Thursday, April 13, 2023

SOP PELAYANAN KLIINIS 188 DIAGNOSIS

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

 Pengertian

No. ICPC-2 : S96 Acne

No. ICD-10 : L70.0 Acne vulgaris A

Tingkat Kemampuan 4A

 

Masalah Kesehatan

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi dengan peningkatan produksi sebum, perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim untuk penyakit ini adalah jerawat. Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, pria16-19 tahun lesi yang utama adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai pula lesi beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi pada premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang, namun kadang-kadang menetap sampai dekade ketiga terutama pada wanita. Ras oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras kaukasia (Eropa, Amerika).

 Tujuan

Semua pasien Akne Vulgaris Ringan yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

 Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi di lokasi predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun masalah estetika umumnya merupakan keluhan utama.

 

Faktor Risiko:

Usia remaja, stress emosional, siklus menstruasi, merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga, banyak makan makanan berlemak dan tinggi karbohidrat

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis

Komedo berupa papul miliar yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam disebut komedo hitam (black comedo, open comedo) dan bila berwarna putih disebut komedo putih atau komedo tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi kulit polimorfi dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang beradang.

Tempat predileksi adalah di muka, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya di leher, lengan atas, dan kadang-kadang glutea.

Gradasi yang menunjukan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut:

  1. Ringan, bila:
    1. Beberapa lesi tak beradang pada satu predileksi
    2. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi
    3. Sedikit lesi beradang pada satu predileksi
  2. Sedang, bila:
    1. Banyak lesi tak beradang pada satu predileksi
    2. Beberapa lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi
    3. Beberapa lesi beradang ada satu predileksi
    4. Sedikit lesi beradang pada lebih dari satu predileksi
  3. Berat, bila:
    1. Banyak lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi
    2. Banyak lesi beradang pada satu atau lebih predileksi

Keterangan:

Sedikit bila kurang dari 5, beberapa bila 5-10, banyak bila lebih dari 10 lesi

Tak beradang : komedo putih, komedo hitam, papul

Beradang : pustul, nodus, kista

Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna) ditemukan sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.

 

Pemeriksaan Penunjang

Umumnya tidak diperlukan.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan fisik.

 

Diagnosis Banding

Erupsi akneiformis, Akne venenata, Rosasea, Dermatitis perioral

 

Penatalaksanaan (Plan)

Penatalaksanaan meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).

 

Pencegahan yang dapat dilakukan :

  1. Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipid sebum dan perubahan isi sebum dengan cara :
    1. Diet rendah lemak dan karbohidrat. Meskipun hal ini diperdebatkan efektivitasnya, namun bila pada anamnesis menunjang, hal ini dapat dilakukan.
    2. Melakukan perawatan kulit dengan membersihkan permukaan kulit.
  2. Menghindari terjadinya faktor pemicu terjadinya akne, misalnya :
    1. Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga, sesuai kondisi tubuh, hindari stress.
    2. Penggunaan kosmetika secukupnya, baik banyaknya maupun lamanya.
    3. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalnya minuman keras, makanan pedas, rokok, lingkungan yang tidak sehat dan sebagainya.
    4. Menghindari polusi debu, pemencetan lesi yang tidak lege artis, yang dapat memperberat erupsi yang telah terjadi.

 

Pengobatan akne vulgaris ringan dapat dilakukan dengan memberikan farmakoterapi seperti :

  1. Topikal

Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari :

    1. Retinoid

Retinoidtopikal merupakan obat andalan untuk pengobatan jerawat karena dapat menghilangkan komedo, mengurangi pembentukan mikrokomedo, dan adanya efek antiinflamasi. Kontraindikasi obat ini yaitu pada wanita hamil, dan wanita usia subur harus menggunakan kontrasepsi yang efektif. Kombinasi retinoid topikal dan antibiotik topikal (klindamisin) atau benzoil peroksida lebih ampuh mengurangi jumlah inflamasi dan lesi non-inflamasi dibandingkan dengan retinoid monoterapi. Pasien yang memakai kombinasi terapi juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang lebih cepat.

Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8%), resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam vitamin A (0,025-0,1%), asam azelat (15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) misalnya asma glikolat (3-8%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara pemakaian berhati-hati dimulai dengan konsentrasi yang paling rendah.

    1. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1% atau klindamisin fosfat 1%.
    2. Antiperadangan topikal: hidrokortison 1-2,5%.
  1. Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk menekan aktivitas jasad renik disamping juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri sistemik, misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/hari, eritromisin 4x250 mg/hari.

 

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

  • Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

 

Konseling dan Edukasi

  • Dokter perlu memberikan informasi yang tepat pada pasien mengenai penyebab penyakit, pencegahan, dan cara maupun lama pengobatan, serta prognosis penyakitnya. Hal ini penting agar penderita tidak mengharap berlebihan terhadap usaha penatalaksanaan yang dilakukan.

 

Kriteria rujukan

  • Akne vulgaris sedang sampai berat.

 

Peralatan

  • Komedo ekstraktor (sendok Unna)

 

Prognosis

  • Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-40 an.

Diagram Alur

 

Unit terkait

 

Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SPO

 

 

No.Dokumen:SPO/VIII/UKP/     /2016

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:04 April 2016

Halaman         :1/2

Puskesmas II Wangon

 

 

 

drg.Imam Hidayat

NIP.196008181989011001

1. Pengertian

Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen makanan menembus sawar gastro intestinal yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul dalam beberapa menit sampai beberapa jam, dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan sistemik.

2. Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah agar.........

3. Kebijakan

SK Kepala Puskesmas 2 Wangon nomer.............

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015

5. Prosedur

Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1. Pada kulit: eksim dan urtikaria.

2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma.

3. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala gastrointestinal non spesifik dan berkisar dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi, mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan diare.

4. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-E-mediated seperti pada enteropati protein makanan dan penyakit seliak

5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi menyebabkan occult bleeding atau frank colitis.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta paru.

Pemeriksaan Penunjang: -

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Medika mentosa

Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:

1. Hindari makanan penyebab

2. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi makanan

 

Rencana Tindak Lanjut

1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien

2. Menghindari makanan yang bersifat alergen secara sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi dengan ahli gizi)

3. Perhatikan label makanan

4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan

 

Kriteria Rujukan

Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi reaksi anafilaksis.

 

Prognosis

Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa disertai dengan perubahan gaya hidup.

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

7. Unit terkait

SemuaRuangan

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai

 Diberlakukan

 

 

 

 

 

 

ANEMIA DEFISIENSI BESI

 

 

SOP

 

No. Dokumen

 

No. Revisi                    

: 00

Tgl. Terbit 

:

Halaman                      

:  

Puskesmas Rawalo

 

 

 

 

 

 

 

1.   Pengertian

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.

2.   Tujuan

 Sebagai acuan Untuk penangan pasien dengan anemia defisiensi besi

3.   Kebijakan

 

4.   Referensi

 

5.   Prosedur

1.       Alat    dan Bahan

Sulfat ferrosus

Hb Sahli

6.   Langkah-langkah

  1. Petugas memperkenalkan diri kepada pasien
  2. Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga  tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam nerobat serta meninggkatkan kualitas hidup.
  3. Menegakkan diagnose difinitif secara pasti
  4. Setelah menegakkan diagnose diberikan sulfat ferrosus 3 x 200mg ( 200mg  mengandung 66mg besi elemental)
  5. Pasien diberikan penjelasan mengenai cara minum, efek samping obat berupa mual, muntah, konstipasi, diare serta BAB kehitaman
  6. Bila terjadi efek samping obat maka segera ke pelayanan kesehatan.

Rencana tindak lanjut

  1. Penegakkan diagnosis difinitif anemia defisiensi besi memerlukan pemeriksaan laboratorium di layanan skunder dan penatalaksanaan selanjutnya di layanan primer.  

 

 

7.   Bagan Alir

Memberikan pengertian ke pasien dan keluarga

Menegakkan diagnosa

Memberikan obat sulfat ferosus 3x 200mg

Menjelaskan cara minumdan efek samping obat

Bila terjadi efek sampping hubungi petugas

Rencana Tindak lanjut dg pemeriksaan ke laborat seku nder

Petugas memperkenalkan diri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


8.   Hal-hal yang perlu diperhatikan

 

9.   Unit terkait

BP

KIA

10.    Dokumen terkait

1. Rekam Medis

2. Inform consent

 

11.    Rekaman Historis  Perubahan

 

No

Yang dirubah

Isi Perubahan

Tgl.mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengertian

Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl pada trimester I dan III atau <10,5 g/dl pada trimester II. Penyebab tersering anemia pada kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan akut, dan defisiensi asam folat.

Kode Penyakit

No. ICPC-2 : B80 Irondeficiency anaemia

No. ICD-10 : D50 Iron deficiency anaemia

Tujuan

Dapat melakukan pengelolaan penyakit yang meliputi:

1. Anamnesa (Subjective)

2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

3. Penegakkan Diagnosa (Assessment)

4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Alat & Bahan

Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin

SOP

1.  Melakukan Anamnesa (Subjective)

Keluhan

1. Badan lemah, lesu

2. Mudah lelah

3. Mata berkunang-kunang

4. Tampak pucat

5. Telinga mendenging

6. Pica: keinginan untuk memakan bahan-bahan yang tidak lazim

 

Faktor Risiko : -

Faktor Predisposisi

1. Perdarahan kronis

2. Riwayat keluarga

3. Kecacingan

4. Gangguan intake (diet rendah zat besi,)

5. Gangguan absorbsi besi

 

2. Melakukan Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Patognomonis

1. Konjungtiva anemis

2. Atrofi papil lidah

3. Stomatitis angularis (cheilosis)

4. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail),

 

Pemeriksaan Penunjang

1. Kadar hemoglobin

2. Apusan darah tepi

 

3.  Penegakan Diagnosa (Assessment)

Diagnosis Klinis

Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau < 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel darah merah.

 

Diagnosis Banding

·       Anemia akibat penyakit kronik

·       Trait Thalassemia

·       Anemia sideroblastik

4.  Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan memantau pertambahan ukuran janin

2. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan tablet tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia, tablet besi diberikan 3 kali sehari.

3. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi. Bila tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke pelayanan sekunder untuk penentuan jenis anemia dan pengobatan awal.

4. Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada keadaan:

a. Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC.

b. Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik

c. Anemia normositik normokrom dapat ditemukan pada keadaan:

Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan infeksi kronik

d. Anemia makrositik hiperkrom dapat ditemukan pada keadaan:

Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg

 

Konseling dan Edukasi

1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.

2. Diet bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani (daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau)

3. Pemakaian alas kaki untuk mencegah infeksi cacing tambang

 

 

Kriteria Rujukan

1. Pemeriksaan penunjang menentukan jenis anemia yang ibu derita

2. Anemia yang tidak membaik dengan pemberian suplementasi besi selama 3 bulan

3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis, agar dicari sumber perdarahan dan ditangani.

 

 

Unit Terkait

Laboratorium, Apotek, Rumah Sakit

 

1.  Pengertian

Anemia adalah suatu keadaan menurunnya hemoglobin yang menyebabkan penurunan kadar oksigen yang didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan berbagai keluhan (sindrom anemia).

2.  Tujuan

Sebagai pedoman petugas untuk menegakan diagnosis dan penatalaksanaan anemia.

3.  Kebijakan

1.    SK Kepala UPTD Puskesmas Cilawu tentang Kebijakan Pelayanan Klinis UPTD Puskesmas Cilawu

4.  Referensi

1. Permenkes no 5 tahun 2014 tentang PANDUAN PRAKTIS KLINIS BAGI DOKTER PELAYANAN PRIMER

5.  Prosedur/ langkah-langkah

1.    Anamnesis :

-      Keluhan lemah, letih, lesu, lelah, penglihatan berkunang-kunang, pusing, telinga berdenging dan penurunan konsentrasi.

-      Faktor resiko : ibu hamil, remaja putri, pemakaian obat sefalosporin/kloramfenicol jangka panjang, status gizi kurang, faktor ekonomi kurang.

2.    Pemeriksaan Fisik :

-      Pucat, sianotik, atrofi papil lidah, alopesia, ikterik, rambut kusam, takikardi, bising jantung, takipneu, konjungtiva pucat . 

-      Nilai Hb normal (WHO) : laki-laki >13 gr%, perempuan >12 gr%, perempuan hamil >11gr%.

3.    Diagnosis differensial :

-      Anemia defisiensi besi

-      Anemia defisiensi vit B12, asam folat

-      Anemia aplastic

-      Anemia hemolitik

-      Anemia pada penyakit kronik

4.    Pemeriksaan penunjang :

-      Anemia def. Fe : ferritin serum, SI, TIBC

-      Anemia hemolitik : bilirubin, tes fragilitas osmotic, tes Coombs

-      Anemia megaloblastik : serum folat, serum kobalamin

-      Thalassemia : elektroforesisi hemoglobin

-      Anemia aplastic atau keganasan : biopsy dan aspirasi sumsusm tulang

5.    Terapi :

-      Atasi penyebab yang mendasarinya

-      Anemia def. Fe : sulfas ferrosus 3x1 tab , ferrous fumarat 3x1 tab, ferrous glukonat 3x1 tab

-      Anemia def. asam folat dan def. B12 : vitamin B12 80 mikrogram, asam folat 500-1000 mikrogram (ibu hamil 1 mg).

6.    Kriteria rujukan :.

-      Anemia berat dengan indikasi trasnfusi (Hb< 6gr%).

6.  Bagan alir

 

7.  Hal-hal yang harus diperhatikan

 

8.    Unit Terkait

Rawat Inap, BP, PUSTU

9.  Dokumen Terkait

Rekam medis

10.Rekaman Histori Perubahan

 

No

Yang di ubah

Isi ubahan

Tanggal mulai di berlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina

No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified

Tingkat Kemampuan 3B

 

Angina pektoris stabil merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina pektoris dilaporkan terjadi dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur, dan faktor risiko. Data dari studi Framingham pada tahun 1970 menunjukkan prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% untuk pria berusia 50 – 59 tahun.

2. Tujuan

Semua pasien Angina Pectoris Stabil  yang datang ke Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.    KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.    Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)

3.    O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed. McGraw-Hill. 2009. (O'Rouke, et al., 2009)

4.    Priori, S. G., Blanc, J. J., (France), Budaj., A., Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein. K., Lekakis, J., McGregor. K., Metra. M., Morais. J., Osterspey. A., Tamargo, J., Zamorano, J. L., Guidelines on the management of stable angina pectoris, 2006, European Heart Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC Committee for Practice Guidelines (CPG). (Priori, et al., 2006)

5.    Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.2007.c (Sudoyo, et al., 2006)

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

 

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa seperti ditimpa beban yang sangat berat.

Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut:

1. Letak

Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal: tidak dapat melokalisasi), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, dan bahu.

2. Kualitas

Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau seperti diperas atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik.

3. Hubungan dengan aktivitas

Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang atau emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina yang timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam sering akibat angina pektoris tidak stabil

4. Lamanya serangan

Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mengalami sindrom koroner akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin.

5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin, mual, muntah, sesak dan pucat.

Faktor Risiko

 

Faktor risiko yang tidak dapat diubah:

1. Usia

Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnya setelah menopause)

2. Jenis kelamin

Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause.

3. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun.

 

Faktor risiko yang dapat diubah:

1. Mayor

a. Peningkatan lipid serum

b. Hipertensi

c. Merokok

d. Konsumsi alkohol

e. Diabetes Melitus

f. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori

2. Minor

a. Aktivitas fisik kurang

b. Stress psikologik

c. Tipe kepribadian

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective)

Pemeriksaan Fisik

 

Pemeriksaan Fisik

1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat pada waktu serangan angina.

2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.

 

Pemeriksaan Penunjang

1. EKG

Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina, dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.

Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang berkas His dan bisa tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai Infark Miokard Akut (IMA).

2. X ray thoraks

X ray thoraks sering menunjukkan bentuk jantung yang normal. Pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.

 

Penegakan Diagnostik(Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Klasifikasi Angina:

1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris stabil)

Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan, sesuai dengan berat ringannya pencetus, dibagi atas beberapa tingkatan:

a. Selalu timbul sesudah latihan berat.

b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan cepat 1/2 km)

c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m)

d. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa)

2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris tidak stabil/ATS)

Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri.

3. Angina prinzmetal (Variant angina)

Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis.

Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian Cardiovascular Society Classification System:

1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina. Angina akan muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas fisik (berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang lama).

2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas sedikit/aktivitas sehari-hari (naik tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stres, dingin).

3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau naik tangga 1 tingkat.

4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-sehari, tidak nyaman, untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa terjadi angina.

 

Diagnosis Banding

Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), Gastritis akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik

Komplikasi

Sindrom koroner akut.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Terapi farmakologi:

1. Oksigen dimulai 2 L/menit

2. Nitrat dikombinasikan dengan β-blocker atau Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan denyut jantung (misalnya verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada serangan akut :

a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 5 mg peroral sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di pelayanan sekunder.

b. Beta bloker:

• Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau

• Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.

c. Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridine

Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi, misalnya:

• Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)

• Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari)

3. Antipletelet

Aspirin 160-320 mg sekali minum pada serangan akut.

Konseling dan Edukasi

Menginformasikan individu dan keluarga untuk melakukan modifikasi gaya hidup antara lain:

1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja berat dimana membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya

2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak

3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol

4. Menjaga berat badan ideal

5. Mengatur pola makan

6. Melakukan olah raga ringan secara teratur

7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengobatan diabetes secara teratur   

8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid

9. Mengontrol tekanan darah

Kriteria Rujukan

Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam) untuk tatalaksana lebih lanjut.

Peralatan

1. Elektrokardiografi (EKG)

2. Radiologi (X ray thoraks)

 

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonamjika dilakukan tatalaksana dini dan tepat.

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS II SUMPIUH

 

 

 

SUJOTO, SKM.

NIP 19600217 198309 1 001

1. Pengertian

No. ICPC-II : D96 Worms/other parasites

No. ICD-X : B76.0 Ankylostomiasis

                    B76.1 Necatoriasis         

Tingkat Kemampuan 4A

 

Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.

2. Tujuan

Semua pasien ankilostomiasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Migrasi larva

1.    Rasa gatal pada kulit

2.    Pneumonitis

 Cacing dewasa

1.    Gangguan gastrointestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duedenum, jejunum dan ileum.

2.    Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia hipokromik mikrositik.

3.    Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat dengan tingkat kecedasan anak.

Faktor Risiko

1.    Kurangnya penggunaan jamban keluarga.

2.    Kebiasaan menggunakan tinja sebgai pupuk.

3.    Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

4.    Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

·       Gejala klinis tergantung jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.

·       Pemeriksaan Fisik

1.    Konjungtiva pucat

2.    Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang menembus kulit disebut sebagai ground itch.

·       Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur atau larva cacing dewasa.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

·       Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi :

1.    Nekatoriasis

2.    Ankilostomiasis

Diagnosis Banding : -

Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.    Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antra lain :

a.    Masing-masng keluarga memiliki jamban keluarga

b.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk

c.     Menggunakan alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah.

2.    Famakologis

a.    Pirantel pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau

b.    Mebendazol, dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau

c.     Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg), dosis tunggal, sedangkan pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak diberikan pada wanita hamil. Creeping eruption : tiabendazol topikal selama 1 minggu. Untuk cutaneus larva migrans pengobatan dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut.

d.    Sulfasferosus.

 

Konseling dan Edukasi

1.    Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.

2.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.

3.    Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.

4.    Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.

5.    Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.

6.    Mennggunakan alas kaki saat berkontak dengan tanah.

 

Kriteria Rujukan : -

 

Peralatan

·       Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.

·       Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.

Prognosis

      Prognosis pada umumnya bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat kecuali terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.

6. Diagram Alur

-

 

 

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS I SUMPIUH

 

 

 

DR. DRI KUSRINI

NIP 19720112 200212 2 004

1. Pengertian

No. ICPC-2 : S87 (Appendicitis)

No. ICD-10 : K.35.9 (Acute appendicitis)

Tingkat Kemampuan 3B

 

Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salahsatu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan perforasi.

 

Penyebab:

1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan apendisitis akut

2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing lainnya

2. Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk penatalaksanaan Apendisitis akut

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

·       Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.

 

Gejala Klinis

1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.

2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.

3. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.

4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.

5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

·       Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi

a. Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit

b. Kembung bila terjadi perforasi

c. Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses

 

2. Palpasi

Terdapat nyeri tekan McBurney

a.    Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)

b.    Adanya defans muscular

c.     Rovsing sign positif

d.    Psoas signpositif

e.    Obturator Signpositif

 

3. Perkusi

·       Nyeri ketok (+)

 

4. Auskultasi

·       Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforate

 

5. Colok dubur

·       Nyeri tekan pada jam 9-12

 

Tanda Peritonitis umum (perforasi) :

1. Nyeri seluruh abdomen

2. Pekak hati hilang

3. Bising usus hilang

 

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut:

1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC

3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)

4. Dehidrasi dan asidosis

5. Distensi

6. Menghilangnya bising usus

7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah

8. Rebound tenderness sign

9. Rovsing sign

10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

 

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium darah perifer lengkap

a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat.

b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.

c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.

d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.

e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.

