkah- langkah |
Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien mungkin datang
dengan keluhan: 1.Sulit berpikir/sulit
berkonsentrasi 2.Tidak dapat tidur, tidak
mau makan 3.Perasaan gelisah, tidak
dapat tenang, ketakutan 4.Bicara kacau yang tidak
dapat dimengerti 5.Mendengar suara orang
yang tidak dapat didengar oleh orang lain 6.Adanya pikiran aneh yang
tidak sesuai realita 7.Marah tanpa sebab yang
jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau, perilaku kekerasan 8.Menarik diri dari
lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik Alo danAuto Anamnesis
tambahan: Singkirkan adanya kemungkinan
penyakit fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma kepala) dan
penggunaan zat psikoaktif sebagai penyebab timbulnya
keluhan. Faktor Risiko 1.Adanya faktor biologis
yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas sistem
dopaminergik dan faktor genetik. 2.Ciri kepribadian
tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian skizoid, paranoid,
dependen. 3.Adanya stresor
kehidupan. Hasil Pemeriksaan Fisik
dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik
diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari psikotiknya (gangguan
mental organik). Selain itu pasien dengan gangguan psikotik juga
sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan diri yang
kurang. Pemeriksaan Penunjang 1.Dilakukan jika dicurigai
adanya penyakit fisik yang menyertai untuk menyingkirkan
diagnosis banding gangguan mental organik. 2.Apabila ada kesulitan
dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut
maka pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertamayang mampu perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis s klinis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis
berdasarkan ICD 10-PC, yaitu: 1.Halusinasi (terutama halusinasi
dengar); merupakan gangguan persepsi (persepsi palsu),
tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi dapat terjadi
pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat, cium, raba,
dan rasa. 2.Waham (delusi); merupakan
gangguan pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak sesuai
dengan realita dan logika, namun tetap dipertahankan dan tidak
dapat dikoreksi dengan cara apapun serta tidak sesuai dengan
budaya setempat. Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham
kendali, waham pengaruh. 3.Perilaku kacau atau aneh
4.Gangguan proses pikir
(terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak dimengerti) 5.Agitatif 6. Isolasi sosial (social
withdrawal 7.Perawatan diri yang
buruk Diagnosis Banding 1.Gangguan Mental Organik
(Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik) 2.Gangguan Mental dan
Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza) 3.Gangguan Afektif
Bipolar/ Gangguan Manik 4.Gangguan Depresi (dengan
gejala psikotik) Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1.Intervensi Psikososial a.Informasi penting bagi pasien
dan keluarga •Agitasi dan perilaku aneh
merupakan gejala gangguan mental, yang juga termasuk
penyakit medis. •Episode akut sering
mempunyai prognosis yang baik, tetapi perjalanan penyakit jangka
panjang sulit diprediksi. Pengobatan perlu dilanjutkan
meskipun setelah gejala mereda. •Gejala- gejala dapat hilang
timbul. Diperlukan antisipasi dalam menghadapi
kekambuhan. Obat merupakan komponen utama dalam
pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi
gejala-gejala dan mencegah kekambuhan. •Dukungan keluarga penting
untuk ketaatberobatan (compliance) dan
rehabilitasi. •Organisasi masyarakat
dapat menyediakan dukungan yang berharga untuk pasien dan keluarga. b.Konseling pasien dan
keluarga •Bicarakan rencana
pengobatan dengan anggota keluarga dan minta dukungan mereka.
Terangkan bahwa minum obat
secara teratur dapat mencegah keka |
|
|
6. Diagram Alir (jikadibutuhkan) |
|
|
|
7. Unit terkait |
|
|
|
8.Rekaman
Historis
Perubahan |
|
|
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1. Pengertian |
No ICPC-2 : P75. Somatization disorder No ICD-10 : F45 Somatoform disorders Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Gangguan somatoform
merupakan suatu kelompok kelainan psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa
berbagai gejala fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien namun tidak
ditemukan penyebabnya secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu penelitian di Jakarta mendapatkan
prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas sebesar 31,8%. Pada
penelitian ini, jenis gangguan yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar
25,8%, dan di dalamnya termasuk psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi
medis yang serius, gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan
somatoform sangat mengganggu dan berpotensi menimbulkan distres emosional.
Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pada kasus gangguan
somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi kelainan
medis, mendiagnosis gangguan somatoform dengan tepat, dan menatalaksana akan
sangat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi rujukan yang
tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis yang berlebihan
atau merugikan. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua
pasien Gangguan
somatoform yang datang ke
Puskesmas ABC
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK
Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
|
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien biasanya datang
dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus mempertimbangkan diagnosis
gangguan somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut ini: 1.
Keluhan
atau gejala fisik berulang, 2.
Dapat
disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, 3.
Hasil
pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat menjelaskan
keluhan tesebut, 4.
Onset
dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan yang
tidak menyenangkan atau konflik-konflik, 5.
Pasien
biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis,
6.
Dapat
terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang
tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter menerima persepsinya bahwa keluhan
yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut. Selain untuk menegakkan
diagnosis, anamnesis dilakukan untuk menggali pemahaman dan persepsi pasien
mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat dicapai
setelah beberapa kali pertemuan. Dokter harus mengklarifikasi keluhan-keluhan
pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu, perlu pula digali
harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang mungkin pasien
miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan menjadi penyebab
gangguan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Tidak ada pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang spesifik yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
gangguan somatoform. Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan untuk
mengeksklusi kelainan organik yang dianggap relevan dengan keluhan pasien.
Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan perlu dihindari agar tidak
menambah kekhawatiran pasien. Penegakan Diagnosis (Assessment)
Dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memikirkan diagnosis gangguan
somatoform bila pada pasien terdapat keluhan dengan karakteristik sebagaimana
yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya (lihat poin Hasil Anamnesis
(Subjective)). Dalam praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan
kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining gangguan somatoform. Salah satu
contohnya adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ- 15). Berikut
ini adalah langkah-langkah pendekatan terhadap keluhan fisik pasien hingga
dokter sampai pada kesimpulan diagnosis gangguan somatoform: 1.
Mengeksklusi
kelainan organik Keluhan dan
gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan. 2.
Mengeksklusi
gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok dan blok yang
hirarkinya lebih tinggi. Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan
secara hirarkis. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III,
gangguan somatoform memiliki kode F45 dan merupakan blok penyakit yang
termasuk dalam kelompok F40-F48, yaitu gangguan neurotik, gangguan
somatoform, dan gangguan yang berkaitan dengan stres. Dengan demikian, pada
kasus gangguan somatoform, dokter perlu mengeksklusi gangguan mental organik
(F00-F09), gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham (F20-F29),
serta gangguan suasana perasaan atau mood atau afektif (F30-F39). Pada blok
F40-F48 sendiri, dokter perlu terlebih dahulu memastikan ada tidaknya
tanda-tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42), reaksi
stres dan gangguan penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif atau konversi
(F44). Gangguan somatoform tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda pada
pasien memenuhi kriteria diagnostik gangguan di hirarki yang lebih tinggi. 3.
Mengeksklusi
kondisi factitious disorder dan malingering Pada kondisi factitious
disorder, pasien mengadopsi keluhan-keluhan fisik, tanpa ia sadari,
sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk mendapat
perhatian lebih dari orang-orang tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya
dengan kondisi malingering, di mana pasien sengaja atau berpura-pura
sakit untuk memperoleh keuntungan eksternal, misalnya: agar terhindar dari
tanggung jawab atau kondisi tertentu, atau untuk memperoleh kompensasi uang
tertentu). Pada gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang coba didapat
oleh pasien. Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu yang
disengaja, malahan adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan, dan
diperparah oleh kekhawatiran dan ketakutan tertentu (Oyama et al. 2007). 4.
Menggolongkan
ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik Blok gangguan somatoform terdiri atas: a.
F45.0.
Gangguan somatisasi b.
F45.1.
Gangguan somatoform tak terinci c.
F45.2.
Gangguan hipokondrik d.
F45.3.
Disfungsi otonomik somatoform e.
F45.4.
Gangguan nyeri somatoform menetap f.
F45.5.
Gangguan somatoform lainnya g.
F45.6.
Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Tujuan dari tatalaksana
gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan menyembuhkan, karena
pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. Berikut ini
adalah prinsip-prinsip dasar pengelolaan pasien dengan gangguan somatoform: 1.
Dokter
harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan gejala pada tubuhnya
dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut mengganggu pasien. Dokter perlu
melatih diri untuk tidak terlalu prematur menganggap pasien berpura-pura (malingering)
tanpa didukung bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan somatoform
adalah membangun kemitraan dengan dan kepercayaan dari pasien. 2.
Bila
terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu mendiskusikan
kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis gangguan
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan pasien. 3.
Dokter
perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan berempati
dan menghindari konfrontasi. Dokter harus menunjukkan kesungguhan untuk
membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima pendapat
dokter. 4.
Pemeriksaan
medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu harus dihindari. Bila
ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati dalam menganjurkan pemeriksaan
atau rujukan. 5.
Dokter
harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-hari, bukan
gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan. 6.
Dokter
perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga pasien
dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien
mungkin perlu dibantu untuk mengindentifikasi serta mengelola stres secara
efektif, misalnya dengan relaksasi, breathing control. Peningkatan
aktifitas fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue dan nyeri
muskuloskeletal 7.
Bila
gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
harus mengintervensi dengan tepat. 8.
Dokter
perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5 – 10 menit,
terutama untuk memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu
membatasi dan menghindari konsultasi via telepon atau kunjungan-kunjungan
yang bersifat mendesak. 9.
Dokter
perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat penegakan
diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain, atau
terkait pengobatan. Non-medikamentosa
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana
yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter
memposisikan diri sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari CBT
adalah mengkaji masalah pasien dengan tepat dan membantu pasien
mengidentifikasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau memperparah gejala
fisik yang dialami, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak
realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah
membantu pasien mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang dapat
mengurangi atau mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal sebagai behavioral
experiments. Medikamentosa
Penggunaan obat harus berdasarkan
indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang menunjukkan efektifitas yang
signifikan dari penggunaan obat-obat untuk tatalaksana gangguan somatoform.
Antidepresan dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi atau ansietas
yang mengganggu. Prognosis 1.
Ad vitam : Bonam 2.
Ad functionam :Dubia 3.
Ad sanationam :Dubia Sebagian pasien tidak menunjukkan
respon positif atas tatalaksana yang dilakukan dan gangguan somatoform terus
berlanjut bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi pada
0,2 – 0,5% anggota populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat memperbaiki
prognosis dan mengurangi hambatan pada fungsi sosial dan okupasi sehari-hari.
Peralatan Untuk
keperluan skrining, dapat disediakan lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter.