 

2. Foto polos abdomen

a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu..

b. Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps.

c. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara.

d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.

e. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.

f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma.

g. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

·       Diagnosis Klinis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.

 

·       Diagnosis Banding

1. Kolesistitis akut

2. Divertikel Mackelli

3. Enteritis regional

4. Pankreatitis

5. Batu ureter

6. Cystitis

7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

8. Salpingitis akut

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

 

·       Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk:

1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)

2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut.

3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.

4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.

 

·       Komplikasi

1. Perforasi apendiks

2. Peritonitis umum

3. Sepsis

 

·       Kriteria Rujukan

Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

 

Peralatan

·       Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap

 

Prognosis

·       Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan kondisi pasien

6. Diagram Alur

-

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

ARTRITIS REMATOID

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS GUMELAR

 

 

 

1. Pengertian

Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya

2. Tujuan

Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan artritis reumatoid di puskesmas Gumelar

·       3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

5. Prosedur

Anamnesis :

Gejala pada awal onset

·       Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

·       Gejala spesifik pada banyak sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal) atau MTP (metatarsophalangeal), pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal interphalangeal) umumnya tidak terkena.

·       Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam.

·       Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia).

Faktor Risiko

1. Wanita,

2. Faktor genetik.

3. Hormon seks.

4. Infeksi

5. Merokok

 

 

 

Pemeriksaan Fisik

·       Manifestasi artikular:

Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan neck, boutonniere, deviasi ulnar)

·       Manifestasi ekstraartikular:

1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis.

2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen shoulder.

3. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit kronik.

4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru luas.

5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati

 

Diagnosis Klinis

Diagnosis RA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

 

Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini :

1. Jumlah sendi yang terlibat

a. 1 sendi besar : 0

b. 2-10 sendi besar : 1

c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) : 2

d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) : 3

e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi kecil : 5

 

Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak termasuk dalam kriteria

Yang dimaksud sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari, dan pergelangan tangan

Yang dimaksud sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki.

4. Durasi

a. Lebih dari 6 Minggu : 1

b. Kurang dari 6 Minggu : 0

 

Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA

 

Penatalaksanaan

1. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada stadium akut dengan menggunakan decker.

 

2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari, meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari.

3. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy).

4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.

 

Kriteria rujukan

1. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah.

2. RA dengan komplikasi.

3. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas.

 

Prognosis

Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan penyakit dan penatalaksanaan selanjutnya

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

1.      Pengertian

 Jenis peradangan sendi kronis yang biasanya terjadi pada sendi di kedua sisi tubuh, seperti tangan, pergelangan tangan, atau lutut.

2.      Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk pengobatan rheumatoid artritis

3.       Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No.188.4/ 1.1.1.1.2 /415.25.33/2015

4.       Referensi

PMK No.75 Tahun 2014 tentang pengobatan dasar

Permenkes No 75 Tahun 2014 tentang puskesmas

5.       Langkah-Langkah

1. px datang dengan membawa buku rekam medis

2.Tanda gejala

Bengkak pada persendian, merah dan nyeri

3. Penatalaksanaan

1.    Mengistirahatkan sendi

2.    Ibuprofen 3 x 400mg perhari  

4.pencatatan pada rekam medis

5. Pasien Pulang

 

Pencatatan  pada rekam medis

6. Bagan alir

Pasien datang

tanda dan gejala bengkak pada persendian

Penatalaksanaan

 

Pasien pulang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


  1. Unit Terkait

Poli Lansia, Poli 2,Laborat,gizi

 

 

 

PUSKESMAS II SUMPIUH

 

 

 

 

1. Pengertian

No. ICPC-II : D96 Worms/other parasites

No. ICD-X : B77.9 Ascariasis unspecified

Tingkat Kemampuan 4A

 

Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Ascaris lumbricoides.

2. Tujuan

Semua pasien Askariasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

·       Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan menurun, mual, muntah.

Faktor Risiko

5.    Kebiasaan tidak mencuci tangan.

6.    Kurangnya penggunaan jamban.

7.    Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.

8.    Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat yang membawa telur cacing.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

·       Pemeriksaan tanda vital

·       Pemeriksaan generalis tubuh : konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaa penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur cacing dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

·       Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.

 

Diagnosis Banding : Jenis kecacingan lainnya

Komplikasi : Anemia defisiensi besi

 

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

3.    Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antra lain :

d.    Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir

e.    Menutup makanan

f.      Masing-masng keluarga memiliki jamban keluarga

g.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk

h.    Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.

4.    Famakologis

e.    Pirantel pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau

f.      Mebendazol, dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau

g.    Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg) atau 20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil.

 

Konseling dan Edukasi

7.    Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.

8.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.

9.    Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.

10. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.

11. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.

12. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga tetap bersih dan tidak lembab.

 

Kriteria Rujukan : -

 

Peralatan

·       Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.

 

Prognosis

·       Prognosis pada umumnya bonam.

6. Diagram Alur

-

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

ASMA BRONKIAL

 

SPO

No. Dokumen    :

No. Revisi         :

Tanggal Terbit  :

Halaman            :

PUSKESMAS II PURWOKERTO TIMUR

Tanda Tangan

dr. Leni Kurniati Jubaedah

NIP.197211072006042013

 

RUANG LINGKUP

 

Prosedur ini memuat langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menangani serangan asma dan asma jangka panjang.

 

 

TUJUAN

 

1.     Mengupayakan penanganan serangan asma yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa pasien.

2.     Dengan pengobatan yang cepat dan tepat, prognosis asma menjadi lebih baik

 

 

KEBIJAKAN

 

Semua pasien dengan serangan asma lakukan segera penilaian derajat asma untuk menentukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat.

 

 

PETUGAS

 

1.       Dokter

2.       Perawat

 

 

PERALATAN

1.   Tensimeter

2.   Stetoskop

 

PROSEDUR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.     Anamnesis:

1.1.     Gejala batuk dan atau mengi berulang yang mempunyai karakteristik episodik, terjadi pada malam hari (nokturnal), musiman, berkaitan dengan aktifitas atau pencetus, reversibel, adanya riwayat atopi dalam keluarga.

1.2.     Sesak nafas terutama saat ekspirasi.

 

2.     Pemeriksaan fisik

1.1.     Pada waktu serangan : tampak khas berupa pasien duduk berjuang untuk menghirup udara, dada dalam posisi inspirasi dan menggunakan otot bantu pernafasan.

1.2.     Frekuensi nafas meningkat, amplitudo dangkal.

1.3.     Sesak nafas, nafas cuping hidung sianosis.

1.4.     Gerakan dinding dada berkurang, hipersonor.

1.5.     Bunyi nafas melemah, wheezing ekspirasi, ekspirium diperpanjang, ronki basah, ronki kering, suara lendir.

 

PROSEDUR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Parameter klinis

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti nafas

Sesak

Berjalan

Berbicara

Istirahat

 

Bicara

Kalimat

Penggal kalimat

Kata-kata

 

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

 

Kesadaran

Mungkin iritabel

Biasanya iritabel

Biasanya iritabel

Kebingungan

Sianosis

Tidak ada

Tidak ada

ada

Nyata

Mengi

Sedang, hanya pada akhir ekspirasi

Nyata, sepanjang eksp, kadang insp

Terdengar tanpa stetoskop

 

Sesak nafas

Minimal

Sedang

Berat

 

Otot bantu nafas

Biasanya tidak

Biasanya ya

ya

Gerakan paradok torako-abdominal

Retraksi

Dangkal, interkostal

Sedang, ditambah retaksi suprasternal

Dalam, ditambah nafas cuping hidung

Dangkal/ hilang

Laju nafas

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Menurun

Tabel  Penilaian Derajat Serangan Asma

 

2.   Penatalaksanaan:

2.1.     Serangan asma akut ringan

2.1.1.       Oksigen : 4 – 6 liter/mnt  ( dewasa ) ; 2 liter / menit ( anak )

2.1.2.       Agonis Beta – 2 oral : salbutamol 3 x 2-4 mg ( dewasa ); dosis anak : 0,05 – 0,1 mg / kgbb/ kali.

2.2.     Serangan asma sedang dan berat dirujuk ke rumah sakit dengan tindakan pra rujukan yg tepat,O2 terpasang,posisi tepat.

 

 

3.   Penatalaksanaan Lanjutan

3.1.     Hindari faktor pencetus

3.2.     Bronkodilator : salbutamol oral 3 x 2 mg ( dosis anak : 0,05 – 0,1 mg/kgbb/kali) atau aminofilin oral 3 x 120 – 150 mg (dewasa).

3.3.     Kortikosteroid.

3.4.     Ekspektoran mukolitik

3.5.     Antibiotik diberikan jika ada dugaan infeksi bakterial : Eritromisin 3 x 250 mg /Amoksisilin 3 x 500 mg/Kotrimoksazol 2 x 2 tablet ( Dewasa)

 

 

DIAGRAM ALIR

PASIEN DATANG

DILAKUKAN

ANAMNESIS

Keluhan : batuk atau mengi berulang, episodic, berkaitan dengan aktivitas, atopi keluarga dan cuaca, sesak nafas.

PEMERIKSAAN

FISIK :

-        Tripod position

-        Otot bantu nafas

-        Respires meningkat

Ekspirasi diperpanjang

-        Wheezing ekspirasi

 

RINGAN

-        O2

-        Agonis Beta

-        Steroid

-        Mukolitik dan antibiotik bila perlu

SEDANG

Bisa mengucapkan penggalan kalimat

BERAT

Hanya bias mengucapkan kata

PASIEN DIRUJUK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Panduan Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer,Permenkes nomer 5 thn 2014.dan kapita selekta kedokteran.

 

 

 

 

SOP ASTIGMATISME

 

 

SOP

No. Dokumen

:

 

No. Revisi

:

 

Tanggal Terbit

:

 

Halaman

:

1 / 2

PUSKESMAS I TAMBAK

 

dr. Harry Widyatomo

 

 

NIP.198212202010011016

1.    Pengertian

Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai meridian

2.    Tujuan

Sebagai acuan tata laksana astigmatisme

3.    Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No .... /  .. /  SK-II/ IV/ 2016 tentang kebijakan

4.    Referensi

1.    Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007.

2.    Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.

3.    James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005.

4.    Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.

5.    Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

6.    Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000

 

5.    Prosedur

 

 

 

 Masalah Kesehatan

Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai meridian.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat melihat lebih jelas.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum biasanya baik.

Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan menunjukkan tajam penglihatan tidak maksimal dan akan bertambah baik dengan pemberian pinhole.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal dengan pemberian lensa silindris.

 

Diagnosis Banding

Kelainan refraksi lainnya.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai.

 

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Tidak diperlukan.

 

Konseling dan Edukasi

Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan gangguan penglihatan yang dapat dikoreksi.

Kriteria Rujukan

Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila:

1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau

2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme berat).

 

Peralatan

1. Snellen Chart

2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial lenses)

3. Pinhole

 

Prognosis

1. Ad vitam : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Bonam

 

 

6.    Langkah-Langkah

1.     Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil

2.     Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa sesuai nomor urut.

3.     Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan.

4.     Petugas mengukur ttv

5.     Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb :

·       Keluhan Utama.

·       Keluhan tambahan.

·       Riwayat penyakit terdahulu.

·       Riwayat penyakit keluarga.

·       Lamanya sakit.

·       Pengobatan yang sudah dilakukan.

·       Riwayat alergi obat.

6.     Dokter memeriksa pasien

 

7.     Petugas memberikan resep kepada pasien

8.     Pasien  mengambil obat di apotek puskesmas

 

7.    Hal-Hal yang perlu diperhatikan

Penyampaian informasi mudah dipahami

Pemeiksaan yang benar dan pengobtan yang tepat

8.    Unit Terkait

 

1.    Pendaftaran

2.    Apotek

3.    administrasi

 

9.    Dokumen Terkait

1.    Rekam Medis

2.    Buku register rawat jalan

10. Rekamann historis perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

Pengertian

Bells’palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut, unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.

Kode Penyakit

No. ICPC-2 : N91 Facial paralysis/Bells’ palsy

No. ICD-10 : G51.0 Bells’ palsy

Tujuan

Prosedur ini dibuat dimaksudkan untuk mengatur tatacara melakukan penanganan penderita bells’ palsy dengan baik dan benar.

Alat & Bahan

Alat : Tempat tidur, Stetoskop, Arloji, Thermometer, Tensimeter 

SOP

PENATALAKSANAAN

·     Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.

·     Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.

·     Hal penting yang perlu diperhatikan:

a.    Pengobatan inisial

1.   Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).

2.   Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).

3.   Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.

4.   Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.

 

b.   Lindungi mata

Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari) dapat mencegah corneal exposure.

c.    Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan sequele.

 

RENCANA TINDAK LANJUT

Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan setelah pengobatan.

 

KRITERIA RUJUKAN

a. Bila dicurigai kelainan supranuklear

b. Tidak menunjukkan perbaikan

 

Unit Terkait

Poli Pengobatan, UGD

 

 

  

BENDA ASING DI HIDUNG

 

 

SPO

 

 

No. Dokumen : SPO/IX/U-01/04/16

No. Revisi        : 0

Tanggal Terbit : 4 April 2016

Halaman         :  1/2

Puskesmas II PURWOKERTA UTARA

 

 

 

Dr Maria Valentina

197208122002122004

1. Pengertian

Pengambilan benda asing di hidung dengan menggunakan direct instrument; hooked probes; kateter; alat penyedot (suction)

2. Tujuan

Sebagai acuan dalam melakukan tindakan dengan tepat dan benar

3. Kebijakan

Surat Keputusan Kepala Puskesmas II Purwokerto Utara

4. Referensi

KMK RI Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

5. Prosedur

a.    Alat dan Bahan

1)    Sarung tangan

2)    Lampu Kepala

3)    Lidocain 1% dan phenylephrin 0,5%

4)    Direct instruments: hemostat, forceps alligator, forceps bayonet

5)    hooked probes

6)    Kateter foley (5-8 french)

7)    Spuit 3 cc

8)    Alat penyedot (suction

b.    Teknik Pemeriksaa

1)    Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.

2)    Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.

3)    Pertahankan suasana tenang di ruangan.

4)    Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien.

5)    Persiapkan peralatan yang dibutuhkan.

6)    Posisikan pasien pada sniffing position, baik terlentang ataupun dengan sedikit elevasi kepala. Pasien yang tidak kooperatif harus difiksasi. Minta bantuan untuk memfiksasi kepala.

7)    Pemberian anastesia dan vasokonstriktor mukosa dengan tampon adrenalin pada lubang hidung membantu pemeriksaan dan pengambilan benda asing. Rendam kapas dengan campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain.

8)    Untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, tidak berbentuk bulat, dan tidak mudah hancur, gunakan instrument hemostat, forseps alligator, atau forsep bayonet.

9)    Untuk benda asing yang mudah dilihat namun sulit untuk dipegang, gunakan hooked probes. Hook diletakkan dibelakang benda asing dan diputar sehingga sudut hook terletak dibelakang benda asing. Benda asing kemudian ditarik ke depan.

 

10) Untuk benda asing kecil dan bulat yang sulit dipegang oleh instrumen, dapat juga digunakan kateter balon. Gunakan kateter foley atau kateter fogarty. Periksa balon kateter dan oleskan jeli lidokain 2% pada kateter. Dengan posisi pasien supine, masukkan kateter melewati benda asing dan kembangkan balon dengan udara atau air (2 ml untuk anak kecil dan 3 ml untuk anak yang berbadan besar). Setelah balon dikembangkan, tarik kateter untuk mengeluarkan benda asing.

11) Penyedotan dengan suction digunakan untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, licin, dan berbentuk bulat. Ujung kateter ditempatkan di benda asing, dan dilakukan penyedotan dengan tekanan 100-140 mmHg.

12) Suction juga digunakan untuk mengevakuasi sekret di hidung yang menghalangi benda asing.

 

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

7. Unit terkait

BP Umum

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

BENDA ASING DI KONJUNGTIVA

 

 

SOP

No. Dokumen

:

 

No. Revisi

:

 

Tanggal Terbit

:

 

Halaman

:

1 / 2

PUSKESMAS I TAMBAK

 

dr. Harry Widyatomo

NIP.198212202010011016

6.    Pengertian

Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal tidak dijumpai di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder

 

7.    Tujuan

Sebagai acuan tata laksana benda asing di konjungtiva

 

8.    Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No .... /  .. /  SK-II/ IV/ 2016 tentang SOP Benda asing di konjungtiva

 

9.    Referensi

1.    Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.

2.    Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

3.    Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

 

10. Prosedur

 

 

 

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia.

Faktor Risiko

Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Visus biasanya normal.

2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi.

3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva tarsal superior dan/atau inferiordan/atau konjungtiva bulbi.

 

Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis banding

Konjungtivitis akut

Komplikasi

1. Ulkus kornea

2. Keratitis

Terjadi bila benda asing pada konjungtiva tarsal menggesek permukaan kornea dan menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi berat dapat terjadi jika benda asing merupakan zat kimia.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing

Berikut adalah cara yang dapat dilakukan:

a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5% sebanyak 1-2 tetes pada mata yang terkena benda asing.

b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda asing.

 

c. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau jarum suntik ukuran 23G.

d. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi.

e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada tempat bekas benda asing.

2. Medikamentosa

Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam selama 2 hari

Konseling dan Edukasi

1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar tidak memperberat lesi.

2. Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja atau berkendara.

3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan bertambah berat setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah, bengkak, atau disertai dengan penurunan visus.

 

Kriteria Rujukan

1. Bila terjadi penurunan visus

2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, misal: karena keterbatasan fasilitas

 

Peralatan

1. Lup

2. Lidi kapas

3. Jarum suntik 23G

4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%

5. Povidon Iodin

 

Prognosis

1. Ad vitam : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Bonam

 

11. Langkah-Langkah

9.     Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil

10.  Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa sesuai nomor urut.

11.  Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan.

12.  Petugas mengukur ttv

13.  Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb :

·       Keluhan Utama.

·       Keluhan tambahan.

·       Riwayat penyakit terdahulu.

·       Riwayat penyakit keluarga.

·       Lamanya sakit.

·       Pengobatan yang sudah dilakukan.

·       Riwayat alergi obat.

14.  Petugas memberikan resep kepada pasien

15.  Pasien  mengambil obat di apotek puskesmas

 

 

12. Hal-Hal yang perlu diperhatikan

Penyampaian informasi mudah dipahami

 

13. Unit Terkait

 

4.    Pendaftaran

5.    UGD

6.    Apotek

 

 

14. Dokumen Terkait

3.    Daftar hadir

4.    Notulen

 

15. Rekamann historis perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Layanan Klinis Blefaritis

 

 

 

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen

:

No. Revisi

:

Tanggal Terbit

:

Halaman

:

 

 

 

 

 

 

1. Pengertian

Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra) dapat disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada tepi kelopak mata, serta dapat melibatkan folikel rambut.

2. Tujuan

Mengobati pasien dengan blefaritis yang datang berobat ke Puskesmas

3. Kebijakan

 

4. Prosedur

1.    Petugas menyiapkan alat pemeriksaan, yaitu tensimeter, stetoskop, senter, dan lup

2.    Menanyakan keluhan pasien. Keluhan yang biasa ditemui adalah gatal pada tepi kelopak mata. Dapat disertai keluhan lain berupa merasa ada sesuatu di kelopak mata, panas pada tepi kelopak mata dan kadang-kadang disertai rontok bulu mata. Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka.

3.    Mencari faktor resiko seperti :

a)    Kondisi kulit seerti dematitis seboroik

b)    Higiene dan lingkungan yang tidak bersih, dan

c)    Kesehatan atau daya tahan tubuh yang menurun

4.    Melakukan pemeriksaan fisik dasar dan penunjang. Pada pemeriksaan dapat ditemukan :

a)    Skuama atau krusta di tepi kelopak

b)    Bulu mata rotok

c)    Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi kelopak mata

d)    Dapat terjadi pembengkakak dan merah pada kelopak mata

e)    Dan dapat ditemukan keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata; bila dilepaskan bisa terjadi perdarahan.

5.    Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.

6.    Menentukan komplikasi yang mungkin terjadi, seperti blefarokonjungtivitis, madarosis, dan trikiasis.

7.    Memberikan tata laksana berupa :

a)    Memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak dari kotoran dapat menggunakan sampo bayi.

b)     Kelopak mata dibersihkan dengan kapas lidi hangat dan kompres hangat selama 5-10 menit.

c)    Apabila ditemukan tukak pada kelopak mata, salep atau tetes mata seperti eritromisin, basitrasin atau gentamisin 2 tetes setiap 2 jam hingga gejala menghilang.

8.    Melakukan konseling dan edukasi :

a)    Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala, alis mata, dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan terutama pada pasien dengan dermatitis seboroik.

b)     Memberitahu pasien dan keluarga untuk menjaga higiene personal dan lingkungan.

9.    Mempertimbangkan rujukan bila tidak membaik dengan pengobatan optimal.

5. Referensi

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

6. Unit Terkait

Poli Umum

 

7. Rekaman Historis

 

No.