Selain itu, tidak ada peralatan khusus yang diperlukan terkait diagnosis dan
tatalaksana gangguan somatoform. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
|
|||||||||
7. Unit terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman Historis
Perubahan |
|
Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas |
Penanganan GASTRITIS |
Puskesmas Patikraja |
||
SPO |
No. Kode
: 6/ 13/ 013 |
Ditetapkan
Oleh Kepala Puskesmas Patikraja Priyono,SKM.MM NIP: 19590215 198012 1 007 |
||
Terbitan
:01 |
||||
No. Revisi :
0 |
||||
Tgl. Mulai Berlaku :1
Februari 2013. |
||||
Halaman :
1- 2 |
||||
No. Kode : B/ VI/ BPU/ SPO/ 6/ 13/013. |
8.
|
Ruang Lingkup |
Protap ini mencakup
diagnosis dan tata laksana gastritis |
9.
|
Tujuan |
Memberikan tata laksana
yang tepat pada pasien gastritis. |
10. |
Kebijakan |
Berlaku untuk semua
pasien. |
11. |
Referensi |
Sudoyo,
A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006) |
12. |
Prosedur |
1. Hasil Anamnesis (Subjective)
1.1
Keluhan Pasien datang ke dokter
karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan
mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung. 1.2
Faktor risiko a.
Pola
makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi
makan yang besar b.
Sering
minum kopi dan teh c.
Infeksi
bakteri atau parasit d.
Pengunaan
obat analgetik dan steroid e.
Usia
lanjut f.
Alkoholisme
g.
Stress
h.
Penyakit
lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, Chron
disease . 2. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
penunjang sederhana (Objective) 2.1 Pemeriksaan
Fisik Pemeriksaan Fisik
Patognomonis 1. Nyeri tekan epigastrium
dan bising usus meningkat. 2. Bila terjadi proses
inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran cerna berupa hematemesis
dan melena. 3. Biasanya pada pasien
dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan, kecuali
pada gastritis kronis dengan melakukan pemeriksaan: 1. Darah rutin. 2. Untuk mengetahui infeksi
Helicobacter pylori: pemeriksaanUreabreath test dan feses. 3. Rontgen dengan
barium enema. 4. Endoskopi 3. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3.1 Diagnosis
Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif dilakukan
pemeriksaan penunjang. 3.2 Diagnosis
Banding a.
Kolesistitis
b.
Kolelitiasis
c.
Chron
disease d.
Kanker
lambung e.
Gastroenteritis
f.
Limfoma
g.
Ulkus
peptikum h.
Sarkoidosis
i.
GERD
3.3 Komplikasi
a.
Pendarahan
saluran cerna bagian atas b.
Ulkus
peptikum c.
Perforasi
lambung d.
Anemia
. 4. Penatalaksanaan Terapi diberikan per oral dengan obat,
antara lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali,
Simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30
mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hari. 5 Konseling
dan Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk
menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu,
makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan
asam lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol. 6. Kriteria Rujukan 1. Bila 5 hari pengobatan belum ada
perbaikan. 2. Terjadi komplikasi. 3. terdapat alarm symptoms |
4. |
Distribusi |
|
5. |
Dokumen Terkait |
3.
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 4.
Kepala Puskesmas |
9.
Rekaman Historis
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1. PENGERTIAN |
Gastroenteritis adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare,
yaitu buang air besar lembek
atau cair, dapat bercampur darah atau lender, dengan
frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam, dan disertai dengan
muntah, demam,
rasa tidak enak di perut dan menurunnya nafsu makan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. TUJUAN |
Sebagai acuan dalam penanganan Pasien
menderita Gastroenteritis akut di IGD UPT Puskesmas DTP
Sedong. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. KETERAMPILAN PETUGAS |
1.
Dokter Umum 2.
Perawat 3.
Bidan |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. PERALATAN |
1.
Tensimeter 2.
Thermometer 3.
Timbangan
Injak 4.
Ranjang
Periksa 5.
Stetoskop 6.
Senter 7.
Handscoen 8.
Buku
Register pasien |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. URAIAN UMUM |
1.
Pasien datang
ke UGD karena buang
air besar (BAB) lembek atau
cair, dapat bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi
3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Dapat
disertai rasa tidak
nyaman di perut
(nyeri atau kembung), mual dan muntah serta tenesmus. 2.
Dilakukan pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan penunjang
sederhana a.
Pemeriksaan fisik terutama derajat dehidrasi
b.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah Darah
rutin (lekosit) untuk memastikan adanya infeksi. 3.
Penegakan Diagnosa Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB
cair
lebih
dari
3
kali sehari) dan pemeriksaan
fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi
BAB). 4.
Penatalaksanaan Pada umumnya diare akut
bersifat
ringan
dan
sembuh
cepat
dengan
sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut. Terapi dapat diberikan dengan: a. Memberikan cairan dan diet adekuat 1.
Pasien tidak
dipuasakan dan diberikan cairan
yang adekuat untuk
rehidrasi. 2.
Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien. 3.
Hindari juga minuman yang mengandung alkohol
atau kafein, karena
dapat meningkatkan motilitas dan
sekresi usus. 4.
Makanan yang
dikonsumsi sebaiknya yang tidak
mengandung gas, dan mudah dicerna. b.
Pasien diare yang
belum dehidrasi dapat
diberikan obat anti diare untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif. Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea,
dan imunosupresi. Antimikroba:
pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau antiparasit,
atau anti jamur tergantung penyebabnya. Obat antidiare, antara lain: a.
Turunan
opioid: loperamide, difenoksilat atropine, tinktur opium. b. Obat ini sebaiknya tidak
diberikan pada pasien dengan
disentri yang disertai demam,
dan penggunaannya harus dihentikan apabila diare semakin berat walaupun diberikan
terapi. c. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari
atau smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB
encer sampai diare stop. d.
Obat anti
sekretorik atau anti enkefalinase: Hidrasec 3x 1/ hari Antimikroba, antara lain: a.
Golongan kuinolon
yaitu ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau b.