Halaman

Yang Diubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8. Bagan

RUANG LINGKUP

Protap ini mencakup diagnosis dan tata laksana bronkhitis akut.

TUJUAN

Memberikan tata laksana yang tepat pada pasien bronkhitis akut.

KEBIJAKAN

Berlaku untuk semua pasien.

PETUGAS

Dokter

PERALATAN

 

1.   Tensimeter

2.   Stetoskop

PROSEDUR

1.     Pengertian

Bronkhitis akut sebenarnya merupakan bronkopneumonia yang lebih ringan, penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri.

2.     Gambaran Klinis

2.1. Batuk yang mula-mula kering kemudian menjadi berdahak kental dan mukopurulen, makin lama makin banyak.

2.2. Mungkin terdapat demam yang berlangsung 3-5 hari, sesak nafas, nyeri otot dan sakit dada.

3.     Pemeriksaan Fsik

3.1. Ditemukan ronki kasar.

4.     Pemeriksaan Laboratorium.

4.1. Terdapat leukositosis.

5.     Penatalaksanaan :

5.1. Selama demam beri Parasetamol 10 mg/kgbb/kali.

5.2. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorfan) 15mg/kali 2 sd 3 x/hr.

         Kodein (obat Doveri) dapat diberikan 3x10 mg/hr dewasa

Untuk anak.> 6 thn ,Dekstrometorpan Hbr 1 mg/kgbb/hr dibagi 3 dosis (bila batuk kering).

Pemberian antitussif perlu pertimbangkan efek sesak nafas.

5.3. Ekspectoran : GG 50-100 mg, tiap 2-6 jam bila batuk berdahak,bromheksin,ambroksol,dosis sesuaikan .

5.4. Bronchodilator,salbutamol,teofilin,aminifillin.

5.5. Pilihan antibiotik jika ada infeksi bakteri :

Pada penderita dewasa :

5.5.1.   Kotrimoksazol dewasa 2 x 960 mg.

5.5.2.   Eritromisin dewasa 4 x 500 mg. Anak 40 – 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.

5.5.3.   Amoxicillin 30 – 50 mg/kgbb perhari.

5.6. Nasehat : Istirahat, banyak minum,dilarang merokok.

5.7. Jelaskan kemungkinan efek samping obat,sesak      nafas,berdebar debar,lemas,keringat dingin,gemetar.

       

 

 

DIAGRAM ALIR

PASIEN DATANG

DILAKUKAN

ANAMNESIS

Keluhan : batuk kering / dahak, demam 3-5 hari, sesak nafas, nyeri dada

PEMERIKSAAN

FISIK :

-        Suara dasar vasikular

-        Ronki kasar

-        Leukositosis

 

TERAPI

-     Berikan Paracetamol jika demam

-     Berikan Dextrometorpan bila batuk kering

-     Berikan Ekstpektoran bila batuk dahak

-     Antibiotic : kotri, eritromicin, amoxcilin

-     Edukasi

PASIEN

PULANG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Panduan Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer,Permenkes nomer 5 thn 2014.

 

 

 

 

 

 

 

 

Layanan Klinis Buta Senja

 

 

 

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen

:

No. Revisi

:

Tanggal Terbit

:

Halaman

:

 

 

 

1

 

 

1. Pengertian

Buta senja/ rabun senja disebut juga nyctalopia atau hemarolopia adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel batang retina yang berperan pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja adalah defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa.

2. Tujuan

Mengobati buta senja yang dialami pasien yang datang berobat ke Puskesmas.

3. Kebijakan

 

4. Prosedur

1.    Petugas mempersiapkan alat pemeriksaan berupa tensimeter, stetoskop, senter, lup, dan oftalmoskop

2.    Melakukan anamnesis kepada pasien. Keluhan yang sering dikeluhkan Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup.

3.    Petugas melakukan pemeriksaan fisik dasar. Dan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa mata.

4.    Menemukan tanda-tanda defisiensi vitamin A seperti : Terdapat bercak bitot pada konjungtiva, Kornea mata kering/kornea serosis, Kulit tampak kering dan bersisik.

5.    Menegakkan diagnosa klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

6.    Memberikan pengobatan berupa vitamin A dosis tinggi (bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A, lubrikasi kornea, dan pencegahan infeksi sekunder dengan tetes mata antibiotik.

7.    Melakukan konseling dan Edukasi yatu dengan Memberitahu keluarga adalah gejala dari suatu penyakit, antara lain; defisiensi vitamin A sehingga harus dilakukan pemberian vitamin A dan cukup kebutuhan gizi..

5. Referensi

 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

6. Unit Terkait

Poli Umum

 

 

 

7. Rekaman Historis

 

No.

Halaman

Yang Diubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8. Bagan

 

CANDIDIASIS ORAL

 

SOP

No. Dokumen    :

No. Revisi         :

Tanggal Terbit   :

Halaman            :

PUSKESMAS I WANGON

Tanda Tangan

dr. Tulus Budi P

NIP.198203272009031006

1.   Pengertian

Candidiasis oral adalah penyakit infeksi jamur Candida albicans yang menyerang mukosa mulut.

2.   Tujuan

Sebagai pedoman dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat terhadap pasien dengan candidiasis oral.

3.   Kebijakan

.

4.   Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5.   Prosedur

Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, mukosa maupun organ dalam, sedangkan pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril.

 

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan :

Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa metal, dan daya kecap penderita yang berkurang.

Faktor Risiko: imunodefisiensi.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1.    Bercak merah, dengan maserasi di daerah sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa) disertai bercak merah yang terpisah di sekitarnya (satelit).

2.    Guam atau oral thrush yang diselaputi pseudomembran pada mukosa mulut.

 

Pemeriksaan Penunjang

Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

 

Diagnosis Banding

Peradangan mukosa mulut yang disebabkan oleh bakteri atau virus.

 

Komplikasi

Diare karena kandidiasis saluran cerna.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.   Memperbaiki status gizi dan menjaga kebersihan oral

2.   Kontrol penyakit predisposisinya

3.   Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau larutan nistatin 100.000 – 200.000 IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3 hari

 

Rencana Tindak Lanjut

1.   Dilakukan skrining pada keluarga dan perbaikan lingkungan keluarga untuk menjaga tetap bersih dan kering.

2.   Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dengan obat anti jamur.

 

Kriteria Rujukan

Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV.

 

1.   Unit Terkait

BP Umum, KIA, Klinik IMS, Laboratorium

 

 

 

 

2.   Rekaman Historis Perubahan

No

Halaman

Yang dirubah

Perubahan

Tgl. Mulai Diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : K80 cardiac arrhytmia NOS

No. ICD-10 : R09.2 Respiratory arrest/ Cardiorespiratory failure

Tingkat Kemampuan 3B

 

Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi kegawatdaruratan karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak yang mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh malfungsi mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang mendadak dan berat ini mengakibatkan kerusakan organ.

Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas otot jantung yang tidak terkoordinasi. Dengan EKG, ditunjukkan dalam bentuk Ventricular Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan persisten VF, aliran darah koroner menurun hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, aliran darah katoris tidak ada sehingga menimbulkan kerusakan neurologi secara permanen.

Jenis henti jantung

1. Pulseless Electrical Activity (PEA)

2. Takikardia Ventrikel

3. Fibrilasi Ventrikel

4. Asistole

2. Tujuan

Semua pasien Cardiorespiratory Arrest  yang datang ke Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.     KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.     Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006)

3.     O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed.McGraw Hill. 2009.

4.    3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007.

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)   

Keluhan

Pasien dibawa karena pingsan mendadak dengan henti jantung dan paru. Sebelumnya, dapat ditandai dengan fase prodromal berupa nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah.

Hal yang perlu ditanyakan kepada keluarga pasien adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA antara lain oleh:

1. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion atau asidosis, hiper atau hipokalemia dan hipotermia)

2. 5 T (tension pneumothorax, tamponade, tablet atau overdosis obat, trombosis koroner, dan thrombosis pulmoner), tersedak, tenggelam, gagal jantung akut, emboli paru, atau keracunan karbon monoksida.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan:

1. Pasien tidak sadar

2. Tidak ada nafas

3. Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri besar (karotis dan femoralis).

 

Pemeriksaan Penunjang

EKG

Gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran VF (Ventricular Fibrillation). Selain itu dapat pula terjadi asistol, yang survival rate-nya lebih rendah daripada VF.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik sedangkan anamnesis berguna untuk mengidentifikasi penyebabnya.

Diagnosis Banding: -

Komplikasi

Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia ensefalopati, kerusakan neurologi permanen dan kematian.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Melakukan resusitasi jantung paru pada pasien, sesegera mungkin tanpa menunggu anamnesis dan EKG.

2. Pasang oksigen dan IV line

 

Konseling dan Edukasi

Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien dan tindak lanjut dari tindakan yang telah dilakukan, serta meminta keluarga untuk tetap tenang pada kondisi tersebut.

Rencana Tindak Lanjut

Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk ke spesialis.

 

Kriteria rujukan

Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk ke layanan sekunder untuk tatalaksana lebih lanjut.

Peralatan

1. Elektrokardiografi (EKG)

2. Tabung oksigen

3. Bag valve mask

 

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung pada waktu dilakukannya penanganan medis.

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

Fimosis

 

1. Pengertian

Common Cold adalah keluarnya cairan dari hidung, hidung yang terasa buntu dan iritasi tenggorokan yang kemudian mengakibatkan timbulnya rasa batuk. Cairan hidung yang purulen juga tidak dapat dijadikan suatu bukti adanya infeksi bakteri.

2. Tujuan

Memberikan tata laksana sesuai pengobatan rasional

3. Kebijakan

Selain pengobatan simtomatik perlu juga diberikan psikoterapi

4. Referensi

 

5. Prosedur

PETUGAS

1.    Dokter

2.    perawat

PERALATAN

1.    Tensimeter

2.    Steteskop

PROSEDUR

Tanda dan Gejala

Infan biasanya akan mengalami demam, 380C atau lebih dan kesulitan untuk memberikan makanan maupun menidurkannya. Pada anak yang lebih besar, biasanya anak mengeluhkan sakit-sakit pada badan, badan lemah dan anoreksia.

Demam yang tidak mengalami komplikasi biasanya akan sehat kembali dalam jangka waktu 7 hari. Demam lama dengan gejala yang semakin memburuk selama 7 hari tersebut mengindikasikan adanya suatu infeksi bakteri sekunder, sedangkan hidung baru akan terlihat bersih dari bekas ingus setelah dua minggu.

6.   Langkah-Langkah

 

 

Penatalaksanaan

Tidak diperlukan suatu terapi antibiotik karena common cold adalah suatu self- limiting illness sehingga tidak diperlukan suatu terapi yang spesifik. Obat-obatan common cold yang biasanya diresepkan oleh dokter belum menunjukkan hasil yang signifikan dan umumnya tidak direkomendasikan. Walaupun demikian, terapi umum yang akan membantu penderita antara lain;

  1. Mengurangi demam
  2. mengurangi gejala hidung buntu
  3. perbanyak minum air

Hindari asap rokok

7.    Bagan Alir

 

 

8.    Hal-hal yang perlu diperhatikan

 

9.    Unit Terkait

1.    Ruang Periksa

2.    Rung KIA

3.    Ruang Bersalin

4.    UGD

5.    Rawat Inap

 

10. Dokumen Terkait

1.    Buku register pasien

2.    Buku observasi

3.    Blangko pemakaian obat

11. Rekaman Historis perubahan

No.

Yang diubah

Isi perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

CONTACT TRACING KUSTA

 

SOP

No. Dokumen   :    /PKM.DHD/SOP/ I /2018

No. Revisi         :

Tanggal Terbit  :                                     2018

Halaman            :

PUSKESMAS

DUHIADAA

 

 

Nelyana, SKM

NIP: 19811225 200501 2 020

1.     Pengertian

 

Contact tracing Kusta adalah pemeriksaan anggota keluarga yang kontak erat dan tinggal serumah dengan pasien yang dilakukan di puskesmas atau saat kunjungan rumah

2.     Tujuan

Sebagai acuan dalam penatalaksanaan contact tracing kusta untuk meningkatkan kinerja di Puskesmas Duhiadaa

3.     Kebijakan

 

4.     Referensi

Permenkes no. 5 tahun 2017 tentang Panduan Klinis bagi Dokter di Fasyankes Primer

5.     Prosedur/ Langkah - langkah

a.     Petugas menerima pasien kusta baru.

b.     Petugas  mencatat seluruh anggota keluarga yang kontak serumah dengan pasien kusta dalam kartu status pasien

c.     Petugas menjelaskan kepada pasien dan anggota keluarga yang mengantar tentang pentingnya pemeriksaan atau screening awal untuk mengetahui tnda dan gejala kusta

d.     Petugas mengirim anggota keluarga ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan cuka-cuki (cuping kanan dan cuping kiri) dan skin smear pada macula (apabila ditemukan tanda dan gejala kusta).

e.     Petugas memberikan KIE bahwa hasil skin smear bisa diambil kurang lebih 3 hari.

f.      Petugas menjelaskan kepada anggota keluarga tentang hasil dari pemeriksaan skin smear.

g.     Petugas melakukan pencatatan dan pelaporan pada kartu status pasien

6.     Unit Terkait

a.     Loket

b.     Unit layanan poli umum

c.     Apotek

 

 

 

 

 

 

Puskesmas

KARANGGEDE

PENANGANAN DERMATITIS CRACKED NIPLE

SPO

 

No. Kode

:

 

Ditetapkan oleh Kepala UPTD puskesmas karanggede

 

 

 

 

dr Agung Budi P

NIP 196808082006041010

Terbitan

:

 

No. Revisi

:

 

Tgl. Mulai Berlaku

:

 

Halaman

:

 

 

1.  Definisi

Cracked niple adalah kerusakan pada puting mungkin terjadi karena trauma pada puting akibat cara menyusui yang salah. Diperkirakan sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple pain dan 26% di antaranya mengalami lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple crack.

2.   Tujuan

1. Memberikan penatalaksanaan Cracked niple dengan benar

2. Menurunkan angka kejadian Cracked niple dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari Cracked niple

 

3.   Kebijakan

Langkah-langkah dalam penanganan Cracked niple menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan

4.   Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

5.  Prosedur

1.  Memberikan penjelasan kepada pasien tentang Cracked niple dan cara pencegahannya dengan teknik menyusui yang benar, puting harus kering ,mengoleskan colostrum atau ASI yang keluar di sekitar puting susu dan membiarkan kering, mengistiraharkan payudara apabila lecet sangat berat selama 24 jam, lakukan pengompresan dengan kain basah dan hangat selama 5 menit jika terjadi bendungan payudara.

2.  Memberikan tablet Parasetamol tiap 4–6 jam untuk menghilang-kan nyeri.

3.  Pemberian Lanolin dan vitamin E

4.    Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang mengakibatkan abses payudara

6.  Ruang Lingkup

Puskesmas, Puskesmas Pembantu,  Poskesdes/ PKD, Posyandu

 

 

 

 

 

7.  Diagram alir

 

Anamnesa

Pemeriksaan fisik

Penegakan diagnosis

Penatalaksanaan

medikamentosa

Non medikamentosa

rujuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


8.     6. Dokumen Terkait

-       Buku Rujukan

-       Form laporan insiden pada jam kerja

-       Buku register ruang tindakan

9.     7. Distribusi

Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

Pengertian

No. ICPC-2 : D96 Worms/other parasites

No. ICD-10 : B76.9 Hookworm disease, unspecified

Tingkat Kemampuan 4A

MasalahKesehatan

CutaneusLarva Migrans (Creeping Eruption) merupakankelainankulitberupaperadanganberbentuk linear atauberkelok-kelok, menimbuldanprogresif, yang disebabkanolehinvasi larva cacingtambang yang berasaldarianjingdankucing. Penularanmelaluikontaklangsungdengan larva. PrevalensiCutaneus Larva Migrandi Indonesia yang dilaporkanolehsebuahpenelitianpadatahun 2012 di KulonProgoadalahsekitar 15%.

Tujuan

Semua pasien cutaneus larva migransyang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

Kebijakan

KeputusanKepala Pusat Kesehatan MasyarakatKaranglewasnomor: 440/C.VII/SK/06/I/2016TentangKebijakanPelayananKlinisPuskesmasKaranglewas

Referensi

KeputusanMenteriKesehatanRepublik IndonesiaNomor HK.02.02/MENKES/514/2015TentangPanduanPraktikKlinisBagiDokter Di FasilitasPelayananKesehatan Tingkat Pertama

Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasienmengeluhgataldanpanaspadatempatinfeksi. Padaawalinfeksi, lesiberbentukpapul yang kemudiandiikutidenganlesiberbentuk linear atauberkelok-kelok yang terusmenjalarmemanjang. Keluhandirasakanmunculsekitarempatharisetelahterpajan.

 

FaktorRisiko

Orang yang berjalantanpa alas kaki, atauseringberkontakdengantanahataupasir.

 

HasilPemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana(Objective)

PemeriksaanFisikPatognomonis

Lesiawalberupapapuleritema yang menjalardantersusun linear atauberkelok-kelokmeyerupaibenangdengankecepatan 2 cm per hari.

 

Predileksipenyakitiniterutamapadadaerahtelapak kaki, bokong, genital dantangan.

 

PemeriksaanPenunjang

Pemeriksaanpenunjang yang khusustidakada.

 

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkanberdasarkan anamnesis danpemeriksaanfisik.

 

Diagnosis Banding

Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis

 

Komplikasi

Dapatterjadiinfeksisekunder.

 

PenatalaksanaanKomprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.    Memodifikasi gaya hidup dengan menggunakan alas kaki dan sarung tangan pada saat melakukan aktifitas yang berkontak dengan tanah, seperti berkebun dan lain-lain.

2.    Terapi farmakologi dengan Albendazol 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.

3.    Untuk mengurangi gejala pada penderita dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida pada lokasi lesi, namun hal ini tidak membunuh larva.

4.    Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi sesuai dengan tatalaksana pioderma.

 

KonselingdanEdukasi

Edukasipasiendankeluargauntukpencegahanpenyakitdenganmenjagakebersihandiri.

 

KriteriaRujukan

Pasiendirujukapabiladalamwaktu 8 minggutidakmembaikdenganterapi.

 

Peralatan

Lup

 

Prognosis

Prognosis umumnyabonam. Penyakitinibersifatself-limited, karenasebagianbesar larva matidanlesimembaikdalam 2-8 minggu, jaranghingga 2 tahun.

Diagram Alur

 

Unit terkait

 

RekamanHistorisPerubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggalmulaidiberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SPO

 

 

No.Dokumen:SPO/VIII/UKP/     /2016

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:04 April 2016

Halaman         :1/8

Puskesmas II Wangon

 

 

 

drg.Imam Hidayat

NIP.196008181989011001

1. Pengertian

Demam berdarah dengue adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.

2. Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah agar.........

3. Kebijakan

SK Kepala Puskesmas 2 Wangon nomer.............

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015

5. Prosedur

Anamnesis (Subjective)

1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 – 7 hari.

2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar berdarah.

3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.

4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati atau di bawah tulang iga)

5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.

6. Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan kesadaran.

7. Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.

 

Faktor Risiko

1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan barang bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.

2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal pasien sehari-hari.

3. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonik untuk demam dengue

1. Suhu > 37,5 derajat celcius

2. Ptekie, ekimosis, purpura

3. Perdarahan mukosa

4. Rumple Leed (+)

 

Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue

1. Suhu > 37,5 derajat celcius

2. Ptekie, ekimosis, purpura

3. Perdarahan mukosa

4. Rumple Leed (+)

5. Hepatomegali

6. Splenomegali

7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan asites.

8. Hematemesis atau melena

 

Pemeriksaan Penunjang :

1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan:

a. Trombositopenia (≤ 100.000/μL).

b. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:

• peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% dari nilai standar data populasi menurut umur

• Ditemukan adanya efusi pleura, asites

• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia

c. Leukopenia < 4000/μL.

2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti-Dengue, yang titernya dapat terdeteksi setelah hari ke-5 demam.

 

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis Demam Dengue

1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik.

2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif.

3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.

4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah.

5. Leukopenia < 4.000/mm3

6. Trombositopenia < 100.000/mm3

 

Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.

 

Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue

1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)

2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji Tourniquette yang positif

3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital

4. Adanya kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah a. Hepatomegali

b. Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu:

• Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi menurut umur

• Ditemukan adanya efusi pleura, asites

• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia c. Trombositopenia <100.000/mm3

Adanya demam seperti di atas disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis Demam Berdarah Dengue.

 

Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok pada penderita Demam Berdarah Dengue.

Kriteria Diagnosis Laboratoris

Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan untuk survailans epidemiologi, terdiri atas:

Probable Dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi antidengue.

Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.

Isolasi virus Dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, namun karena memerlukan teknologi yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.

Diagnosis Banding

1. Demam karena infeksi virus (influenza , chikungunya, dan lain-lain)

2. Idiopathic thrombocytopenic purpura

3. Demam tifoid

 

Komplikasi

Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati

 

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa

1. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3x500-1000 mg).

2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

- Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah dengue, yaitu:pemeriksaan penunjang Lanjutan

- Pemeriksaan Kadar Trombosit dan Hematokrit secara serial

Gambar 1.7 Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah

 

Kriteria Rujukan

1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena).

2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum membaik.

3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan kesadaran, dan lainnya.

 

Penatalaksanaan pada Pasien Anak

Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok

1. Bila anak dapat minum

a. Berikan anak banyak minum

• Dosis larutan per oral: 1 – 2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit.

• Jenis larutan per oral: air putih, teh manis, oralit, jus buah, air sirup, atau susu.

b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai dengan kebutuhan untuk dehidrasi sedang. Berikan hanya larutan kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat (RL) atau Ringer Asetat (RA), dengan dosis sesuai berat badan sebagai berikut:

• Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam

• Berat badan 15 – 40 kg : 5 ml/kgBB/jam

• Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam

2. Bila anak tidak dapat minum, berikan cairan infus kristaloid isotonik sesuai kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai dengan dosis yang telah dijelaskan di atas.

3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per 4-6 jam.

a. Bila terjadi penurunan hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan klinis stabil.

b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan penatalaksanaan DBD dengan syok.

4. Bila anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10 – 15 mg/kgBB/kali) per oral. Hindari Ibuprofen dan Asetosal.

5. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.

 

Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok

1. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan mengharuskan rujukan segera ke RS.

2. Penatalaksanaan awal:

a. Berikan oksigen 2 – 4 liter/menit melalui kanul hidung atau sungkup muka.

b. Pasang akses intravena sambil melakukan pungsi vena untuk pemeriksaan DPL.

c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau RA) 20 ml/kg secepatnya.

d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30 menit.

e. Jika setelah pemberian cairan inisial tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi pemberian infus larutan kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian larutan koloid 10 – 20 ml/kgBB/jam (maksimal 30 ml/kgBB/24 jam).

f. Jika nilai Ht dan Hb menurun namun tidak terjadi perbaikan klinis, pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi. Berikan transfusi darah bila fasilitas tersedia dan larutan koloid. Segera rujuk.

g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2 – 4 jam. Secara bertahap diturunkan tiap 4 – 6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium.

h. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36 – 48 jam. Hindari pemberian cairan secara berlebihan.

3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.

 

Rencana Tindak Lanjut

Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok

1. Pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, diuresis) dilakukan setiap satu jam.

2. Pemantauan laboratorium (Ht, Hb, trombosit) dilakukan setiap 4-6 jam, minimal 1 kali setiap hari.

3. Pemantauan cairan yang masuk dan keluar.

 

Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok

Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama merujuk pasien ke RS jika kondisi pasien stabil.

Persyaratan perawatan di rumah

1. Persyaratan untuk pasien dan keluarga

a. DBD non-syok(tanpa kegagalan sirkulasi).

b. Bila anak dapat minum dengan adekuat.

c. Bila keluarga mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat.

2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan

a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang bertanggung jawab penuh terhadap tatalaksana pasien.

b. Semua kegiatan tatalaksana dapat dilaksanakan dengan baik di rumah.

c. Dokter dan/atau perawat mem-follow up pasien setiap 6 – 8 jam dan setiap hari, sesuai kondisi klinis.

d. Dokter dan/atau perawat dapat berkomunikasi seara lancar dengan keluarga pasien sepanjang masa tatalaksana.

 

Kriteria Rujukan

1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi).

2. Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada kegagalan sirkulasi.

3. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat, walaupun DBD tanpa syok.

 

Konseling dan Edukasi

a. Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, prognosis, dan rencana tatalaksana.

b. Penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya (warning signs) yang perlu diwaspadai dan kapan harus segera ke layanan kesehatan.

c. Penjelasan mengenai jumlah cairan yang dibutuhkan oleh anak.

d. Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu diberikan.

e. Penjelasan mengenai cara minum obat.

f. Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara-cara pencegahan yang berkaitan dengan perbaikan higiene personal, perbaikan sanitasi lingkungan, terutama metode 4M plus seminggu sekali, yang terdiri atas:

1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, tempayan, ember, vas bunga, tempat minum burung, dan penampung air kulkas agar telur dan jentik Aedes aegypti mati.

2) Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak dapat masuk dan bertelur.

3) Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang dapat menampung air hujan agar tidak menjadi sarang dan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti.

4) Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.

5) Tidak menggantung baju, menghindari gigitan nyamuk, membubuhkan bubuk abate, dan memelihara ikan.

 

Prognosis

Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena hal ini tergantung dari derajat beratnya penyakit.

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

7. Unit terkait

SemuaRuangan

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai

 Diberlakukan

 

 

 

 

 

Pengertian

Delirium adalah gangguan kesadaran yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.

KodePenyakit

No. ICPC II : P71 Organic psychosis other

No. ICD X : F05.9 Delirium, unspecified

Tujuan

Dapat melakukan pengelolaan penyakit yang meliputi:

1. Anamnesa (Subjective)

2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

3. Penegakkan Diagnosa (Assessment)

4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Alat&Bahan

Stetoskop, Tensimeter

SOP

1.  Melakukan Anamnesa(Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditandai dengan:

1. Berkurangnya atensi

2. Gangguan psikomotor

3. Gangguan emosi

4. Arus dan isi pikir yang kacau

5. Gangguan siklus bangun tidur

6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari

 

Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis, yaitu:

1. Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan dokter sesuai dengan apa yang diharapkan, ditanyakan.

2. Adanya perilaku yang tidak terkendali.

 

Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik lain yang mendahului terjadinya gejala delirium, misalnya gangguan medik umum, atau penyalahgunaan zat.

 

Faktor Risiko

Adanya gangguan medik umum, seperti:

1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, TIA)

2. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan metabolik, penyakit jantung, COPD, gangguan ginjal, gangguan hepar

3. Penyalahgunaan zat

 

 

2. Melakukan PemeriksaanFisikdanPemeriksaanPenunjangSederhana(Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik generalis terutama sesuai penyakit utama.

Pemeriksaan Penunjang : -

 

3.  PenegakanDiagnosa(Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Confusion Assessment Method (Algoritma)

Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSM-IV-TR (Diagnosis and Statistical Manual for Mental Disorder – IV – Text Revised), adalah:

1. Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, dan mengubah perhatian;

2. Gangguan Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau memberat;

3. Perkembangan dari gangguan selama periode waktu yang singkat (umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi dalam perjalanan hariannya;

4. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi.

 

4.  PenatalaksanaanKomprehensif(Plan)

Tujuan Terapi

1. Mencari dan mengobati penyebab delirium

2. Memastikan keamanan pasien

3. Mengobati gangguan perilaku terkait delirium, misalnya agitasi psikomotor

 

Penatalaksanaan

1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan selama perawatan.

2. Apabila pasien telah memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan obat pada terapi yang sedang dijalanin oleh pasien.

3. Bila belum mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat anti psikotik. Obat ini diberikan apabila ditemukan gejala psikosis dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimal 20 mg/hari.

 

Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi terhadap keluarga/ care giver agar mereka dapat memahami tentang delirium dan terapinya.

 

Kriteria Rujukan

Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit utamanya.

Unit Terkait

Apotek, Rumah Sakit

 

Status Dokumen

  Induk                           Salinan                        No.Distribusi

 

 

 

PUSKESMAS RAWALO

PROTAP

DEMAM

 

No Dokumen

 

PKM.RWL. UGD-19

No Revisi

 

00

Halaman

 

1/1

PROTAP

 

UGD

Tanggal Terbit

 

22 Maret 2016

Disetujui oleh,

Kepala UPTD Puskesmas Rawalo

 

 

 

dr. AENDAH SUSANTO

NIP. 19601200 199003 1 002

Pengertian

Kriteria Diagnosis

Demam > 37,6OC terus-menerus menggigil

Tujuan

Sebagai acuan tatalaksana penderita deman

Kebijakan

Dibawah tanggung jawab dan pengawasan dokter

Prosedur

Diagnosis Diferensial

-        Demam typoid, DHF Malaria +Common Cold + FOU (Fever Unknown Origin)

 

Pemeriksaan Penunjang

-        Hb, Leko, Diff, Trombosit, Darah Tepi, Widal

 

Perawatan PUSKESMAS

-        Demam lama (> 1 minggu)

-        Demam dengan perdarahan langsung dirujuk

-        Demam dengan kesadaran menurun langsung dirujuk

 

Terapi

-        Demam Typhoid                 :   Chloramphenicol

-        Malaria                                :   Chloroquin

-        DHF                                     :   Infus RL,

 

Penyulit :

-        Septik sjok

 

Lama perawatan :

1minggu

 

Unit terkait

RAWAT INAP, BP, PUSTU/POLINDES

 

 

 

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

 

 

Penanganan Demam Typhoid

 

 

 

 

 

 

Puskesmas Patikraja

SPO

No. Kode                  :  6/ 13/   013

 

Ditetapkan  Oleh Kepala Puskesmas Patikraja

 

 

 

 

 

 

 

Priyono,SKM.MM

NIP: 19590215 198012 1 007

Terbitan                    :01

No. Revisi                : 0        

Tgl. Mulai Berlaku  :1 Februari 2013.

Halaman                   : 1- 2                 

No. Kode                  : B/ VI/ BPU/ SPO/ 6/ 13/013.

 

1.      

Ruang Lingkup

Protap ini mencakup diagnosis dan penatalaksanaan Demam Typhoid

2.      

Tujuan

Memberikan penatalaksanaan yang menyeluruh pasien Demam Typhoid

3.      

Kebijakan

Berlaku untuk semua pasien.

4.      

Referensi

 

1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)

3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)

4. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)

5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)

6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)

7. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.htm (Center for Disease and Control, 2005)

-133-

8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)

9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)

10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)

11. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section 3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3. 117 (Anon., 2009)

 

5.      

Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapatterjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua.

2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal

3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah

4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia

5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.

 

Faktor Risiko

1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.

2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.

3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.

4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari-hari.

5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.

6. Kondisi imunodefisiensi.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.

2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)

3. Demam, suhu > 37,5oC.

4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.

5. Ikterus

6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis

7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali

8. Delirium pada kasus yang berat

Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut

1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).

2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen

 

Pemeriksaan Penunjang

1.  Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis

Dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia.

2. Serologi

a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)®

·  Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi

·  Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam

b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)

·  Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi

·  Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam

c. Tes Widal tidak direkomendasi

·  Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.

·  Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari.

·  Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment. 3. Kultur Salmonella typhi (gold standard)

Dapat dilakukan pada spesimen:

a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi

b. Feses : Pada minggu kedua sakit

c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit

d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carriertyphoid 4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase

 

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Suspek demam tifoid (Suspect case)

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

 

Demam tifoid klinis (Probable case)

Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.

 

Diagnosis Banding

Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A, sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses dalam, demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.

 

 

Komplikasi

Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.

1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)

 

Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.

2. Syok septik

 

Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.

3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)

 

Komplikasi perdarahan ditandai denganhematoschezia. Dapat juga diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut.

4. Hepatitis tifosa

 

Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.

5. Pankreatitis tifosa

 

Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.

6. Pneumonia

 

Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos toraks

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:

a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi

b. Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat.

d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas

e. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien

2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan gastrointestinal.

3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).

4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).

 

Tabel Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid

ANTIBIOTIKA

DOSIS

KETERANGAN

Kloramfeni-kol

Dewasa: 4x500 mg selama 10 hari

Anak 100 mg/kgBB/hari, per oral atau intravena, dibagi 4 dosis, selama 10-14 hari

Merupakan obat yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid

Murah dan dapat diberikan peroral serta sensitivitas masih tinggi

Pemberian PO/IV

Tidak diberikan bila lekosit <2000/mm3

Seftriakson

Dewasa: 2-4gr/hari selama 3-5 hari

Anak: 80 mg/kgBB/hari, IM atau IV, dosis tunggal selama 5 hari

Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak.

Pemberian PO/IV

 

 

 

Ampisilin & Amoksisilin

 

 

 

 

 

Kotrimok-sazole (TMP-SMX)

 

 

 

Kuinolon

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sefiksim

 

 

 

Thiamfenikol

 

 

 

 

 

 

Dewasa: (1.5-2) gr/hr selama 7-10 hari

Anak: 100 mg/kgbb/hari per oral atau intravena, dibagi 3 dosis, selama 10 hari.

 Dewasa: 2x(160-800) selama 7-10 hari

Anak: Kotrimoksazol 4-6 mg/kgBB/hari, per oral, dibagi 2 dosis, selama 10 hari.

Ciprofloxacin 2x500 mg selama 1 minggu

Ofloxacin 2x(200-400) selama 1 minggu

 

 

 

 

 

 

 

Anak: 20 mg/kgBB/hari, per oral, dibagi menjadi 2 dosis, selama 10 hari

Dewasa: 4x500 mg/hari

Anak: 50 mg/kgbb/hari selama 5-7 hari bebas panas

 

 

Aman untuk penderita hamil

Sering dikombinasi dengan kloramfenikol pada pasien kritis

Tidak mahal

Pemberian PO/IV 

Tidak mahal

Pemberian per oral

 

 

 

 

Pefloxacin dan Fleroxacin lebih cepat menurunkan suhu

Efektif mencegah relaps dan kanker

Pemberian peroral

Pemberian pada anak tidak dianjurkan karena efek samping pada pertumbuhan tulang

Aman untuk anak

Efektif

Pemberian per oral

 

Dapat dipakai untuk anak dan dewasa

Dilaporkan cukup sensitif pada beberapa daerah

6.      

Distribusi

 

7.      

Dokumen Terkait

1.  Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

2.  Kepala Puskesmas

 

 

8.   Rekaman Historis

No

Halaman

Yang dirubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

 No. ICPC-2 : P70 Dementia

No. ICD-10 : F03 Unspecified dementia

Tingkat Kemampuan 3A

 

Masalah Kesehatan

Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat kronik progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan sosial dan motivasi.

Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara primer dan sekunder mempengaruhi otak.

2. Tujuan

Semua pasien demensia yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.    KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.     Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993)

3.     Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)

4.     3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World Health Organization, 2010)

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Keluhan utama adalah gangguan daya ingat, mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami, dan kesulitan mempelajari informasi baru. Diawali dengan sering lupa terhadap kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama sendiri atau keluarga.

 

Faktor Risiko

  • Usia> 60 tahun (usialanjut).
  • Riwayat keluarga.
  • Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular (hipertensi, penyakit jantung), atau diabetes mellitus.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective)

Pemeriksaan Fisik

  1. Kesadaran sensorium baik.
  2. Penurunan dayaingat yang bersifat kronik dan progresif. Gangguan fungsi otak terutama berupa gangguan fungsi memori dan bahasa, seperti afasia, aphrasia, serta adanya kemunduran fungsi kognitif eksekutif.
  3. Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya gangguan neurologik atau penyakit sistemik

 

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika ada kecurigaan adanya kondisi medis yang menimbulkan dan memper berat gejala. Dapat dilakukan Mini Mental State Examination (MMSE).

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

 

Kriteria Diagnosis

  1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang
  2. Tidak ada gangguan kesadaran
  3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit enam bulan

 

Klasifikasi

  1. Demensia pada penyakit Alzheimer
  2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
  3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
  4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
  5. Demensia pada penyakit Huntington
  6. Demensia pada penyakit Parkinson
  7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
  8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (50-60%), disusul demensia vaskular (20-30%)

 

Diagnosis Banding

  1. Delirium
  2. Depresi
  3. Gangguan Buatan
  4. Skizofrenia

 

PenatalaksanaanKomprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Non farmakologi

  1. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik sederhana seperti senam otak, stimulasi kognitif dengan permintaan, kuis, mengisi teka-teki silang, bermain catur.
  2. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih nyaman dan aman bagi pasien.
  3. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari (mandi, makan, dan lain-lain) untuk mengoptimalkan aktivitas independen, meningkatkan fungsi, membantu adaptasi dan mengembangkan keterampilan, serta meminimalisasi kebutuhan akan bantuan.
  4. Ajarkan kepada keluarga agar dapat membantu mengenal barang milik pribadinya, mengenal waktu dengan menggunakan jam besar, kalender harian, dapat menyebutkan namanya dan anggota keluarga terdekat, mengenal lingkungan sekitar, beri pujian jika dapat menjawab dengan benar, bicara dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap saja), bila perlu gunakan isyarat atau sentuhan lembut.

 

Farmakologi

a.     Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil, galantamine dan rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk semua kasus demensia. Pertimbangkan pemberiannya hanya pada kondisi yang memungkinkan diagnosis spesifik penyakit Alzheimer ditegakkan dan tersedia dukungan serta supervisi adekuat oleh spesialis serta pemantauan efek samping oleh pelaku rawat.

b.     Bila pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik dosis rendah, seperti Haloperidol 0,5 – 1 mg/hari.

 

Kriteria Rujukan

  1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis dan penatalaksanaan lanjutan.
  2. Apabila pasien menunjukkan gejala agresifitas dan membahayakan dirinya atau orang lain.

 

Prognosis

Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad malam. Ad sanationam adalah ad malam.

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

DERMATITIS ATOPIK

 

SPO

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS I SUMBANG

 

 

 

 

 

Wahyanto, SKM.,M.Kes.

NIP.19650516 198803 1 104

1. Pengertian

No. ICPC-2 : S87 Dermatitis/atopic eczema

No. ICD-10 : L20 Atopic dermatitis

Tingkat Kemampuan Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 4A

Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berulang dan kronis dengan disertai gatal. Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak dan sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga atau penderita.

2. Tujuan

Pasien ditangani sesuai prosedur

3. Kebijakan

sk

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan gatal yang bervariasi lokasinya tergantung pada jenis dermatitis atopik (lihat klasifikasi).

Gejala dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk.

Pasien biasanya juga mempunyai riwayat sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.

 

Faktor Risiko

1. Wanita lebih banyak menderita DA dibandingkan pria (rasio 1,3 : 1).

2. Riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis atopik, dan lain-lain).

3. Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik.

4. Riwayat sensitif terhadap wol, bulu kucing, anjing, ayam, burung, dan sejenisnya.

 

Faktor Pemicu

1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan kacang tanah.

2. Tungau debu rumah

3. Sering mengalami infeksi di saluran napas atas (kolonisasi Staphylococus aureus)

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis

Kulit penderita DA:

1. Kering pada perabaan

2. Pucat/redup

3. Jari tangan teraba dingin

4. Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi predileksi

 

Lokasi predileksi:

1. Tipe bayi (infantil)

a. Dahi, pipi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai, serta lutut (pada anak yang mulai merangkak).

b. Lesi berupa eritema, papul vesikel halus, eksudatif, krusta.

2. Tipe anak

a. Lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian dalam, kelopak mata, leher, kadang-kadang di wajah.

b. Lesi berupa papul, sedikit eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi, erosi. Kadang-kadang disertai pustul.

3. Tipe remaja dan dewasa

a. Lipat siku, lipat lutut, samping leher, dahi, sekitar mata, tangan dan pergelangan tangan, kadang-kadang ditemukansetempat misalnya bibir mulut, bibir kelamin

b. Lesi berupa plak papular eritematosa, skuama, likenifikasi, kadang-kadang erosi dan eksudasi, terjadi hiperpigmentasi.

 

Berdasarkan derajat keparahan terbagi menjadi:

1. DA ringan : apabila mengenai < 10% luas permukaan kulit.

2. DA sedang : apabila mengenai 10-50% luas permukaan kulit.

3. DA berat : apabila mengenai > 50% luas permukaan kulit.

 

Tanpa penyulit (umumnya tidak diikuti oleh infeksi sekunder).

Dengan penyulit (disertai infeksi sekunder atau meluas dan menjadi rekalsitran (tidak membaik dengan pengobatan standar).

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria Williams (1994) di bawah ini.

Kriteria mayor:

1. Pruritus

2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

3. Dermatitis di fleksura pada dewasa

4. Dermatitis kronis atau berulang

5. Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

 

Kriteria minor:

1. Xerosis

2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau virus herpes simpleks)

3. Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis piliaris

4. Pitriasis alba

5. Dermatitis di papilla mamae

6. White dermogrhapism dan delayed blanch response

7. Kelilitis

8. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan

9. Konjungtivitis berulang

10. Keratokonus

11. Katarak subskapsular anterior

12. Orbita menjadi gelap

13. Muka pucat atau eritem

14. Gatal bila berkeringat

15. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak

16. Aksentuasi perifolikular

17. Hipersensitif terhadap makanan

18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi

19. Tes kulit alergi tipe dadakan positif

20. Kadar IgE dalam serum meningkat

21. Mulai muncul pada usia dini

 

Pada bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi menjadi:

1. Tiga kriteria mayor berupa: a. Riwayat atopi pada keluarga

b. Dermatitis pada muka dan ekstensor

c. Pruritus

 

2. Serta tiga kriteria minor berupa:

a. Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular

b. Fisura di belakang telinga

c. Skuama di scalp kronis

 

Diagnosis

Dermatitis seboroik (terutama pada bayi), Dermatitis kontak, Dermatitis numularis, Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), Sindrom Sezary, Dermatitis herpetiformis

Pada bayi, diagnosis banding, yaitu Sindrom imunodefisiensi (misalnya sindrom Wiskott-Aldrich), Sindrom hiper IgE

 

Komplikasi

1. Infeksi sekunder

2. Perluasan penyakit (eritroderma)

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu:

a. Menemukan faktor risiko.

b. Menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan termasuk pakaian seperti wol atau bahan sintetik.

c. Memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab.

d. Menjaga kebersihan bahan pakaian.

e. Menghindari pemakaian bahan kimia tambahan.

f. Membilas badan segera setelah selesai berenang untuk menghindari kontak klorin yang terlalu lama.

g. Menghindari stress psikis.

h. Menghindari bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor.

i. Pada bayi, menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh kencing atau feses, dan hindari pemakaian bahan-bahan medicatedbaby oil.

j. Menghindari pembersih yang mengandung antibakteri karena menginduksi resistensi.

2. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi diberikan dengan:

a. Topikal (2 kali sehari)

• Pada lesi di kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal, seperti: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama maksimal 2 minggu.

• Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%.

• Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal atau sistemik bila lesi meluas.

 

b. Oral sistemik

• Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.

• Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.

 

Konseling dan Edukasi

1. Penyakit bersifat kronis dan berulang sehingga perlu diberi pengertian kepada seluruh anggota keluarga untuk menghindari faktor risiko dan melakukan perawatan kulit secara benar.

2. Memberikan informasi kepada keluarga bahwa prinsip pengobatan adalah menghindari gatal, menekan proses peradangan, dan menjaga hidrasi kulit.

3. Menekankan kepada seluruh anggota keluarga bahwa modifikasi gaya hidup tidak hanya berlaku pada pasien, juga harus menjadi kebiasaan keluarga secara keseluruhan.

 

Rencana tindak lanjut

1. Diperlukan pengobatan pemeliharaan setelah fase akut teratasi. Pengobatan pemeliharaan dengan kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali sehari) dan penggunaan krim pelembab 2 kali sehari sepanjang waktu.

2. Pengobatan pemeliharaan dapat diberikan selama maksimal 4 minggu.

3. Pemantauan efek samping kortikosteroid. Bila terdapat efek samping, kortikosteroid dihentikan.

 

Kriteria Rujukan

1. Dermatitis atopik luas dan berat

2. Dermatitis atopik rekalsitran atau dependent steroid

3. Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk

4. Bila gejala tidak membaik dengan pengobatan standar selama 4 minggu

5. Bila kelainan rekalsitran atau meluas sampai eritroderma

 

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, dapat terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.

 

6. Diagram Alir

(bila perlu)

 

7. Unit terkait

Balai pengobatan

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

Puskesmas

KARANGGEDE

PENANGANAN DERMATITIS KONTAK ALERGIKA

SPO

 

No. Kode

:

 

Ditetapkan oleh Kepala UPTD puskesmas karanggede

 

 

 

 

dr Agung Budi P

NIP 196808082006041010

Terbitan

:

 

No. Revisi

:

 

Tgl. Mulai Berlaku

:

 

Halaman

:

 

 

10.          Definisi

Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi peradangan kulit imunologik karena reaksi hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen (fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung 2-3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa, periode hingga terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam (fase elisitasi). Alergen paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.

11.           Tujuan

1. Memberikan penatalaksanaan Dermatisis kontak alergik dengan benar

2. Menurunkan angka kejadian dermatitis kontak alergik dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari Dermatisis kontak alergik

 

12.           Kebijakan

Langkah-langkah dalam penanganan Dermatisis kontak alergik menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan

13.  Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

14.          Prosedur

5.  Memberikan penjelasan kepada pasien tentang Dermatisis kontak alergik dan cara pencegahannya dengan menghindari faktor resiko.

6.   Pemberian topikal steroid betametason valerat krim 0,1 % selama 2 minggu

7.   Pemberian obat oral antihistamin klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau loratadin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.

8.   Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal atau antibiotik sistemik bila lesi luas.

9.   Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari kontak.

 

15.          Ruang Lingkup

Puskesmas, Puskesmas Pembantu,  Poskesdes/ PKD, Posyandu

16.  7. Diagram alir

Anamnesa

Pemeriksaan fisik

Penegakan diagnosis

Penatalaksanaan

medikamentosa

Non medikamentosa

rujuk

                      

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

17.  6. Dokumen Terkait

-       Buku Rujukan

-       Form laporan insiden pada jam kerja

-       Buku register ruang tindakan

18.  7. Distribusi

Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan

 

 

 

Puskesmas

KARANGGEDE

PENANGANAN DERMATITIS KONTAK IRITAN

SPO

 

No. Kode

:

 

Ditetapkan oleh Kepala UPTD puskesmas karanggede

 

 

 

 

dr Agung Budi P

NIP 196808082006041010

Terbitan

:

 

No. Revisi

:

 

Tgl. Mulai Berlaku

:

 

Halaman

:

 

 

19.          Definisi

Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi peradangan kulit non-imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara langsung tanpa didahului oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya berhubungan dengan pekerjaan.

20.           Tujuan

1. Memberikan penatalaksanaan Dermatisis kontak iritan dengan benar

2. Menurunkan angka kejadian dermatitis kontak iritan dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari Dermatisis kontak iritan.

21.           Kebijakan

Langkah-langkah dalam penanganan Dermatisis kontak iritan menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan

22.  Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

23.          Prosedur

10.         Memberikan penjelasan kepada pasien tentang Dermatisis kontak iritan dan cara pencegahannya dengan menghindari faktor resiko.

11.          Pemberian topikal steroid betametason valerat krim 0,1 % selama 2 minggu

12.          Pemberian obat oral  loratadin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.

13.          Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab, serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja.

14.          Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal atau antibiotik sistemik bila lesi luas.

15.          Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari kontak.

 

24.          Ruang Lingkup

Puskesmas, Puskesmas Pembantu,  Poskesdes/ PKD, Posyandu

25.  7. Diagram Alir

 

Anamnesa

Pemeriksaan fisik

Penegakan diagnosis

Penatalaksanaan

medikamentosa

Non medikamentosa

rujuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


26.  8. Dokumen Terkait

-       Buku Rujukan

-       Form laporan insiden pada jam kerja

-       Buku register ruang tindakan

27.  9. Distribusi

Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan

 

 

 

Puskesmas

KARANGGEDE

PENANGANAN NAPKIN ECZEMA

SPO

 

No. Kode

:

 

Ditetapkan oleh Kepala UPTD puskesmas karanggede

 

 

 

 

dr Agung Budi P

NIP 196808082006041010

Terbitan

:

 

No. Revisi

:

 

Tgl. Mulai Berlaku

:

 

Halaman

:

 

 

28.          Definisi

Napkin eczema sering disebut juga dengan dermatitis popok atau diaper rash adalah dermatitis di daerah genito-krural sesuai dengan tempat kontak popok. Umumnya pada bayi pemakai popok dan juga orang dewasa yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini merupakan salah satu dermatitis kontak iritan akibat isi napkin (popok).

29.           Tujuan

1. Memberikan penatalaksanaan napkin eczema dengan benar

2. Menurunkan angka kejadian napkin eczema dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari napkin eczema

 

30.           Kebijakan

Langkah-langkah dalam penanganan napkin eczema menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan

31.  Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

32.          Prosedur

16.         Memberikan penjelasan kepada pasien tentang napkin eczema dan cara pencegahannya dengan menghindari faktor resiko.

17.          Pemberian topikal steroid hidrokortison 1-2,5% 2 kali sehari selama 3- 7 hari

18.          berikan antifungal nistatin sistemik 1 kali sehari selama 7 hari atau derivat azol topikal dikombinasi dengan zinc oxide diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.

19.          Bila gejala tidak menghilang setelah pengobatan standar selama 1 minggu, dilakukan: pengobatan dapat diulang 7 hari lagi dan pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang KOH atau Gram.

20.          Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak membaik dalam 2 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari kontak.

 

33.          Ruang Lingkup

Puskesmas, Puskesmas Pembantu,  Poskesdes/ PKD, Posyandu

34.  6. Diagram Alir

Anamnesa

Pemeriksaan fisik

Penegakan diagnosis

Penatalaksanaan

medikamentosa

Non medikamentosa

rujuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

35.  7. Dokumen Terkait

-       Buku Rujukan

-       Form laporan insiden pada jam kerja

-       Buku register ruang tindakan

36.  8. Distribusi

Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan

 

 

 

Puskesmas

KARANGGEDE

PENANGANAN DERMATITIS NUMULARIS

SPO

 

No. Kode

:

 

Ditetapkan oleh Kepala UPTD puskesmas karanggede

 

 

 

 

dr Agung Budi P

NIP 196808082006041010

Terbitan

:

 

No. Revisi

:

 

Tgl. Mulai Berlaku

:

 

Halaman

:

 

 

37.          Definisi

Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia.

Faktor resiko nya adalah riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit sebelumnya

38.           Tujuan

1. Memberikan penatalaksanaan dermatitis numularis dengan benar

2. Menurunkan angka kejadian dermatitis numularis dengan memberikan penjelasan faktor resiko dari dermatitis numularis

 

39.           Kebijakan

Langkah-langkah dalam penanganan dermatitis numularis menerapkan langkah SPO yang telah ditetapkan

40.  Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

41.          Prosedur

21.         Memberikan penjelasan kepada pasien tentang dermatitis numularis dan cara pencegahannya dengan menghindari faktor resiko.

22.          Pemberian topikal steroid betametason valerat krim 0,1 % selama 2 minggu

23.          Pemberian obat oral antihistamin klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.

24.          Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal atau antibiotik sistemik bila lesi luas.

25.          Dilakukan rujukan apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal standar dan diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi danatau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut.  

42.          Ruang Lingkup

Puskesmas, Puskesmas Pembantu,  Poskesdes/ PKD, Posyandu

43.  7. Diagram Alir

Anamnesa

Pemeriksaan fisik

Penegakan diagnosis

Penatalaksanaan

medikamentosa

Non medikamentosa

rujuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

44.  7. Dokumen Terkait

-       Buku Rujukan

-       Form laporan insiden pada jam kerja

-       Buku register ruang tindakan

45.  8. Distribusi

Seluruh unit-unit pelayanan dan tindakan kesehatan

 

 

DERMATITIS PERIORAL

 

SPO

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas + NIP

Pengertian

Erupsi eritematosa persisten yang terdiri dari papul kecil dan papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut.

Tujuan

Memberikan tatalaksana yang tepat pada pasien dengan diagnosa Dermatitis Perioral

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Prosedur

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis Erupsi eritematosa yang terdiri dari papul, papulopustul atau papulovesikel, biasanya tidak lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut, namun pada anak lesi dapat meluas ke perinasal atau periorbita.

 

Pemeriksaan Penunjang

Umumnya tidak diperlukan. Beberapa agen penyebab terlibat dalam patogenesis penyakit ini diantaranya penggunaan kosmetik dan glukokortikoid.

 

Penatalaksanaan

Untuk keberhasilan pengobatan, langkah pertama yang dilakukan adalah menghentikan penggunaan semua kosmetik dan kortikosteroid topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik dermatitis perioral memiliki kecenderungan  untuk bertahan, terutama jika pasien terbiasa menggunakan pelembab atau krim malam.

 

Dalam kasus resisten, dermatitis perioral membutuhkan farmakoterapi, seperti:

  1. Topikal

      a. Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali sehari

      b. Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali sehari

      c. Asam azelaik krim 20% atau gel 15%, dua kali sehari

      d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari selama 4 minggu

  2. Sistemik

      a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali sehari selama 3

          minggu. Jangan diberikan pada pasien sebelum usia

          pubertas. 

      b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3 minggu.

         Jangan diberikan pada pasien sebelum usia pubertas.

      c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4 minggu. Jangan

          diberikan pada pasien sebelum usia pubertas.

      d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari selama 4-6

          minggu

      e. Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari berturut-turut per

         minggu selama 4 minggu.

 

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Pada pasien yang menderita dermatitis perioral dalam waktu lama, pemeriksaan mikroskopis lesi dapat  disarankan untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri,  jamur atau adanya Demodex folliculorum.

 

Konseling dan Edukasi

Edukasi dilakukan terhadap pasien dan pada pasien anak edukasi dilakukan kepada orangtuanya. Edukasi berupa menghentikan pemakaian semua kosmetik, menghentikan pemakaian kortikostroid topikal. Eritema dapat terjadi pada beberapa hari setelah penghentian steroid.

 

Kriteria rujukan Pasien dirujuk apabila memerlukan

pemeriksaan mikroskopik atau pada pasien dengan gambaran klinis yang tidak biasa dan perjalanan penyakit yang lama.

Diagram Alir

 

Unit terkait

 

Rekaman

Historis

Perubahan

 

NO

YANG DIUBAH

ISI PERUBAHAN

TANGGAL MULAI DIBERLAKUKAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7.      Pengertian

 

8.      Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk pengobatan dermatitis

9.       Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No.188.4/ 1.1.1.1.2 /415.25.33/2015

10.   Referensi

Permenkes No 75 tahun 2014 tentang puskesmas

PMK No. 5 tahun 2014 tentang pengobatan dasar

11.   Langkah-Langkah

1.     Pasien dating dengan membawa rekam medis

2.     Pemeriksaan fisik pasien

3.     Pemeriksaan tanda-tanda vital

4.     Tanda gejala

1.       Ruam kulit bermacam-macam dengan batas tidak jelas.

2.       Bentuk ruam eritema (kemerahan) krusta (keropeng) vesikel (gelembung kecil berisi nanah) eksudasi (basah)

3.       Kadang-kadang oedem pada kelopak mata, skrotum/bibir

4.       Ruam terjadi di pipi, siku, lutut, tengkuk, pergelangan tangan dan kaki

5.     Penatalaksanaan

1.       Sismetik

Ø  Antihistamin klasik sedative misalnya klorfeniramin maleat untuk mengurangi gatal.

Ø  Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan antibiotic sistemik atau topical

2.       Topikal

Ø  Bila lesi akut/eksudatif kompres 2-3 x sehari 1-2 jam dengan larutan rivanol 0,1% atau NACL 0,9%

Ø  Krim Kortikosteroid potensi sedang atau rendah, 1-2x sehari sesudah mandi, sesuai dengan keadaan lesi, bila sudah membaik dapat diganti dengan potensi yang lebih rendah

 

Kortikosteroid potensi rendah                : krim hidrokortison 1% - 2,5%

Kortikosteroid potensi sedang                : krim betametason 0,1%

Ø  Pada kulit kering dapat dibelikan emolien / pelembab segara sesudah mandi

Ø  .

6.   Pencatatan pada buku rekam medis

 

  1. Bagan Alir

 

Pasien datang

Pemeriksaan fisik pasien

 

 

 

 

 

 

 

 


Pasien mengambil obat

 

Penatalaksanaan

 

Klasifikasi tekanan darah

Tanda dan Gejala

 

Pemeriksaan tanda-tanda vital

  1. Unit Terkait

Poli Lansia, Poli 2

 

 

 

DERMATITIS SEBOROIK

 

SPO

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS I SUMBANG

 

 

 

 

 

Wahyanto, SKM.,M.Kes.

NIP.19650516 198803 1 104

1. Pengertian

No. ICPC-2 : S86 Dermatitis seborrhoeic

No. ICD-10 : L21 Seborrhoeic dermatitis

Tingkat Kemampuan 4A

Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi di tempat-tempat kelenjar sebum).

2. Tujuan

Pasien ditangani sesuai prosedur

3. Kebijakan

sk

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal.

Faktor Risiko

Genetik, faktor kelelahan, stres emosional , infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, kurang tidur

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis

1. Papul sampai plak eritema

2. Skuama berminyak agak kekuningan

3. Berbatas tidak tegas

 

Lokasi predileksi

Kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah angogenital

 

Bentuk klinis lain

Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor, dan berbau (cradle cap).

 

Pemeriksaan Penunjang

Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

 

Diagnosis Banding

Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit disekitarnya), Otomikosis, Otitis eksterna.

 

Komplikasi

Pada anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.

2. Farmakoterapi dilakukan dengan:

a. Topikal

Bayi:

• Pada lesi di kulit kepala bayi diberikan asam salisilat 3% dalam minyak kelapa atau vehikulum yang larut air atau kompres minyak kelapa hangat 1 kali sehari selama beberapa hari.

• Dilanjutkan dengan krim hidrokortison 1% atau lotion selama beberapa hari.

• Selama pengobatan, rambut tetap dicuci.

Dewasa:

• Pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition (shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor carbonis detergent) 2-5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari.

• Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama maksimal 2 minggu.

• Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim 0,1%.

• Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2%.

 

 

b. Oral sistemik

 

• Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 2 minggu, setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2 minggu.

• Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mgselama maksimal 2 minggu.

 

Konseling dan Edukasi

1. Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat kulit kepala bayi.

2. Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia.

3. Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya.

 

Kriteria Rujukan

Pasien dirujuk apabila tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar.

 

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, sembuh tanpa komplikasi.

6. Diagram Alir

(bila perlu)

 

7. Unit terkait

Balai pengobatan

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

DERMATOFITOSIS

 

 

SOP

 

 

No. Dokumen :

No. Revisi       :

TanggalTerbit:

Halaman         :

Puskesmas

 

I Kembaran

 

 

 

 

 

NamaKepalaPuskesmas

 

drg. Tri Handa

PENGERTIAN

Dermatofitosisadalahinfeksijamurdermatofita yang memilikisifatmencernakan keratin di  jaringan yang mengandungzattanduk, misalnya stratum korneumpada epidermis, rambut, dan kuku.

Penularanterjadimelaluikontaklangsungdenganagenpenyebab. Sumberpenularandapatberasaldarimanusia (jamurantropofilik), binatang (jamurzoofilik) ataudaritanah (jamurgeofilik).

Klasifikasidermatofitosis

1. Tineakapitis, dermatofitosispadakulitdanrambutkepala. 

2. Tineabarbae, dermatofitosispadadagudanjenggot.

3. Tineakruris, padadaerahgenitokrural, sekitar anus, bokong,

danperutbagianbawah.

4. Tineapedis et manum, pada kaki dantangan.

5.  Tineaunguium, pada kuku jaritangandan kaki.

6.  Tineakorporis, padabagian lain yang tidaktermasukbentuk

     5 tinea di atas. Bilaterjadi di seluruhtubuhdisebutdengan

tineaimbrikata.

FaktorRisiko

1.  Lingkungan yang lembabdanpanas

2.  Imunodefisiensi

3.  Obesitas

4.  Diabetes Melitus

TUJUAN

Memberikan tata laksana yang tepat pada pasiendermatofitosis.

 

KEBIJAKAN

 

REFERENSI

1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. IlmuPenyakitKulitdanKelamin. Edisikeenam. Jakarta. BalaiPenerbitFakultasKedokteranUniversitas Indonesia. 

2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. SaundersElsevier. 

3.PerhimpunanDokterSpesialisKulitdanKelamin.2011.PedomanPelayananMedik. Jakarta.

PROSEDUR

 Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Padasebagianbesarpasiendatangdenganbercakmerahbersisik yang gatal. Adanyariwayatkontakdengan orang yang mengalamidermatofitosis.

HasilPemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana (Objective)

PemeriksaanFisik

Gambaranumum:

Lesiberbentukinfiltrateritematosa, berbatastegas, denganbagiantepi yang lebihaktifdaripadabagiantengah, dankonfigurasipolisiklik.

Lesidapatdijumpai di daerahkulitberambut terminal,berambutvelus (glabrosa) dan kuku. 

PemeriksaanPenunjang

PemeriksaanmikroskopisdenganKOH, akanditemukanhifapanjangdanartrospora.  

Diagnosis (Assessment)

Dermatofitosis

 

 

 

Diagnosis Banding

TineaKorporis:

Dermatitis  numularis,  Pytiriasisrosea, Erythema annularecentrificum, Granuloma annulare

TineaKruris:

Kandidiasis, Dermatitis intertrigo, Eritrasma

TineaPedis:

Hiperhidrosis, Dermatitis kontak, Dyshidrotic eczema

TineaManum:

Dermatitis kontakiritan, Psoriasis

TineaFasialis:

Dermatitis seboroik, Dermatitis kontak

Komplikasi

Jarangditemukan, dapatberupainfeksibakterialsekunder.

PenatalaksanaanKomprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.  Higienediriharusterjaga, danpemakaianhanduk/pakaiansecarabersamaanharusdihindari.

2.  Untuklesiterbatas, diberikanpengobatantopikal, yaitudengan:

antifungaltopikalsepertikrimklotrimazol, mikonazol, atauterbinafin yang diberikanhinggalesihilangdandilanjutkan 1-2minggukemudianuntukmencegahrekurensi.

3.  Untukpenyakit yang tersebarluasatauresistenterhadapterapitopikal, dilakukanpengobatansistemikdengan: 

a. Griseofulvindapatdiberikandengandosis 0,5-1 g  per hari

untuk orang dewasadan 0,25    0,5 g  per hariuntukanak-

anakatau 10-25 mg/kgBB/hari, terbagidalam 2 dosis.

b.  Golonganazol, sepertiKetokonazol: 200 mg/hari;

 Itrakonazol:100 mg/hariatauTerbinafin: 250 mg/hariPengobatandiberikanselama 10-14 haripadapagiharisetelah

makan. 