Trimetroprim/Sulfamethoxazole 160/800 2x 1 tablet/hari. c.
Apabila diare
diduga disebabkan oleh
Giardia, metronidazole dapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/
hari selama 7 hari. d.
Bila diketahui etiologi dari
diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi. Terapi
probiotik dapat mempercepat
penyembuhan diare akut. Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan langkah
sebagai berikut: a.
Menentukan
jenis cairan yang akan digunakan Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan
oralit yang hipotonik, Cairan lain
adalah cairan
ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena b.
Menentukan
jumlah cairan yang akan diberikan c.
Menentukan
jadwal pemberian cairan: 1. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan diberikan langsung
dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin. 2. Satu jam berikutnya/ jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan
berdasarkan kehilangan selama 2
jam pemberian cairan
rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok dapat
diganti cairan per oral. 3.
Jam berikutnya pemberian cairan
diberikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui tinja dan insensible water loss. Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila
ditemukan: a.
Diare memburuk atau menetap setelah
7 hari, feses
harus dianalisa lebh lanjut. b.
Pasien dengan
tanda-tanda toksik
(dehidrasi, disentri, demam ≥ 38.5⁰C, c.
nyeri abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun d.
Pasien
usia lanjut e.
Muntah
yang persisten f.
Perubahan
status mental seperti lethargi, apatis, irritable. g.
Terjadinya
outbreak pada
komunitas h.
Pada
pasien yang immunocompromised. Kriteria Rujukan a.
Tanda
dehidrasi berat b.
Terjadi penurunan kesadaran c.
Nyeri perut yang signifikan d.
Pasien
tidak dapat minum oralit e. Tidak ada infus set serta cairan
infus di fasilitas pelayanan |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. DIAGRAM ALIR Pasien diberikan pengantar ke laboratorium |
Perawat / Bidan Melakukan Pengkajian awal klinis
sesuai SOP Pengkajian awal klinis Tidak Ya Tidak Ya Pasien
dipanggil berdasarkan nomor urut Pasien masuk ke ruang pemeriksaan Dokter / Dokter
Gigi Pasien mengambil obat di apotek Dokter melakukan anamnesa dan pemeriksaan
fisik Dokter menegakkan diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengacu pada standar
profesi dan standar asuhan (PMK no 5 tahun 2014) ada indikasi pemeriksaan penunjang Perawat mencatat hasil pemeriksaan, laboratorium
dan terapi, maupun rujukan kedalam buku register harian pasien poli umum. Pasien membutuhkan pelayanan atau
tindakan lebih lanjut Pasien diberikan
rujukan internal atau rujukan eksternal. Pasien diberikan resep obat sesuai dengan Diagnosa yang
mengacu pada standar profesi dan standar asuhan (PMK no 5 tahun 2014) |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7.
UNIT TERKAIT |
a.
UGD b.
Puskesmas Pembantu. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8.
Dokumen Terkait |
a.
Buku Family Folder b.
Buku register harian pasien poli umum c.
Kertas resep d.
Surat Rujukan |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9.
Rekaman historis perubahan |
|
Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas |
Penanganan GERD |
|
||
SPO |
No. Kode
: 6/ 13/ 013 |
Ditetapkan
Oleh Kepala Puskesmas Patikraja Priyono,SKM.MM NIP: 19590215 198012 1 007 |
||
Terbitan
:01 |
||||
No. Revisi :
0 |
||||
Tgl. Mulai Berlaku :1
Februari 2013. |
||||
Halaman :
1- 2 |
||||
No. Kode : B/ VI/ BPU/ SPO/ 6/ 13/013. |
13. |
Ruang Lingkup |
Protap ini mencakup
diagnosis dan tata laksana GERD |
14. |
Tujuan |
Memberikan tata laksana
yang tepat pada pasien GERD. |
15. |
Kebijakan |
Berlaku untuk semua
pasien. |
16. |
Referensi |
Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal
Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004 |
17. |
Prosedur |
6. Hasil Anamnesis (Subjective)
1.1
Keluhan Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau
epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai muntah, atau timbul rasa asam
di mulut. Hal ini terjadi terutama
setelah makan dengan volume besar dan berlemak. Keluhan ini diperberat dengan
posisi berbaring terlentang. Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena
makanan berupa saos tomat, peppermint, coklat, kopi, dan alkohol. Keluhan
sering muncul pada malam hari. 1.2
Faktor risiko Usia > 40 tahun,
obesitas, kehamilan, merokok, konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak,
beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan verapamil, pakaian yang
ketat, atau pekerja yang sering mengangkat beban berat. 7. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
penunjang sederhana (Objective) 2.1 Pemeriksaan
Fisik Tidak terdapat tanda spesifik untuk
GERD. Tindakan untuk pemeriksaan adalah dengan pengisian kuesioner GERD. Bila
hasilnya positif, maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI (Proton Pump
Inhibitor). 8. Penegakan Diagnostik (Assessment)
3.1 Diagnosis
Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas pelayanan tingkat pertama,
pasien diterapi dengan PPI test, bila memberikan respon positif
terhadap terapi, maka diagnosis definitif GERD dapat disimpulkan. Standar baku untuk diagnosis definitif
GERD adalah dengan endoskopi saluran cerna bagian atas yaitu ditemukannya mucosal
break di esophagus namun tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter
spesialis yang memiliki kompetensi tersebut. 3.2 Diagnosis
Banding Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia,
Ulkus peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis 3.3 Komplikasi
Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan esofagus,
Striktur esophagus, Barret’s esophagus, Adenokarsinoma, Batuk dan
asma, Inflamasi faring dan laring, Aspirasi paru. 4. Penatalaksanaan 1. Terapi dengan
medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI) dosis
tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat perbaikan gejala yang signifikan
(50-75%) maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD. PPI dosis tinggi
berupa omeprazol 2 x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 mg/hari. 2. Setelah ditegakkan
diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu dan boleh ditambah
dengan prokinetik seperti domperidon 3 x 10 mg. 3. Pada kondisi tidak
tersedianya PPI, maka penggunaan H2 Blocker 2 x / hari: simetidin 400-800 mg
atau ranitidin 150 mg atau famotidin 20 mg. Pemeriksaan
penunjang dilakukan pada fasilitas layanan sekunder (rujukan) untuk endoskopi
dan bila perlu biopsi 6 Konseling
dan Edukasi Edukasi untuk melakukan modifikasi
gaya hidup yaitu dengan mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak
mengkonsumsi zat yang mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan
alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala yang lebih tinggi. Tidur
minimal setelah 2 sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan porsi kecil dan
kurangi makanan yang berlemak. 6. Kriteria Rujukan 1. Pengobatan empirik tidak
menunjukkan hasil 2. Pengobatan empirik menunjukkan
hasil namun kambuh kembali 3. Adanya alarm symptom: a. Berat badan menurun b. Hematemesis melena c. Disfagia (sulit menelan) d. Odinofagia (sakit menelan) e. Anemia |
9. |
Distribusi |
|
10. |
Dokumen Terkait |
5.
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 6.
Kepala Puskesmas |
10.
Rekaman Historis
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PENGERTIAN |
Reaksi gigitan serangga
adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan,dan
kontak dengan serangga.Gigitan hewan serangga,misalnya oleh nyamuk,lalat,bugs
dan kutu,yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai
sistemik |
|||||||||||||||
TUJUAN |
. Sebagai acuan dalam melaksanakan
langka-langka dalam penatalaksanaan reaksi gigitan serangga |
|||||||||||||||
KEBIJAKAN |
Keputusan kepala UPT puskesmas Gedongan nomor
188.4/34/417.302.1/2016
|
|||||||||||||||
REFERENSI |
Permenkes RI No.5 Th
20014 ttg Panduan Dasar Klinis Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer |
|||||||||||||||
PROSEDUR |
Anamnesa a.
Gatal
nyeri, kemerahan,nyeri tekan,hangat atau bengkak pada daerah tubuh yang
digigit b.
Sesak
nafas,demam malaise,sakit kepala Pemeriksaan
fisik a.
Urtika
dan papul timbul secara simultan di tempat gigitan,dikelilingi eritematosa b.
Dibagian
tengah tampak titik bekas gigita/tusukan c.
Takipneu,stridor,wheezing,bronkospasme d.
Hiperaktif
peristaltik e.
hipotensi PENATALAKSANAAN a.
atasi
keadaan akut bila disertai
obstruksi saluran nafas berikan adrenalin subkutan,dilanjutkan dengan
pemberian prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari,dosis diturunkan 5-10 mg/hari b.
kondisi
stabil 1.
antihistamin
sistemik: chlorpheniramin maleat 3X4mg selama 7 hari atau loratadin 1X10 mg
perhari selama 7 hari 2.
topikal
: kortikosteroid topikal : betametason 0,5% diberikan selama 2 kali sehari
selama 7 hari c.
konseling
dan edukasi keluarga
diberikan penjelasan mengenai: 1.
minum
obat secara teratur 2.
menjaga
kebersihan lingkungan tempat tinggal 3.
hindari
gigitan serangga KRITERIA
RUJUKAN Jika
kondisi memburuk,yaitu dengan makin bertambahnya eritema,timbul bula atau
disertai gejala sistemik atau komplikasi |
|||||||||||||||
Unit terkait |
UGD |
|||||||||||||||
Rekaman historis perubahan |
|
|
GLAUKOMA AKUT |
|
|
SPO |
No. Dokumen : |
||
No. Revisi : |
|||
Tanggal Terbit: |
|||
Halaman : |
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1.
Pengertian |
No. ICPC-2 : F93 Glaucoma No. ICD-10 : H40.2 Primary
angle-closure glaucoma Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Glaukoma akut adalah glaukoma yang
diakibatkan peninggian tekanan intraokular yang mendadak. Glaukoma akut dapat
bersifat primer atau sekunder. Glaukoma primer timbul dengan sendirinya pada
orang yang mempunyai bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma sekundertimbul
sebagai penyulit penyakit mata lain ataupun sistemik. Umumnya penderita
glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Bila
tekanan intraokular yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera akan
mengakibatkan kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang permanen. |
|||||||||
2.
Tujuan |
Semua pasien yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai
dengan prosedur |
|||||||||
3.
Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4.
Referensi |
1.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA 2.
Gerhard,
K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook.
2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007. 3.
Gondhowiardjo,
T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta:
CV Ondo. 2006. 4.
James,
Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005. 5.
Riordan,
P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta:
EGC. 2009. 6.
Sidarta,
I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2008. 7.
Vaughan,
D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika.
2000. 8.
Sumber
Gambar http://www.studyblue.com |
|||||||||
5.Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1.
Mata
merah 2.
Tajam
penglihatan turun mendadak 3.
Rasa
sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala 4.
Mual
dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi) Faktor Risiko Bilik mata depan yang dangkal Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
(Objective) 1.
Visus
turun 2.
Tekanan
intra okular meningkat 3.
Konjungtiva
bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier, injeksi konjungtiva
4.
Edema
kornea 5.
Bilik
mata depan dangkal 6.
Pupil
mid-dilatasi, refleks pupil negatif Gambar 4.3. Injeksi silier pada glaukoma Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis. Diagnosis Banding: 1.