KonselingdanEdukasi

·       Edukasimengenaipenyebabdancarapenularanpenyakit.

·       Edukasipasiendankeluargajugauntukmenjagahigienetubuh, namunpenyakitinibukanmerupakanpenyakit yang berbahaya.

Kriteriarujukan

Pasiendirujukapabila:

1.  Penyakittidaksembuhdalam 10-14 harisetelahterapi.

2.  Terdapatimunodefisiensi. 

3.  Terdapatpenyakitpenyerta yang menggunakanmultifarmaka.

Prognosis

Pasiendenganimunokompeten, prognosis umumnyabonam,sedangkanpasiendenganimunokompromais, quo ad sanationamnyamenjadidubiaadbonam.

UNIT TERKAIT

Ruang pengobatan umum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS WONOSOBO I

DIARE AKUT

SPO

No Kode

:

 

Disahkan oleh

Kepala Puskesmas Wonosobo 1

Terbitan

:

 

 

No. Revisi

:

 

 

Tgl. Mulai

:

 

 

Berlaku

:

 

 

Halaman

:

2 halaman

Dr.H.R. Danang Sananto S

NIP: 19691206 200701 1 009

 

TUJUAN

Tata laksana diare yang cepat dan dapat mencegah kehilangan cairan dan elektrolit yang membahayakan dan mencegah masalah gizi pada anak.

KEBIJAKAN

Prinsip penatalaksanaan diare yang utama adalah rehidrasi.

DEFINISI

Diare akut adalah buang air besar lembek/cair konsistensinya encer,lebih sering dari biasanya disertai berlendir,bau amis, berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 7 hari.

PROSEDUR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6.     Perawat memanggil pasien

7.     Perawat menyapa pasien dan atau keluarganya

8.     Perawat mempersilahkan pasien duduk

9.     Perawat menanyakan keluhan pasien

10.  Perawat melakukan anamnesa, meliputi :

10.1.                Berapa kali BAB dalam 1 hari?

10.2.                Apakah diserati lendir ?

10.3.                Apakah konsistensi BAB encer?

10.4.                Apakah pasien haus?

10.5.                Mulai kapan pasien merasakan keluhan ?

10.6.                Apakah mengalami keluhan lain ?

11.  Perawat melakukan Vital Sign yang meliputi

11.1.                Tekanan Darah

11.2.                Suhu

11.3.                Nadi

11.4.                Respiratory

12.  Perawat mencatat hasil anamnesa dan vital sign di rekam medis pasien

13.  Perawat memberikan catatan rekam medis kepada dokter

14.  Dokter memeriksa :

Anamnesis:

14.1.                Sudah berapa lama diare berlangsung, berapa kali sehari, warna dan konsistensi tinja, lendir dan/ darah dalam tinja, muntah, anak lemah, kesadaran menurun, rasa haus, rewel, kapan terakhir kencing, suhu badan

14.2.   Jumlah cairan yang masuk selama diare

14.3.   Anak minum ASI/PASI, apakah anak makan makanan yang tidak biasa, apakah ada yang menderita diare di sekitarnya dari mana sumber air minum

Pemeriksaan fisik:

14.4.   Perhatikan tanda utama: kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen.

14.5.   Perhatikan tanda tambahan: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah.

14.6.   Timbang BB

14.7.   Penilaian dehidrasi penderita diare :

14.7.1.          Tanpa dehidrasi ( kehilangan cairan < 5% berat badan ) :

4.7.1.1          Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan

4.7.1.2          Keadaan umum baik, sadar

4.7.1.3          Tanda vital dalam batas normal

4.7.1.4          Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, airmata ada, mukosa mulut dan bibir basah

4.7.1.5          Turgor abdomen baik, bising usus normal

4.7.1.6          Akral hangat

4.7.1.7          Pasien dapat dirawat di rumah kecuali bila terdapat komplikasi lain ( tidak mau minum, muntah terus, diare yang frekuen)

14.7.2.          Dehidrasi ringan ( kehilangan cairan 5-10 % berat badan ):

4.7.2.1          Bila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2atau lebih tanda tambahan

4.7.2.2          Keadaan umum gelisah/cengeng

4.7.2.3          Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, airmata kurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering

4.7.2.4          Turgor menurun

4.7.2.5          Akral hangat

4.7.2.6          Pasien harus dirawat inap

 

14.7.3.          Dehidrasi berat (kehilangan cairan tubuh >10% berat badan):

4.7.3.1          Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau lebih tanda tambahan

4.7.3.2          Keadaan umum lemah, letargi atau koma

4.7.3.3          Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, airmata tidak ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering

4.7.3.4          Turgor buruk

4.7.3.5          Akral dingin

14.8.                Pasien harus rawat inap

14.9.   Langkah promotif /preventif

14.9.1.           

14.10.             Langkah kuratif

15.  Dokter mencatat hasil dan menuliskan resep di rekam medis pasien

16.  Dokter menulis obat di lembar resep :

16.1.1.          Tidak boleh diberikan obat anti diare

16.1.2.          Pemberian cairan: per oral ( cairan rumah tangga, oralit)

5.2.2.1          Pemberian cairan disesuaikan derajat dehidrasi

Ãœ  Tanpa dehidrasi : cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan sesuai usia setiap kali BAB atau muntah dengan dosis:  kurang dari 1 tahun : 50-100 cc, 1–5 tahun                  : 100 - 200 cc, > 5 tahun : semaunya

Ãœ  Dehidrasi tidak berat (ringan-sedang)       

Ãœ  Rehidrasi dengan oralit 75 cc/kgBB dalam 3 jam pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung sesuai umur seperti diatas tiap kali BAB

Ãœ  Dehidrasi berat : rujuk rumah sakit

5.2.2.2          Antibiotik diberikan sesuai hasil pemeriksaan laboratorium (bila ada indikasi), bila tidak memungkinkan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan penyebab maka adanya darah dalam tinja (bentuk disentri) bisa dijadikan indikasi pemberian antibiotik (sebagai pilihan : kotrimoxazol, amokcisillin), anti parasit : metronidazol

5.2.2.3          Nutrisi : anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedkit-sedkit tapi sering (± 6x sehari), rendah serat, buah-buahan dierikan terutama pisang.

17.  Dokter menyarankan pasien

17.1.1.          Upayakan ASI tetap diberikan

17.1.2.          Kebersihan perorangan, lingkungan

17.1.3.          Imunisasi campak

17.1.4.          Memberikan makanan penyapihan yang benar

17.1.5.          Penyediaan air minum yang bersih

17.1.6.          Selalu memasak makanan yang benar

18.  Dokter memberikan resep kepada pasien

19.  Dokter mempersilahkan pasien untuk mengambil obat di Ruang Obat

 

REFERENSI

Buku Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

UNIT TERKAIT

1.       Pendaftaran

2.       Ruang Obat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UPTD PUSKESMAS

NGAWI

 

SOP DIARE NON-SPESIFIK

 

 

 

 

 

NO. DOKUMEN

 

 

 

 

NO. REVISI

-

 

HALAMAN

1-3

 

PROSEDUR TETAP

 

TANGGAL TERBIT : 2 Januari 2014

 

Tim penyusun :

1.         Widodo,S.Kep.Ns

2.         Endang Setyowati,S.Kep.Ns

 

 

Ditetapkan di : Ngawi, 1 Januari 2014

Kepala Puskesmas Ngawi

 

 

 

 

 

 

dr. SITI AGUSTINNINGSIH

NIP. 19720830 200501 2 012

Pengertian

ü Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lain.

ü Diare akut adalah buang air besar atau lembek/cair konsistensinya encer, lebih sering dari biasanya disertai berlendir, bau amis,berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekwensinya lebih sering dari biasanya.

ü Diae non spesifik adalah diarae yang bukan disebabkan oleh uman kusus aupun parasit.

 

Tujuan

Penatalaksanaan kasus diare sesuai standar therapy di puskesmas.

 

Kebijakan

Penerapan standar  therapy di Puskesmas.

 

Penyebab

Penyebabnya adalah virus, makanan yang merangsang atau yang tercemar toksin, gangguan pencernaan dan sebagainya.

 

Gambaran Klinis

ü  Demam yang sering menyertai penyakit ini memperberat dehidrasi.

ü  Gejala dehidrasi tidak akan terlihat sampa mencapai kehilanagn 4-5% dari BB.

ü  Gejala dan tanda dehidrasi antara lain ;

§  Rasa haus, mulut dan bibir kering.

§  Menurunnya turgar kulit.

§  Menurunnya berat badan, hypotensi, lemah otot.

§  Sesak nafas, gelisah.

§  Mata cekung, air mata tidak ada.

§  Oliguri kemudian anuria.

§  Menurunnya kesadaran, mengantuk.

ü  Bila kekurangan cairan mencapai 10% atau lebih penderita jatuh ke dalam dehidrasi berat dan bila berlanjut dapat terjadi syok dan kematian.

 

Diagnosis

Ditentukan dari gejala buang air besar berulang kali lebih seringdari biasanyadengan konsistensinya yang lembek dan cair.

 

Penatalaksanaan

WHO telah menetapkan unsur utama dalam penangulangan diare akut yaitu ;

ü  Pemberian cairan, berupa upaya rehidrasi oral ( URO ) untuk mencegah maupun mengobati dehidrasi.

ü  Melanjutkan makanan seprti biasa, teruama ASI, selama diare dan dalam masa penyembuhan.

ü  Tudak menggunakan antidiare, sementara antibiotik maupun antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera, disentri, atau terbukti giardiasis atau amubiasis.

ü  Pemberian petunjuk yang efektif bagi ibu dan anak serta beserta keluarganya tentang upaya dehirasi oral di rumah, tanda-tanda merujuk dan cara mencegah diare di masa yang akan datang.

Dasarpengobatan diare akut adalah rehidrasi dan memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu langkah pertama adalah di tentukan derajat dehidrasi :

1.       Terapi A ( dihidrasi tanpa dehidrasi )

§  Berikan cairan ( air tajin, larutan garam gula, oralit ) sebanyak yan diinginkan hingga diare stop, sebagai petunjuk berikan setiap habis BAB>

§  Anak < 1 thn : 50-100 ml

§  Anak 1-4 thn : 100-200 ml

§  Anak > 5 thn : 200-300 ml

§  Dewasa : 300-400 ml

§  Meneruskan pemberian makanan atau ASI bagi bayi

2.       Terapi B ( diare dengan dehidrasi ringan-sedang )

§  Oralit diberikan 75 ml/kg dalam 3 jam, janagn dengan botol.

§  Jika anak muntah ( karena pemberian cairan terlalu cepat ), tunggu 5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan pemberian lebih lambat ( satu sendok setiap 2-3 menit ).

3.       Terapi C ( diare dengan diare berat )

§  Di berikan RL 100ml yang terbagi dalam beberapa waktu

§  Setiap 1-2 jam pasien di periksa ulang, jika hidrasi tidak membaik tetesan diperceat. Setelah 6 jam ( bayi ) atau setiap 3 jam ( pasien lebih tua ) pasien kembali di periksa.

 

Pemberian zinc pada kasus diare pada anak anak dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah diare selama 3 bulan ke depan. Zinc mempercepat penyembuhan epithel usus yang luka atau terkoyak selam terjadinya diare.

  • Bayi > 6 bulan zinc 10 mg selama 10 hari berturut-turut.
  • Bayi dan anak < 6 bulan zinc 20m selama 10 hari berturut-turut.



  

output

Tata laksana diare non-spesifik sesuai standar therapy Puskesmas.

 

Daftar Pustaka

Departemen kesehatan RI, 2007, Pedoman Pengobtan Dasar di Puskesmas

2007, cetakan tahun 2008, Depkes RI, Jakarta.

 

 

 

PUSKESMAS II KEMRANJEN

 

 

 

Dr.M.Amir Fuad

NIP 19600217 198309 1 001

1. Pengertian

No. ICPC-2 : D70 Gastrointestinalinfection

No. ICD-10 : A06.0 Acuteamoebicdysentery

Tingkat Kemampuan 4A

 

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain.

Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri disentri basiler yang disebabkan oleh shigellosis dan amoeba (disentri amoeba).

 

2. Tujuan

Semua disentri basiler dan disentri amubayang datang ke Puskesmas II Kemranjen mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan buang air besar encer secara terus menerus bercampur lendir dan darah

2. Muntah-muntah

3. Sakit kepala

4. Bentuk yang berat (fulminatingcases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriaedengan gejalanya timbul mendadak dan berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.

 

Faktor Risiko

Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.

 

PemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana (Objective)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:

1. Febris

2. Nyeri perut pada penekanan di bagian sebelah kiri

3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi

4. Tenesmus

 

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding

1. Infeksi Eschericiae coli

2. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive(EIEC)

3. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik(EHEC)

 

Komplikasi

1. Haemolyticuremicsyndrome (HUS)

2. Hiponatremia berat

3. Hipoglikemia berat

4. Komplikasi intestinal seperti toksikmegakolon, prolapsrektal, peritonitis dan perforasi

 

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Mencegah terjadinya dehidrasi

2. Tirah baring

3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral

4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat diberikan cairan melalui infus

5. Diet, diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.

6. Farmakologis:

a. Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari

pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotik diganti dengan jenis yang lain.

 

b. Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal Fluorokuinolon seperti Siprofloksasin atau makrolidAzithromisin ternyata berhasil baik untuk pengobatan disentri basiler. Dosis Siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan Azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian Siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita hamil.

 

c. Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriaetipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotik yang dianjurkan dalam pengobatan stadium karier disentribasiler.

d. Untuk disentri amuba diberikan antibiotik Metronidazol 500mg 3x sehari selama 3-5 hari

 

Rencana Tindak Lanjut

Pasien perlu dilihat perkembangan penyakitnya karena memerlukan waktu penyembuhan yang lama berdasarkan berat ringannya penyakit.

 

Konseling dan Edukasi

1. Penularan disentri amuba dan basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi serta penggunaan jamban yang bersih.

2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah penularan dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih.

3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.

 

Kriteria Rujukan

Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat intensif dan konsultasi ke pelayanan kesehatan sekunder (spesialis penyakit dalam).

 

Peralatan

Laboratorium untuk pemeriksaan tinja

 

Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya prognosis dubiaadbonam.

6. Diagram Alur

-

7. Unit terkait

Balai Pengobatan,Rawat Inap,Labolatorium,KIA

 

 

8.Rekaman HistorisPerubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggalmulaidiberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

UPTD

PUSKESMAS

SELOMERTO 1

DISLIPIDEMIA

Disahkan oleh

Kepala PuskesmasSelomerto 1

 

 

 

DrSumanto

NIP.196409092002121001

SPO

No. Kode

:

Terbitan

:

No. Revisi

:

Tgl. MulaiBerlaku

: 1 Mei 2013

Halaman

: 1/2

 

1.   Tujuan

Agar dapat mendiagnosa dan memberikan terapeutk pada pasien dislipidemia

2.   Kebijakan

Sebagai pedoman dalam mendiagnosa dan memberikan terapeutik pada pasien dislipidemia.Dalam mendiagnosa dan memberikan terapeutik pada pasien dislipidemia harus mengikuti langkah langkah SPO Dislipidemia

3.   RuangLingkup

Puskesmas Selomerto 1

4.   Definisi

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan satu atau lebih fraksi lipid dalam darah.Beberapa fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total ,kolesterol LDL, dan atau trigliserida,serta penurunan kolesterol HDL.

5.   Prosedur

1.     Petugas menerima pasien

2.     Petugas mengidentifikasi pasien

3.     Petugas menganamnesa pasien,apakah petugas merasa sering pusing,merasa badannya linu-linu,pasien merasa kegemukan,pasien merasa cepat lelah

4.     Petugas mencuci tangan 7 langkah

5.     Petugas memeriksa tanda-tanda vital pasien,tensi,suhu,nadi,pernafasan

6.     Petugas melakukan pemeriksaan fisik pasien,pemeriksaan antropometri  ( lngkar perut dan IMT/Indeks Massa Tubuh) dan tekanan darah.

Cara pengukuran IMT (kg/m2)=BB (kg) / TB2 (m)

7.     Petugas mengirimkan permintaan laboratorium pasien untuk dilakukan pemeriksaan kadar cholesterol total,kadar cholesterol LDL,kadar cholesterol HDL,dan Trigliserida

8.     Petugas membaca hasil laboratorium dimana terdapat semua atau salah satu hasil pemeriksaan yang tidak normal

9.     Petugas menegakkan diagnosa dengan anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

10.  Petugas melakukan terapi pada pasien

-       non farmakologis

 Modifikasi diet,latihan jasmani,pengelolaan berat badan

 Latihan fisik dilakukan selama 150 menit per minggu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pasien

-farmakologis

Terapicairan, diberikancairan RL/asering/D5 sesuaikebutuhanpasien

 Hipertrigliserida ,diberikan asam fibrat (gemfibrozil 2x 600   mg/hr,fenofibrat 1x 160 mg/hr

Hipercholesterolemia ,diberikan dengan golongan statin (simvastatin 10 mg ,1x1/hari malam hari)

11.  Petugas memberikan resep kepada keluargapasien untuk mengambil obat di apotek puskesmas

12.  Petugas mencuci tangan 7 langkah

13.  Petugasmendokumentasikantindakan

 

6.   Diagram Alir

Petugas mencuci tangan 7 langkah

 

Petugas memeriksa tanda-tanda vital pasien

Petugas melakukan pemeriksaan fisik pasien

Petugas mengirimkan permintaan laboratorium pasien

Petugas menegakkan diagnosa dengan anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

Petugas melakukan terapi pada pasien

 

Petugas memberikan resep kepada keluargapasien untuk mengambil obat di apotek puskesmas

Petugas membaca hasil laboratorium

Petugas mencuci tangan 7 langkah

 

Petugas menganamnesa pasien

Petugas mengidentifikasi pasien

Petugas menerimapasien

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


                             

Petugasmendokumentasikantindakan

 

 

 

 


7.   Referensi

Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Di fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer,2013

8.    DokumenTerkait

Catatan medik,buku registrasi rawat jalan,buku registrasi rawat inap

9.    Distribusi

BP Umum,Rawat inap puskesmas Selomerto 1

 

10. Rekamanhistorisperubahan

No

Yang dirubah

Isi Perubahan

Tgl.mulaidiberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

UPTD

PUSKESMAS

SELOMERTO 1

DISLIPIDEMIA

 

 

DAFTAR TILIK

 

No. Kode

:

Terbitan

:

No. Revisi

:

Tgl. MulaiBerlaku

:

Halaman

: 1/1

 

 

No

Langkah Kegiatan

Ya

Tidak

Tidak Berlaku

1.     

Apakah

Petugas menerima pasien ?

 

 

 

2.     

Apakah

Petugas mengidentifikasi pasien?

 

 

 

3.     

Apakah

Petugas menganamnesa pasien,apakah petugas merasa sering pusing,merasa badannya linu-linu,pasien merasa kegemukan,pasien merasa cepat lelah?

 

 

 

4.     

Apakah

Petugas mencuci tangan 7 langkah?

 

 

 

5.     

Apakah

Petugas memeriksa tanda-tanda vital pasien,tensi,suhu,nadi,pernafasan?

 

 

 

6.     

Apakah

Petugas melakukan pemeriksaan fisik pasien,pemeriksaan antropometri  ( lngkar perut dan IMT/Indeks Massa Tubuh) dan tekanan darah?

 

 

 

7.     

Apakah

Petugas mengirimkan permintaan laboratorium pasien untuk dilakukan pemeriksaan kadar cholesterol total,kadar cholesterol LDL,kadar cholesterol HDL,dan Trigliserida?

 

 

 

8.     

Apakah

Petugas membaca hasil laboratorium dimana terdapat semua atau salah satu hasil pemeriksaan yang tidak normal?

 

 

 

9.     

Apakah

Petugas menegakkan diagnosa dengan anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang?

 

 

 

10.           

Apakah

Petugas melakukan terapi pada pasien?

 

 

 

11.  

Apakah

Petugas memberikan resep kepada keluargapasien untuk mengambil obat di apotek puskesmas?

 

 

 

12.  

Apakah

Petugas mencuci tangan 7 langkah?

 

 

 

13.  

Apakah

Petugasmendokumentasikantindakan?

 

 

 

                                                                                                               

CR: …………………………………………%.

Selomerto,………………………

Pelaksana/ Auditor

 

 

 

(………………………)

 

DISPEPSIA

 

 

SOP

No. Dokumen    :  PM/PKBM3/PDF/001

No. Revisi           : -

Tanggal Terbit   : 15 Mei 2016

Halaman             : 1/3

PUSKESMAS KEBUMEN III

 

H.Tri Tunggal E.S.,SKM.MPH

NIP. 197201051994031006

 

1.PENGERTIAN

Dispepsia adalah sekumpulan gejala berasal dari regio gastroduodenum yang berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar, rasa penuh setelah makan, perasaan cepat kenyang yang dapat terjadi terus menerus atau kambuh – kambuhan.