Uveitis
Anterior 2.
Keratitis
3.
Ulkus
Kornea Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Penatalaksanaan kasus glaukoma pada
layanan tingkat pertama bertujuan menurunkan tekanan intra okuler sesegera
mungkin dan kemudian merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit. 1.
Non-Medikamentosa
Pembatasan asupan cairan
untuk menjaga agar tekanan intra okular tidak semakin meningkat 2.
Medikamentosa
a.
Asetazolamid
HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari. b.
KCl
0.5 gr 3 x/hari. c.
Timolol
0.5%, 2 x 1 tetes/hari. d.
Tetes
mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari e.
Terapi
simptomatik. Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata
dengan glaukoma akut tergolong kedaruratan mata, dimana tekanan intra okuler
harus segera diturunkan Kriteria Rujukan Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan
setelah penanganan awal di layanan tingkat pertama. Peralatan 1.
Snellen
chart 2.
Tonometri
Schiotz 3.
Oftalmoskopi
Prognosis 1.
Ad
vitam : Bonam 2.
Ad
functionam : Dubia ad
malam 3.
Ad
sanationam : Dubia ad
malam |
|||||||||
6.Diagram
Alur |
|
|||||||||
7.Unit
terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : F93 Glaucoma No. ICD-10 : H40.2 Primary angle-closure glaucoma Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang umumnya ditandai
kerusakan saraf optik dan kehilangan lapang pandang yang bersifat progresif
serta berhubungan dengan berbagai faktor risiko terutama tekanan intraokular
(TIO) yang tinggi. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbesar di
dunia setelah katarak. Kebutaan karena glaukoma tidak bisa disembuhkan,
tetapi pada kebanyakan kasus glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya penderita
glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir separuh
penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien yang datang ke Puskesmas ABC
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 2.
Gerhard, K.L. Oscar,
Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New
York: Thieme Stuttgart. 2007. 3.
Gondhowiardjo, T.D.
Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV
Ondo. 2006. 4.
James, Brus. dkk. Lecture
Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005. 5.
Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009. 6.
Sidarta, I. Ilmu Penyakit
Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. 7.
Vaughan, D.G. Oftalmologi
Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. 8.
Sumber
Gambar:http://www.onmedica.com/ |
|||||||||
5.Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi dan berbeda
tergantung jenis glaukoma. Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi glaukoma
kronis primer dan sekunder. 1.
Umumnya pada fase awal,
glaukoma kronis tidak menimbulkan keluhan, dan diketahui secara kebetulan
bila melakukan pengukuran TIO 2.
Mata dapat terasa pegal,
kadang-kadang pusing 3.
Rasa tidak nyaman atau mata
cepat lelah 4.
Mungkin ada riwayat penyakit
mata, trauma, atau pemakaian obat kortikosteroid 5.
Kehilangan lapang pandang
perifer secara bertahap pada kedua mata 6.
Pada glaukoma yang lanjut
dapat terjadi penyempitan lapang pandang yang bermakna hingga menimbulkan
gangguan, seperti menabrak-nabrak saat berjalan. Faktor Risiko 1.
Usia 40 tahun atau lebih 2.
Ada anggota keluarga
menderita glaukoma 3.
Penderita miopia, penyakit
kardiovaskular, hipertensi, hipotensi, vasospasme, diabetes mellitus, dan
migrain 4.
Pada glaukoma sekunder, dapat
ditemukan riwayat pemakaian obat steroid secara rutin, atau riwayat trauma
pada mata. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh trias glaukoma,
yang terdiri dari: 1.
Peningkatan tekanan
intraokular 2.
Perubahan patologis pada
diskus optikus 3.
Defek lapang pandang yang
khas. Pemeriksaan Oftalmologis 1.
Visus normal atau menurun 2.
Lapang pandang menyempit pada
tes konfrontasi 3.
Tekanan intra okular
meningkat 4.
Pada funduskopi, rasio cup
/ disc meningkat (rasio cup / disc normal: 0.3) Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan oftalmologis. Diagnosis Banding: 1.
Katarak 2.
Kelainan refraksi 3.
Retinopati diabetes /
hipertensi 4.
Retinitis pigmentosa Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan tingkat pertama
bertujuan mengendalikantekanan intra okuler dan merujuk ke dokter spesialis
mata di rumah sakit. Pengobatan umumnya medikamentosa dengan obat-obat glaukoma,
contohnya Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari. Jenis obat lain dapat diberikan
bila dengan 1 macam obat TIO belum terkontrol Konseling dan Edukasi 1.
Memberitahu keluarga bahwa
kepatuhan pengobatan sangat penting untuk keberhasilan pengobatan glaukoma. 2.
Memberitahu pasien dan
keluarga agar pasien dengan riwayat glaukoma pada keluarga untuk memeriksakan
matanya secara teratur. Kriteria Rujukan Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera setelah penegakan
diagnosis. Peralatan 1.
Snellen chart 2.
Tonometer Schiotz 3.
Oftalmoskop Prognosis 1.
Ad vitam : Bonam 2.
Ad functionam : Dubia ad malam 3.
Ad sanationam : Dubia ad malam |
|||||||||
6.Diagram Alur |
|
|||||||||
7.Unit terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
1. Pengertian |
Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae. Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) yang
memiliki insidensi tinggi.Cara penularan gonore terutama melalui
genitor-genital, orogenital dan ano-genital, namun dapat pula melalui alat
mandi, termometer dan sebagainya (gonore genital dan ekstragenital). |
2.
Tujuan |
Mendiagnosis dan melakukan pengobatan yang
tepat terhadap pasien gonore |
3.