2.TUJUAN

 

3.KEBIJAKAN

 

4.REFERENSI

Dojoningrat dharmika. Dispepsia fungsional. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi V. Jakarta pusat: penerbita departemen ilmu penyakit dalam FKUI, 2006. Hal 916

5.PROSEDUR

1.       Petugas melakukan anamnesis (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat alergi, dan riwayat keluarga).

2.       Petugas melakukan pemeriksaan vital sign yang diperlukan sesuai indikasi.

3.       Petugas melakukan pemeriksaan fisik yang diperlukan sesuai indikasi.

4.       Jika ada indikasi, petugas melakukan pemeriksaan penunjang.

5.       Petugas menegakkan diagnosis dan atau diagnosis banding berdasarkan anamnesa, pemeriksaan vital sign, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan).

6.       Petugas menentukan klasifikasi diagnosis berdasarkan:

kriteria roma III, dispepsia fungsional adalah terdapat satua tau lebih dari gejala:

a.       rasa penuh (kekenyangan) setelah makan

b.        perasaan cepat kenyang

c.       nyeri ulu hati

d.       rasa terbakar di uluhati.

7.       Petugas memberikan terapi sesuai dengan diagnose yang ditegakkan.

8.       Bila ada indikasi dispepsia  dengan penyakit penyerta/indikasi khusus, petugas memberikan terapi sesuai indikasi khusus tersebut.

9.       Petugas memberika edukasi kepada pasien dan atau keluarganya tentang modifikasi gaya hidup.

10.   Jika ada indikasi, petugas melakukan rujukan ke unit pelayanan lainnya.

11.   Petugas menyerahkan resep kepada pasien untuk diserahkan ke unit farmasi.

12.   Petugas mendokumentasikan semua hasil anamnesis, pemeriksaan, diagnosa, terapi, rujukan yang telah dilakukan ke dalam rekam medis pasien.

13.   Petugas menyerahkan rekam medis ke petugas simpus dan P-care untuk dientry.

14.   Petugas mendokumentasikan hasil anamnesis, pemeriksaan, diagnosa, terapi, rujukan yang sudah tercatat ke dalam rekam medis ke aplikasi simpus dan P-care.

6. UNIT TERKAIT

Unit Ruang BP Umum

 

 

7.    REKAMAN HISTORIS PERUBAHAN

No

Yang Dirubah

Isi Perubahan

Tgl. Mulai Diberlakukan

1

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

 

 

 

JUDUL SOP (CALIBRI 12)

 

 

SOP

No. Dokumen    :  PM/PKBM3/PDF/001

No. Revisi           :  -

Tanggal Terbit   :  15 Mei 2016

Halaman             :  2/3

 

 

1.    REKAMAN HISTORIS PERUBAHAN

No

Yang Dirubah

Isi Perubahan

Tgl. Mulai Diberlakukan

1

 

 

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

 

 

3

 

 

 

 

 

 

 

4

 

 

 

 

 

 

 

5

 

 

 

 

 

 

 

6

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JUDUL SOP (CALIBRI 12)

 

 

DAFTAR TILIK

No. Dokumen    : PM/PKBM3/PDF/001

No. Revisi           : -

Tanggal Terbit   : 15 Mei 2016

Halaman             : 3/3

 

No

KEGIATAN

YA

TIDAK

TIDAK BERLAKU

1.

 

 

 

 

2.

 

 

 

 

3.

 

 

 

 

4.

 

 

 

 

5.

 

 

 

 

6.

 

 

 

 

7.

 

 

 

 

8.

 

 

 

 

9.

 

 

 

 

10.

 

 

 

 

11.

 

 

 

 

12.

 

 

 

 

13.

 

 

 

 

14.

 

 

 

 

15.

 

 

 

 

16.

 

 

 

 

17.

 

 

 

 

18.

 

 

 

 

19.

 

 

 

 

Jumlah

 

 

 

Compliance rate (CR) = 

 

 

                                                                                                                 ………………………………

                                                                                                                                                Pelaksana/ Auditor

 

 

 

 

 

UPTD

PUSKESMAS

SELOMERTO 1

DIABETES MELITUS

Disahkan oleh Kepala Puskesmas Selomerrto 1

 

 

dr.Sumanto

NIP. 196409092002121001

SPO

No. Kode

:

Terbitan

:

No. Revisi

:

Tgl. MulaiBerlaku

: 1 Mei 2013

Halaman

: 1/3

 

1.   Tujuan

Agar petugasdapat menegakkan diagnosis diabetes melitus(DM) dan melakukan pengobatan dan penyuluhan untuk pencegahan diabetes melitus.

2.   Kebijakan

Sebagaipedomanbagipetugasuntukmendiagnosadanmengobatipasien.

3.   RuangLingkup

PoliumumPuskesmasSelomerto 1

4.   Definisi

Diabetes melitus  adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, saraf, ginjal dan pembuluh darah.

5.   Prosedur

a.     Petugasmemanggilpasiensesuainomorurut.

b.     Petugasmenulisidentitaspasien di buku register

c.     Petugasmelakukananamnesapadapasienapakahpasienmengeluhkan gejala klasik DM yang berupa poliuria (sering kencing), polidipsi (sering haus) dan polifagi (serng lapar).

d.     Petugas menanyakan pada pasien apakah terdapat keluhan lain seperti berat badan turun tanpa penyebab yang jelas, kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi pada pria, pruritus vulva pada wanita, serta adakah luka yang tidak kunjung sembuh.

e.     Petugasmelakukanpemeriksaantekanandarah

f.      Petugasmelakukanpemeriksaannadi

g.     Petugasmelakukanpemeriksaansuhu

h.     Petugasmelakukanpemeriksaanfisiktermasukekstremitas atas dan bawah termasuk jari.

i.      Biladiperlukanpetugasmembuatpermintaan pemeriksaan gula darah atau urin ke laboratorium.

j.      Petugasmenyerahkansuratpermintaankepada pasienuntukselanjutnyapasienkelaboratorium

k.     Petugasmenerimahasillaboratoriumdaripasien

l.      Petugasmembacahasillaboratorium danmenegakan diagnose berdasarkanhasil lab dananamnesis, yaitu:

v   Gejala klasik DM +Glukosa darah sewatu ≥ 200 mg/dl (darah kapiler)

v  Gejala klasik DM +Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dl (darah kapiler)

v  Tanpa gejala kasik DM + kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau GDP ulang ≥ 100 mg/dl (darah kapiler)

m.   Petugas memberikan penatalaksanaan awal DM berupa terapi gizi medis (TGM) dan latihan jasmani selama 2 – 4 minggu. Apabila kadar gula  darah belum mencapai sasaran dilakukan intervensi farmakologi dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.

v  Obat hipoglikemik oral (OHO) dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal. Pemberian OHO bersamaan dengan pengaturan diit dan latihan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau OHO kombinasi. Terapi OHO kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda

v  Golongan Biguanid: Metformin, dosis awal 500 mg dosis maksimal 2500 mg diberikan 1-3 kali/hari

v  Golongan Sulfonilurea: Glibenklamid dosis awal 2.5 mg dosis maksimal 15 mg/hr diberikan 15 – 30 menit sebelum makan, 1-2 kali/hari.

n.     Petugas mengedukasi pasien tentang penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan gula darah, penyulit DM dan resikonya serta bagaimana mengatasi sementara keadaan gawat darurat akibat DM (rasa sakit dan hipoglikemia).

o.     Petugas mengedukasi pasien tentang terapi gizi medis (TGM)makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.

p.     Petugas mengedukasi pasien tentan latihan jasmani secara teratur 3 – 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit.

q.     Petugasmenulisresep.

r.      Petugasmenyerahkanresepkepadapasien

s.      Petugasmenulishasilpemeriksaanfisik, laboratorium,diagnosedanterapikedalamrekam medic pasien

t.      Petugasmenandatanganirekam medic

u.     Petugasmenulis diagnose kebukurgisterrawatjalan.

6.   Diagram Alir

membuatrujukanpasienuntukpemeriksaangula darah

Pasien ke laboratoriumuntukpemeriksaangula darah

Menerimahasillaboratoriumdaripasien

 

Petugas menegakkan diagnosa berdasarkan anamnesa dan hasil laboratorium

Petugas mengedukasi pasien dan menulis resep

menyerahkanresepkepadapasien

menulishasilpemeriksaanfisik, laboratorium,diagnosedanterapikedalamrekam medic pasien

menulis diagnose kebukurgisterrawatjalan.

 

melakukanpemeriksaanfisikmeliput TD, nadi, ekstremitas atas dan bawah

melakukananamnesapadapasien tentang trias klasik DM dan keluhan lain

memanggilpasiensesuainomorurut

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


7.   Referensi

12.  Pedomam Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun 2002 Hal 26-27, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1, FKUI.

13.  Pedoman pengobatan dasar di Puskesmas, Depkes RI ,dirjen pelayanan kefarmasian  dan alat kesehatan 2002

8.   DokumenTerkait

14.  Catatan Medik,

15.  Blanko Rujukan,

16.  Buku Register,

17.  Blanko Resep

9.   Distribusi

18.  Rawat Inap,

19.  Laboratorium

 

10.  RekamanHistorisPerubahan

No

Yang dirubah

Isi Perubahan

Tgl.mulaidiberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

UPTD

PUSKESMAS

SELOMERTO 1

DIABETES MELITUS

 

 

DAFTAR TILIK

 

No. Kode

:

Terbitan

:

No. Revisi

:

Tgl. MulaiBerlaku

:

Halaman

: 1/2

 

No

Langkah Kegiatan

Ya

Tidak

Tidak Berlaku

1

Apakah

Petugasmemanggilpasiessesuainomorurut?

 

 

 

2

Apakah

Petugasmenulisidentitaspasien di buku register?

 

 

 

3

Apakah

Petugasmelakukananamnesapadapasienapakahpasienmengeluhkan gejala klasik DM yang berupa poliuria (sering kencing), polidipsi (sering haus) dan polifagi (sering lapar)?

 

 

 

5

Apakah

Petugas menanyakan pada pasien apakah terdapat keluhan lain seperti berat badan turun tanpa penyebab yang jelas, kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi pada pria, pruritus vulva pada wanita, serta adakah luka yang tidak kunjung sembuh?

 

 

 

6

Apakah

Petugasmelakukanpemeriksaantekanandarah?

 

 

 

7

Apakah

Petugasmelakukanpemeriksaannadi?

 

 

 

8

Apakah

Petugasmelakukanpemeriksaansuhu?

 

 

 

9

Apakah

Petugasmelakukanpemeriksaanfisiktermasuk ekstremitas atas dan bawah termasuk jari?

 

 

 

10

Apakah

Biladiperlukanpetugasmembuatpermintaan pemeriksaan gula darah atau urin ke laboratorium?

 

 

 

11

Apakah

Petugasmenyerahkansuratpermintaankepada pasienuntukselanjutnyapasienkelaboratorium?

 

 

 

12

Apakah

Petugasmembacahasillaboratorium danmenegakan diagnose berdasarkanhasil lab dananamnesis, yaitu:

v   Gejala klasik DM +Glukosa darah sewatu ≥ 200 mg/dl (darah kapiler)

v  Gejala klasik DM +Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dl (darah kapiler)

v  Tanpa gejala kasik DM + kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau GDP ulang ≥ 100 mg/dl (darah kapiler)?

 

 

 

13

Apakah

Petugas memberikan penatalaksanaan awal DM berupa terapi gizi medis (TGM) dan latihan jasmani selama 2 – 4 minggu. Apabila kadar gula  darah belum mencapai sasaran dilakukan intervensi farmakologi dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin?

 

 

 

14

Apakah

Petugas mengedukasi pasien tentang penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan gula darah, penyulit DM dan resikonya serta bagaimana mengatasi sementara keadaan gawat darurat akibat DM (rasa sakit dan hipoglikemia)?

 

 

 

15

Apakah

Petugas mengedukasi pasien tentang terapi gizi medis (TGM) makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan?

 

 

 

16

Apakah

Petugas mengedukasi pasien tentan latihan jasmani secara teratur 3 – 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit?

 

 

 

17

Apakah

Petugasmenulisresep?

 

 

 

18

Apakah

Petugasmenyerahkanresepkepadapasien?

 

 

 

19

Apakah

Petugasmenulishasilpemeriksaanfisik, laboratorium,diagnosedanterapikedalamrekam medic pasien?

 

 

 

20

Apakah

Petugasmenandatanganirekam medic?

 

 

 

21

Apakah

Petugasmenulis diagnose kebukurgisterrawatjalan?

 

 

 

 

CR       :………………………%

Selomerto,………………………

Pelaksana/ Auditor

 

 

 

(………………………………)

 

Diabetes Melitustipe 1

 

SOP

No. Dokumen

:

No. Revisi

:

TanggalTerbit

:

Halaman

:

UPT PUSKESMAS DTP SINGAJAYA

 

AcuSuhendar, SKM

NIP. 19660909 198902 1 001

 

1.    Pengertian

Definisi

Diabetes mellitus adalahganguanmetabolik yang ditandaiolehhiperglikemiaakibatefekpadakerja insulin (resistensi insulin) dansekresi insulin ataukedua-duanya.

 

Anamnesis

Keluhan:

1.    Polifagia

2.    Poliuri

3.    Polidipsi

4.    PenurunanBeratBadan

 

Keluhantidakkhas DM:

1.    Lemah

2.    Kesemutan (rasa baal di ujung-ujungektremitas)

3.    Gatal

4.    Mata kabur

5.    Disfungsiereksipadapria

6.    Pruritus vulvae padawanita

7.    Luka yang sulitsembuh

 

FaktorRisiko

1.    Beratbadanlebihdanobesitas (IMT lebihdari 23 kg/m2)

2.    Riwayat DM dalamkeluargadekat

3.    Riwayatabortusberulang, melahirkanbayicacat, atau BB lahirbayilebihdari 4000 gram

4.    Riwayat DM gestasional

5.    Penggunaan steroid jangkapanjang

 

HasilPemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana (Objective)

Tandapatognomonis

Penurunanberatbadan yang tidakjelaspenyebabnya

 

Faktorpredisposisi

1.    Usia . 45 tahun

2.    Diet tinggikaloridanlemak

3.    Aktifitasfisik yang kurang

4.    Hipertensi (TD lebihdari 140/90MmHg)

5.    Riwayat TGT atau GDPT

6.    Penderitapenyakitjantung coroner, tuberculosis, hipertiroidisme

7.    Dislipidemia

 

PemeriksaanPenunjang

1.    GulaDarahPuasa

2.    GulaDarah 2 jam Post Prandial

3.    HbA1c

 

 

PenegakanDiagnostik (Assessment)

Diagnosaklinis

Kriteria diagnostic DM dangangguantoleransiglukosa:

1.    Gejalaklasik DM (polyuria, polydipsia, polifagia) + glukosa plasma sewaktulebihdari 200 mg/dl (11.1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktumerupakanhasilpemeriksaansesaatpadasuatuharitanpamemperhatikanwaktumakanterakhir.

2.    Gejalaklasik DM+ kadarglukosa plasma puasalebihdari 126 mg/dl. Puasadiartikanpasientidakmendapatkaloritambahansedikitnya8jam.

3.    Kadar glukosa plasma 2 jampada TTOG lebihdari 200 mg/dL (11.1 mmol/L) TTGO dilakukandenganstandar WHO, menggunakanbebanglukosaanhidrus 75 gram yang dilarutkandalam air.

4.    HbA1C

Penentuan diagnosis DM berdasarkan HbA1c lebihdari 6,5% belumdapatdigunakansecaranasional di Indonesia, mengingatstandarisasipemeriksaan yang masihbelumbaik.

 

 

Apabilahasilpemeriksaantidakmemenuhikriteria normal atau DM, makadapat di golongkankedalamkelompok TGT atau GDPT tergantungdarihasil yang di peroleh.

 

Kriteriagangguantoleransiglukosa:

1.    GDPT ditegakanbilastelahpemeriksaanglukosa plasma puasadidapatkanantara 100-125 mg/dl (5.6-6.9 mmol/L)

2.    TGT ditegakanbilasetelahpemeriksaan TTGO kadarglukosa plasma 140-199 mg/dlpada 2 jam sesudahbebanglukosa 75gram (7.8-11.1 mmol/L)

3.    HbA1C 5.7-6.4%

Penentuan diagnosis DM berdasarkan HbA1C lebihdari 6.5% belumdapatdigunakansecaranasional di Indonesia, mengingatstandarisasipemeriksaan yang masihbelumbaik

 

Diagnosis Banding

Diabetes insipidus

 

Komplikasi

A. Akut:

1.    Ketoasidosisdiabetik

2.    Hyperosmolar non ketotik

3.    Hipoglikemia

B. Kronik:

1.    Makroangiopati

2.    Pembuluhdarahjantung

3.    Pembuluhdarahperifer

4.    Pembuluhdarahotak

C. Mikroangiopati

1.    Pembuluhdarahkapiler retina

2.    Pembuluhdarahkapiler renal

D. Neuropati

E. Gabungan:

1.    Kardiomiopati

2.    Rentaninfeksi

3.    Kaki diabetic

4.    Disfungsiereksi

 

2.    Tujuan

Prosedur ini dibuat untuk pedomanpengobatanpasiendengandiagnosadiabetes mellitus tipe 1 di tingkatpelayanandasar/puskesmasolehdokterumum

3.    Kebijakan

SK Kepala UPT Puskesmas DTP Singajaya No. …./…/ KEP/ PKM / 2017tentangLayananKesehatan di UPT Puskesmas DTP Singajaya.

4.    Referensi

1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati,S.Eds. Bukuajarilmupenyakitdalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam FKUI; 2006.

2. PerkumpulanEndokrinologi Indonesia. KonsensusPengelolaandanPencegahan Diabetes MelitusTipe 2 di Indonesia. 2011

 

 

5.    Prosedur

Penatalaksanaan

Terapiuntuk Diabetes Melitusdilakukandenganmodifikasigayahidupdanpengobatan (algoritmapengelolaan DM tipe 2).

 

Farmakoterapi yang diberikan, yaitu:

Pemberian OHO, terdiridari:

1.  OHO dimulaidengandosiskecildanditingkatkansecarabertahapsesuairesponskadarglukosadarah, dapatdiberikansampaidosis optimal.

2.  Sulfonilurea: 15 –30 menitsebelummakan.

3.  Metformin :sebelum/padasaat/sesudahmakan.

4.  Penghambatglukosidase (Acarbose): bersamamakansuapanpertama.

 

KonselingdanEdukasi

Meliputipemahamantentang:

1.    Pemyakit DM

2.    Maknadanperlunyapengendaliandanpemantauan DM.

3.    Penyulit DM.

4.    Intervensifarmakologis.

5.    Hipoglikemia.

6.    Masalahkhusus yang di hadapi.

7.    Cara mengembangkan system pendukungdanmengajarkanketerampilan.

8.    Cara mempergunakanfasilitasperawatankesehatan.

9.    Pemberianobatjangkapanjangdengan control.

 

KriteriaRujukan

Sistemrujukanperludilakukanpadaseluruhpusatpelayanankesehatan yang memungkinkandilakukanrujukan, rujukanmeliputi:

1.    Rujukankebagianmata

2.    Rujukanuntukterapigizimedissesuaiindikasi

3.    Rujukanuntukedukasikepadaedukator diabetes

4.    Rujukankepadaperawatkhusus kaki (podiatrist)<spesialisperilaku (psikolog) atauspesialis lain sebagaibagiandaripelayanandasar

5.    Konsultasi lain sesuaikebutuhan

 

Peralatan

1.    AlatPemeriksaanGulaDarahSederhana

2.    Alatpengukurberatdantinggibadananaksertadewasa

3.    SkalaAntropometri

 

 

 

Prognosis

Vitam: Dubia ad bonam

Fungsionam: Dubia ad malam

Sanationam: Dubia ad malam

6.    Unit Terkait

1.    Unit BP Umum

2.    Unit BP Gigi

3.    Unit Perawatan

4.    Unit KIA – KB

5.    MTBS

6.    PONED

7.    IGD

 

 

TATALAKSANA KASUS DIABETES MELITUS TIPE II

 

 

 

 

 

No. Dokumentasi      : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT I/2017

No Revisi                  :

TanggalTerbit          : 20 Pebruari 2017

Halaman                   : 1/5

PuskesmasSusut I

 

TTD Kapus

 

 

 

 

dr. Ni Nym Kurniawati

NIP. 19840609 201001 2 008

1.   Pengertian

 

Definisi: Diabetes mellitus tipe II merupakan kumpulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya.

Faktor risiko:

·       Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/m2)

·       Riwayat penyakit DM di keluarga

·       Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi)

·       Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional

·       Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)

·       Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

·       Aktifitas jasmani yang kurang

Manifestasi Klinis:

·       Keluhan klasik DM: polifagia, poliuri, polidipsi, penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya.

·       Keluhan tidak khas dapat berupa lemah, kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas), gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita, luka yang sulit sembuh

Pemeriksaan Fisik:

1.     Penilaian berat badan

2.     Mata : Penurunan visus, lensa mata buram

3.     Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen

Pemeriksaan Penunjang:Gula darah puasa, gula darah 2 jam Post Prandial, urinalisis, funduskopi, pemeriksaan fungsi ginjal, EKG, Xray thoraks.