Kebijakan |
|
4.
Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
5.
Prosedur / Langkah-langkah |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi
pada organ genital yang terkena. Pada pria, keluhan tersering adalah kencing
nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul
dengan disuria, polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uretra yang kadang
disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan nyeri saat terjadi ereksi.Gejala
terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual. Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai
perasaan tidak enak di perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing
hingga hematuri, serta retensi urin, dan obstipasi. Pada wanita, gejala subyektif jarang
ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan obyektif. Wanita umumnya
datang setelah terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan antenatal atau Keluarga
Berencana (KB). Keluhan yang sering menyebabkan wanita datang
ke dokter adalah keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina, disertai
dengan disuria, dan nyeri abdomen bawah. Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa
terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah pada neonatus dan dapat
terjadi keluhan sistemik (endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada
gonore diseminata – 1% dari kasus gonore). Faktor Risiko
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tampak eritem, edema dan ektropion pada
orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh mukopurulen, serta pembesaran
KGB inguinal uni atau bilateral. Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus
eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen. Pada pria: Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk
memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal,
nyeri tekan dan bila terdapat abses akan teraba fluktuasi. Pada wanita: Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila
wanita tesebut sudah menikah. Pada pemeriksaan tampak serviks merah, erosi
dan terdapat secret mukopurulen. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung duh
tubuh dengan pewarnaan gram untuk menemukan kuman gonokokus gram negarif, intra
atau ekstraseluler. Pada pria sediaan diambil dari daerah fossa navikularis,
dan wanita dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan rektum. Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes
oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes thomson dengan sediaan urin Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Klasifikasi Berdasarkan susunan anatomi genitalia pria
dan wanita:
Diagnosis Banding Infeksi saluran kemih, Faringitis, Uretritis
herpes simpleks, Arthritis inflamasi dan septik, Konjungtivitis,
endokarditis, meningitis dan uretritis non gonokokal Komplikasi Pada pria Lokal : tynositis, parauretritis, litritis,
kowperitis. Asendens : prostatitis, vesikulitis,
funikulitis, vasdeferentitis, epididimitis, trigonitis. Pada wanita Lokal : parauretritis, bartolinitis. Asendens : salfingitis, Pelvic Inflammatory
Diseases (PID). Disseminata : Arthritis, miokarditis,
endokarditis, perkarditis, meningitis, dermatitis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin
merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak dan
dewasa muda. Rencana Tindak Lanjut :- Konseling dan Edukasi :- Kriteria Rujukan
|
6.
Diagram alir / jika
dibutuhkan |
|
7.
Unit Terkait |
BP UMUM, KIA, LABORATORIUM, KLINIK IMS |
|
LAYANAN
KLINIS GOUT ARTRITIS |
|
||
SOP |
No.
Dokumen |
: |
||
No.
Revisi |
: |
|||
Tanggal
Terbit |
: |
|||
Halaman |
: |
|||
|
|
|
1.
Pengertian |
Kondisi kadar asam urat dalam darah
lebih dari 7,0 mg/dl pada pria dan pada wanita 6 mg/dl. Hiperurisemia dapat
terjadi akibat meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam urat,
atau kombinasi dari keduanya. Gout adalah radang sendi yang diakibatkan deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan sekitar sendi. |
2.
Tujuan |
Mengobati pasien
dengan Gout Artritis yang datang berobat ke Puskesmas |
3.
Kebijakan |
|
4. Prosedur |
1. Petugas mempersiapkan alat pemeriksaan berupa
tensimeter, stetoskop, dan laboratorium Sederhana 2.
Menanyakan
keluhan pasien. Keluhan yang sering ditemui adalah bengkak dan nyeri sendi
yang mendadak, biasanya timbul pada malam hari. Bengkak disertai rasa panas
dan kemerahan. Keluhan juga dapat disertai demam, menggigil, dan nyeri
badan. Apabila serangan pertama, 90%
kejadian hanya pada 1 sendi dan keluhan dapat menghilang dalam 3-10 hari
walau tanpa pengobatan. 3.
Mencari
faktor resiko yang berupa : a)
Usia
& Jenis kelamin b)
Obesitas c)
Alkohol d)
Hipertensi e)
Gangguan
Fungsi Ginjal f)
Penyakit-penyakit
metabolik g)
Pola
diet h)
Obat
: Aspirin dosis rendah, Diuretik, obat-obat TBC 4.
Mencari
faktor pencetus timbulnya serangan nyeri sendi trauma lokal, diet tinggi
purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, penggunaan
diuretik, penggunaan obat yang dapat meningkatkan kadar asam urat. 5.
Melakukan
pemeriksaan fisik dasar. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan Keadaan umum:
Tampak sehat atau kesakitan akibat nyeri sendi. Arthritis monoartikuler dapat ditemukan,
biasanya melibatkan sendi MTP-1 atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang
mengalami inflamasi tampak kemerahan dan bengkak. 6.
Melakukan
pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan pembengkakan
asimetris pada sendi dan kista subkortikal tanpa erosi pada pemeriksaan
radiologis. Kadar asam urat dalam
darah > 7 mg/dl. 7.
Menegakkan
diagnosis klinis yang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan untuk
diagnosis definitifGout arthritis adalah ditemukannya kristal urat (MSU) di
cairan sendi atau tofus. 8.
Menemukan
gambaran klinis hiperurisemia, yang berupa : a)
Hiperurisemia
asimptomatis. Keadaan hiperurisemia tanpa
manifestasi klinis berarti. Serangan arthritis biasanya muncul setelah 20
tahun fase ini. b)
Gout
arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu:
i.
Stadium
akut
ii.
Stadium
interkritikal
iii.
Stadium
kronis c)
Penyakit
Ginjal 9.
Menentukan
diagnosis banding yang berupa : sepsis arthritis dan rheumatoid arthritis. 10. Menentukan komplikasi
hiperurisemia, yaitu bisa menimbulkan terbentuknya batu ginjal dan keadaan
terminal berupa gagal ginjal. 11. Memberikan tatalaksana
berupa : a)
Mengatasi
serangan akut segera. Bisa dengan menggunakan :
i.
Kolkisin (Efektif pada 24 jam pertama setelah
serangan nyeri sendi timbul. Dosis oral 0.5-0.6 mg per hari dengan dosis
maksimal 6 mg.
ii.
Kortikosteroid
sistemik (bila NSAID dan Colchicine tidak berespon baik) seperti
prednison 2-3x5 mg/hari selama 3 hari
iii.
NSAID
seperti Natrium Diklofenak 25-50 mg selama 3-5 hari b)
Program
pengobatan unutk mencegah serangan berulang dengan obat : analgesik dan kolkisin
dosis rendah c)
Mengelola
hiperurisemia (menurunkan kadar asam urat) & mencegah komplikasi lain
i.
Agen
penurun asam urat (tidak digunakan selama serangan akut).Pemberian Allupurinol
dimulai dari dosis terendah, 100mg, kemudian bertahap dinaikkan bila
diperlukan, dengan dosis maksimal 800mg/hari. Target terapi adalah kadar asam
urat < 6mg/dl.
ii.
Modifikasi
gaya hidup, dengan minum cukup (8-10 gelas/hari), mengelola obesitas dan
menjaga berat badan ideal, mengurangi konsumsi alkohol, dan pola diet sehat
(rendah purin) 12. Mempertimbangkan rujukan Apabila
pasien mengalami komplikasi atau pasien memiliki penyakit komorbid, perlu
dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam. |
5. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI
DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
6. Unit
Terkait |
Poli Umum, Laboratorium, Radiologi |
7. Rekaman Historis
No. |
Halaman |
Yang Diubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. Bagan
PUSKESMAS II KEMRANJEN |
|
Dr.M.Amir
Fuad NIP 19600217 198309 1 001 |
||||||||
1. Pengertian |
No.
ICPC-2 : D95 Anal fissure/perianalabscess No.
ICD-10 : I84 Haemorrhoids Tingkat Kemampuan 4A Hemoroidadalahpelebaran vena-vena
didalampleksushemoroidalis. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien hemoroid
grade 1-2 yang datang ke Puskesmas II Kemranjen mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
|||||||||
5. Prosedur |
Anamnesis (Subjective) 1.
Perdarahan pada waktu defekasi, darah berwarna merah segar. Darah dapat
menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi. 2.
Prolapssuatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat kembali
spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan secara manual dan
akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi. 3.
Pengeluaran lendir. 4.
Iritasi didaerah kulit perianal. 5.
Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah, pucat). Faktor
Risiko 1.
Penuaan 2.
Lemahnya dinding pembuluh darah 3.
Wanita hamil 4.
Konstipasi 5.
Konsumsi makanan rendah serat 6.
Peningkatan tekanan intraabdomen 7.
Batuk kronik 8.
Sering mengedan 9.
Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu yang lama di
toilet) PemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana
(Objective) Pemeriksaan
Fisik 1.
Periksa tanda-tanda anemia 2.
Pemeriksaan status lokalis a. Inspeksi: •
Hemoroid derajat 1, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan diregio anal. •
Hemoroid derajat 2, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar melalui anus,
akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit dapat terlihat sebagai
pembengkakan. •
Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar akan segera dapat dikenali dengan adanya
massa yang menonjol dari lubang anus yang bagian luarnya ditutupi kulit dan
bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna keunguan atau merah. b.
Palpasi: •
Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak dan
mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi. •
Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat mukosa
mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari tangan meraba
sekitar rektum bagian bawah. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan
darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan infeksi. Penegakan
diagnostik (Assessment) Diagnosis
Klinis Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Klasifikasi
hemoroid, dibagi menjadi : 1.
Hemoroid internal, yang berasal dari bagian proksimaldentateline dan dilapisi
mukosa Hemoroid
internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu : a.
Grade 1 : hemoroid mencapai lumen anal kanal b.
Grade 2 : hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan. c.
Grade 3 : hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali
secara manual oleh pasien. d.
Grade 4 : hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal meski
dimasukkan secara manual 2.
Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentateline dan dilapisi oleh epitel
mukosa yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri
somatik. Diagnosis
Banding KondilomaAkuminata,
Proktitis, Rektalprolaps Komplikasi
Anemia Penatalaksanaan
komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
Hemoroid di layanan tingkat pertama hanya untuk hemoroid grade 1 dengan
terapi konservatif medis dan menghindari obat-obat anti-inflamasinon-steroid,
serta makanan pedas atau berlemak. Hal
lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada
pasien hemoroid. Konseling
dan Edukasi Melakukan
edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan hemoroid. Pencegahan hemoroid
dapat dilakukan dengan cara: 1.
Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk membuat feses
menjadi lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan
tekanan pada vena anus. 2.
Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari. 3.
Mengubah kebiasaan buang air besar. Segerakan ke kamar mandi saat merasa akan
buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari
mengedan. Kriteria Rujukan: Hemoroid
internagrade 2, 3, dan 4 dan hemoroid eksterna memerlukan penatalaksanaan di
pelayanan kesehatan sekunder. Peralatan
Sarung
tangan Prognosis
Prognosis
pada umumnya bonam |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman
HistorisPerubahan |
|
No comments:
Post a Comment