Diagnosis Klinis:

Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:

1.     Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir ATAU

2.     Gejala Klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU

3.     Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh

 

 

 

TATALAKSANA KASUS DIABETES MELITUS TIPE II

 

 

 

 

 

No. Dokumentasi      : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT I/2017

No Revisi                  :

TanggalTerbit          : 20 Pebruari 2017

Halaman                   : 2/5

PuskesmasSusut I

 

TTD Kapus

 

dr. Ni Nym Kurniawati

NIP. 19840609 201001 2 008

 

Kriteria gangguan toleransi glukosa:

1.     GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l)

2.     TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram (7,8 -11,1 mmol/L)

3.     HbA1C 5,7 -6,4%

Komplikasi:

1.     Akut: ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia

2.     Kronik: makroangiopati, pembuluh darah jantung, pembuluh darah perifer, pembuluh darah otak

3.     Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler renal

4.     Neuropati

5.     Gabungan: kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi

Penatalaksanaan:

Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup sehat dan pengobatan.

·       Dosis OHO

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

1.     OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.

2.     Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.

3.     Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.

4.     Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.

·       Konseling dan Edukasi

Edukasi meliputi pemahaman tentang:

1.     Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol

2.     Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga, menghindari rokok, dan menjaga pola makan.

Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2 minggu

·       Terapi Nutrisi medis:

1.     Pada penderita diabetes perlu ditekankan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan

2.     Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi

3.     Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan pembatasan makanan yang mengandung lemak jenuh, seperti daging berlemak dan susu

Asupan protein sebesar 10-20% dari total asupan energi. Pada pasien nefropati jumlah asupan protein yaitu 0,8g/Kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi.

 

 

 

TATALAKSANA KASUS DIABETES MELITUS TIPE II

 

 

 

 

 

No. Dokumentasi      : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT I/2017

No Revisi                  :

TanggalTerbit          : 20 Pebruari 2017

Halaman                   : 3/5

PuskesmasSusut I

 

TTD Kapus

 

dr. Ni Nym Kurniawati

NIP. 19840609 201001 2 008

 

·       Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu intensitas sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan.

Kriteria Rujukan:

Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:

1.     DM tipe 2 dengan komplikasi

2.     DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk

3.     DM tipe 2 dengan infeksi berat

Prognosis: prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam.

2.    Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk:

-       Penanganan pasien DM tipe II

-       Mengurangi gejala klinis DM tipe II

-       Mencegah terjadinya komplikasi

3.   Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No.008/UKP/SUSUT I / 2017 tentang layanan klinis

4.   Referensi

1.     Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/MENKES/514 Tahun 2015 tentang panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

 

5.   Persiapan

1.     Alat

a.     Stetoskop

b.     Thermometer

c.     Tensimeter

d.     Glukometer sederhana

2.     Bahan

a.     Alat Perlindungan Diri

b.     Stick GDS

6.    Langkah-langkah

Anamnesa Pasien

-       Memperkenalkan diri

-       Menanyakan identitas pasien

-       Menanyakan keluhan utama pasien yang dapat berupa keluhan klasik diabetes atau yang tidak khas, riwayat perjalanan penyakit hingga keluhan menggunakan konsep Sacred seven dan Fundamental Four

Menanyakan riwayat kesehatan terdahulu seperti, hipertensi, diabetes melitus, jantung, asthma,obat – obatan yang dikonsumsi, riwayat kesehatan keluarga serta riwayat sosial yang berkaitan dengan penyakit dan komplikasi yang saat ini diderita pasien

 

 

 

 

TATALAKSANA KASUS DIABETES MELITUS TIPE II

 

 

 

 

 

No. Dokumentasi      : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT I/2017

No Revisi                  :

TanggalTerbit          : 20 Pebruari 2017

Halaman                   : 4/5

PuskesmasSusut I

 

TTD Kapus

 

dr. Ni Nym Kurniawati

NIP. 19840609 201001 2 008

 

Pemeriksaan Fisik

-       Petugas melakukan informed consent tentang tindakan yang akan dilakukan.

-       Petugas cuci tangan dan menggunakan APD

-       Petugas melakukan pemeriksaan vital sign

-       Petugas melakukan fisik menyeluruh

-       Petugas melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana

-       Petugas melakukan cuci tangan

-       Penegakan diagnose dan evaluasigizi, evaluasi penyulit DM, evaluasi perencanaan makan sesuai kebutuhan

Tatalaksana Kasus

-       Golongan Biguanid: Metformin, dosis awal 500 mg dosis maksimal 2500 mg diberikan 1-3 kali/hari

-       Golongan Sulfonilurea: Glibenklamid dosis awal 2.5 mg dosis maksimal 15 mg/hr diberikan 15 – 30 menit sebelum mkan, 1-2 kali/hari.

-       Golongan Inhibitor α glukosidase: Acarbose dosis awal 50 mg dosis maksimal 300 mg diberikan 1-3 kali/hari

-       Insulin : short acting atau long acting

-       Konseling dan edukasi sesuai dengan terapi non farmakologis dan efek samping obat

Pencatatan rekam medis dan register

Rujuk apabila menemukan komplikasi atau tanda-tanda infeksi berat

7.   Diagram Alir

Pasien datang

Anamnesa

Petugas mencuci tangan dan gunakan APD

Pemeriksaan fisik dan Laboratorium sederhana

Pasien datang

Mencuci tangan

Menggunakan APD

Pengkajian Awal Klinis

Pasien datang

Mencuci tangan

Menggunakan APD

Pengkajian Awal Klinis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


TATALAKSANA KASUS DIABETES MELITUS TIPE II

 

 

 

 

 

No. Dokumentasi      : 014/SOP/UKP/P.UMUM/SUSUT I/2017

No Revisi                  :

TanggalTerbit          : 20 Pebruari 2017

Halaman                   : 5/5

PuskesmasSusut I

 

TTD Kapus

 

dr. Ni Nym Kurniawati

NIP. 19840609 201001 2 008

 

 

Penegakan Diagnosa

Evaluasi penyulit DM, status gizi, dan perencanaan sesuai kebutuhan

Pencatatan rekam medis dan register pasien serta kelengkapan administrasi

Pemberian Edukasi Gaya Hidup Sehat dan pemberian terapi sesuai pedoman yang berlaku

Pulang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


7. Hal-hal yang perlu diperhatikan

1.     Keadaan umum pasien dan komplikasi

2.     Kelengkapan ketersediaan alat- alat kesehatan

3.     Pemakaian APD

4.    Konseling dan edukasi

8. Unit terkait

-          Ruangan Pemeriksaan Umum

-          Ruangan UGD

-          Ruangan rawat inap

-          Ruangan Laboratorium

-          Ruangan Konseling

9. Dokumen terkait

1. Buku register

2. Dokumen/ rekam medik

10. Rekaman Historis Perubahan

 

No.

Yang diubah

Isi Perubahan

Tgl. Mulai Diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

EPILEPSI

 

 

SPO

No. Dokumen  :

SPO/ VII/ UKP/ 01/ 16

No. Revisi        :

Tanggal Terbit :

4 April 2016

  Halaman         : 1/3

Puskesmas I

Cilongok

 

dr. Novita Sabjan

NIP. 19731101 200604 2 006

Pengertian

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas listrik yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak.

Tujuan

Agar petugas dapat menegakkan diagnosis epilepsi, melakukan pengobatan, edukasi pasien dan keluarga,

Kebijakan

 

Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

Prosedur

v.    Petugas memanggil pasien yang telah dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital oleh perawat,

w.   Petugas melakukan anamnesa pada pasien,

x.    Petugas menanyakan pada pasien:

Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan bangkitan epilepsi.

    1. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

·    Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/ tidur/ berkemih.

·    Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest).

·    Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat berkeringat, deviasi mata.

·    Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri

 

 

EPILEPSI

 

 

 

SPO

No. Dokumen  :

SPO/ VII/ UKP/ 01/ 16

 

No. Revisi        :

 

Tanggal Terbit :

4 April 2016

 

  Halaman         : 2/3

 

 

·    kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.

·    Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.

·    Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan pola bangkitan.

2.   Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.

3. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan.

4. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE, kombinasi terapi).

5.  Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.

6. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik atau sistemik.

7. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak.

8.  Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.

9.  Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.

y.    Petugas melakukan pemeriksaan fisik meliputi inspeksi adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal, pemeriksaan neurologis.

z.     Petugas menegakan diagnosis, sebagai dokter pelayanan

primer, bila pasien terdiagnosis sebagai epilepsi, untuk

penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis

 

 

 

EPILEPSI

 

 

SPO

No. Dokumen  :

SPO/ VII/ UKP/ 01/ 16

No. Revisi        :

Tanggal Terbit :

4 April 2016

  Halaman         : 3/3

 

saraf.

·    Jika terjadi kejang, tangani kejang dengan obat-obatan anti konvulsi yang tersedia di puskesmas.

f.  Petugas memberikan Konseling dan Edukasi:

·    Memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit ini tidak menular.

·    Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita.Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak perlu pendampingan sehingga lingkungan dapat menerima dengan baik.

·    Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan baik.

i.  Petugas mencucitangan sebelum dan setelah tindakan,

j.      Petugas menulis hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnose dan terapi kedalam rekam medis pasien, serta melengkapi lembar surat rujukan bagi pasien epilepsi yang baru pertama kali terdiagnosis.

k.     Petugas menandatangani rekam medis.

Petugas memanggil pasien yg sebelumnya telah diperiksa vital sign nya

Diagram Alir

penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis saraf.

Petugas memberikan konseling dan edukasi

 

Petugas menegakkan diagnosa berdasar pemeriksaan yang telah dilakukan

 

Petugas menulis pada RM

Petugas melakukan anamnesa, cuci tangan, pemeriksaan fisik secara lengkap, kemudian cuci tangan setelah pemeriksaan

 

 

 

 

 

 

 

 


Unit terkait

Poli Umum, RM

Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

EPISKLERITIS

 

SOP

NO. DOKUMEN      :   

NO. REVISI             :

TANGGAL TERBIT : 1 Maret 2016

HALAMAN               : 2 halaman

 

 

DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANYUMAS

 

 

 

 

 

 

Disahkan Oleh

Kepala Puskesmas Kalibagor

 

 

Dr. Fajar Windiyasari DW,MM

NIP. 19751126 200701 2 006

PENGERTIAN

Merupakan reaksi radang pada epislera yaitu jaringan ikat vaskular yang terletak diantara konjungtiva dan permukaan sklera.

TUJUAN

Menghentikan proses peradangan pada episklera.

KEBIJAKAN

Semua peradangan pada episklera baik yang ringan maupun yang merupakan tanda adanya penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid ostritis dan systemic Lupus erythematosus ( SLE ) .

PETUGAS

1.    Dokter

PERALATAN

1.    Snellen chart

2.    Lampu senter

3.    Kapas bersih

4.    Tetes mata rasokonstiktor ; fenil efrin 2,5%

PROSEDUR

 

1.    Periksa bola mata dengan penyinaran senter.

2.    Tampak Kemerahan pada episkleritis yang disebabkan oleh kongesti pleksus episklera superfisial dan konjungtival yang letaknya di atas dan terpisah dari lapisan sklera dan pleksus episklera profunda di dalamnya .Lakukan penetesan Fenil Efedrin 2,5% akan mengecilkan kongesti dan mengurangi kemerahan.

3.    Pada episkleritis nodular, ditemukan nodul kemerahan berbatas tegas di bawah konjungtiva. Nodul dapat di gerakan bila nodul di tekan dengan kapas atau melalui kelopak mata yang di pejamkan di atasnya, akan timbul rasa sakit yang menjalar di sekitar mata.

4.    Periksa virus mata.

5.    Periksa mata biasanya berair dengan secret yang jernih dan encer . Bila secret tebal, kental, dan berair, perlu di pikirkan diagnosis lain.

BAGIAN TERKAIT

-       BP Umum

REFERENSI

Ilyas, S, 2005. Ilmu penyakit mata 3rd ed, Jakarta : Balai Penerbit FK UI .

 

 

  

EPISTAKSIS

 

 

SPO

 

 

No. Dokumen : SPO/IX/KB-00/04/16

No. Revisi        : 0

Tanggal Terbit : 4 April 2016

Halaman         :  1/2

Puskesmas II PURWOKERTA UTARA

 

 

 

Dr Maria Valentina

197208122002122004

1. Pengertian

Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan.

2. Tujuan

Untuk memahami dan melakukan tindakan dengan benar dan tepat

3. Kebijakan

Surat Keputusan Kepala Puskesmas II Purwokerto Utara

4. Referensi

KMK RI Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

5. Prosedur

a.    Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai

1)    Lampu kepala

2)    Spekulum hidung

3)    Alat penghisap (suction)

4)    Pinset bayonet

5)    Tampon anterior, Tampon posterior

6)    Kaca rinoskopi posterior

7)    Kapas dan kain kassa

8)    Lidi kapas

9)    Nelaton kateter

10) Benang kasur

11) Larutan Adrenalin 1/1000

12) Larutan Pantokain 2% atau Lidokain 2%

13) Larutan Nitras Argenti 15 – 25%

14) Salep vaselin, Salep antibiotik

  1. Langkah – Langkah

1)    Melakukan Anamnesa terhadap pasien

2)    Menanyakan Keluhan Pasien

a.    Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung.

b.    Harus ditanyakan secara spesifik mengenai :

a)      Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok)

b)      Banyaknya perdarahan

c)       Frekuensi

d)      Lamanya perdarahan

  1. Melakukan Pemeriksaan Fisik

1)    Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan.

2)    Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan neoplasma.

3)    Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang.

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu :

1. Menghentikan perdarahan

2. Mencegah komplikasi

3. Mencegah berulangnya epistaksis

 

Penatalaksanaan

1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan.

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).

3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.

4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan Nitras Argenti 15 – 25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep antibiotik.

6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu :

1. Menghentikan perdarahan

2. Mencegah komplikasi

3. Mencegah berulangnya epistaksis

 

Penatalaksanaan

1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan.

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).

3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.

4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan Nitras Argenti 15 – 25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep antibiotik.

6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab

Rencana Tindak Lanjut

Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah selanjutnya adalah mencari sumber perdarahan atau penyebab epistaksis.

Konseling dan Edukasi

Memberitahu pasien dan keluarga untuk:

1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini merupakan gejala suatu penyakit, sehingga dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis.

2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.

3. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.

4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak.

5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.

 

Pemeriksaan penunjang lanjutan

Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila dicurigai sinusitis.

Kriteria Rujukan

1. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan Tingkat Pertama, misalnya naso-endoskopi.

2. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring.

3. Epistaksis yang terus berulang atau masif

 

 

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

7. Unit terkait

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas + NIP

Pengertian

penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum.

Tujuan

Memberikan tatalaksana yang tepat pada pasien dengan diagnosa Eritrasma

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Prosedur

- Pemeriksaan Fisik

   Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai skrotum, aksilla,

   dan intergluteal

   Efloresensi : eritema luas berbatas tegas, dengan skuama

   halus dan kadang erosif. Kadang juga didapatkan

   likenifikasi dan hiperpigmentasi.

 

- Pemeriksaan Penunjang

  1. Pemeriksaan dengan lampu Wood

  2. Sediaan langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram

 

-Penatalaksanaan

  1. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3%

  2. Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g sehari (4 x 250mg)

 

- Konseling dan Edukasi

  1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah

  2. Menjaga kebersihan badan

  3. Menjaga agar kulit tetap kering

  4. Menggunakan pakaian yang bersih dengan bahan yang

      menyerap keringat.

  5. Menghindari panas atau kelembaban yang berlebih  

Diagram Alir

 

Unit terkait

 

Rekaman

Historis

Perubahan

 

NO

YANG DIUBAH

ISI PERUBAHAN

TANGGAL MULAI DIBERLAKUKAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ERISIPELAS

 

SPO

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS I SUMBANG

 

 

 

 

 

Wahyanto, SKM.,M.Kes.

NIP.19650516 198803 1 104

1. Pengertian

No. ICPC-2 : S 76Skin infection order

No. ICD-10 : A 46 Erysipelas

Tingkat Kemampuan 4A

Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, melibatkan dermis atas dengan tanda khas meluas ke limfatik kutaneus superfisial.

2. Tujuan

Semua pasien ditangani sesuai prosdur

3. Kebijakan

SK

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit. Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma atau riwayat faringitis.

Faktor Risiko:

1. Penderita Diabetes Mellitus

2. Higiene buruk

3. Gizi kurang

4. Gangguan saluran limfatik

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Lokasi : kaki, tangan dan wajah

Efloresensi : eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula.

Penegakan Diagnostik(Assessment)

Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding:

Selulitis, Urtikaria

Komplikasi:

Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis, demam Scarlet, Pneumonia, Abses, Emboli, Meningitis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Istirahat

2. Tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan

 

Pengobatan sistemik :

1. Analgetik antipiretik

2. Antibiotik : a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari

b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari

 

 

Rencana tindak lanjut :

1. Memantau terjadinya komplikasi

2. Mencegah faktor risiko

 

Konseling dan Edukasi

1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah

2. Menjaga kebersihan badan

 

Kriteria Rujukan

Jika terjadi komplikasi

Prognosis

Dubia ad bonam

6. Diagram Alir

(bila perlu)

 

7. Unit terkait

Balai pengobatan

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

 Pengertian

No. ICPC-2 : S07 Rash generalized

No. ICD-10 : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicament

Tingkat Kemampuan 4A

 

Masalah Kesehatan

Exanthematous Drug Eruption adalah salah satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe lambat) menurut Coomb and Gell. Nama lainnya adalah erupsi makulopapular atau morbiliformis.

 Tujuan

Semua pasien exanthematous drug eruption  yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

 Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Biasanya disebabkan karena penggunaan antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) atau analgetik-antipiretik non steroid.

Kelainan umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gejala diikuti demam subfebril, malaise, dan nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-bahan yang dipakai untuk diagnostik (contoh: bahan kontras radiologi).

 

Faktor Risiko

  1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit terbuka).
  2. Riwayat atopi diri dan keluarga.
  3. Alergi terhadap alergen lain.
  4. Riwayat alergi obat sebelumnya.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis

  1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis.
  2. Kelainan dapat simetris.

 

Tempat predileksi

  • Tungkai,
  • Lipat Paha
  • Lipat Ketiak

 

Pemeriksaan Penunjang

  • Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

  • Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

 

Diagnosis Banding

  • Morbili

 

Komplikasi

  • Eritroderma

 

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan.

 

Farmakoterapi yang diberikan, yaitu:

  1. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per hari selama 1 minggu.
  2. Antihistamin sistemik:
    1. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan, atau
    2. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan
  3. Topikal:

Bedak salisilat 2% dan antipruritus (Menthol 0.5% - 1%)

 

Konseling dan Edukasi

  1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab erupsi.
  2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
  3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi.

 

Kriteria Rujukan

  1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson.
  2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab :
    1. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan dengan
    2. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
    3. Uji provokasi
  3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan menghindari obat selama 7 hari
  4. Lesi meluas

 

Peralatan

Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug Eruption.

 

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak memenuhi kriteria rujukan.

Diagram Alur

 

 Unit terkait

 

Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KabupatenBanyumas

SPO FARINGITIS AKUT

 

 

 

 

 

SPO

No. Dokumen  :

No. Revisi        :

Tanggal Terbit :

Halan          : 2/

    Nama

Puskesmas........

TTD  KAPUS

 

 

Nama dan gelar Kepala

   Nip..................................

Tujuan

 

Mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada pasien faringitis akut

 

 

 

3. Kebijakan

 

 

Berlaku pada semua pasien faringitis akut

 

 

4. Referensi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5. Prosedur/ Langkah- langkah

 

20.  Pengertian

20.1.    Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari influensa (Rinofaringitis).

20.2.    Penyebab : virus yang menyerang jaringan limfoid faring.

20.3.    Faktor pencetus atau yang memperberat iritasi makanan yang merangsang.

20.4.    Infeksi sekunder dapat terjadi oleh berbagai kuman seperti : golongan streptokokus, stafilokokus, influensa dan kuman anaerob.

20.5.    Perjalanan penyakit bergantung pada :

20.5.1.            Adanya infeksi sekunder

20.5.2.            Daya tahan tubuh penderita

20.5.3.            Virulensi kuman

20.6.    Faringitis biasanya sembuh sendiri dalam waktu 3 – 5 hari.

21.  Gambaran klinis

21.1.    Nyeri tenggorok dan sakit menelan, yang mungkin didahului pilek atau influensa lainya.

21.2.    Nyeri sampai ke telinga (otalgia)

21.3.    Hiperemia pada jaringan linfoid di dinding belakang faring yang kadang disertai folikel eksudat menandakan adanya infeksi sekunder, pada permukaannya mungkin terlihat alur-alur sekret mukopurulen.

22.  Penatalaksanaan:

22.1.    Istirahat dan banyak minum

22.2.    Pengobatan simtomatis :

22.2.1.            Demam : parasetamol 3 x 500 mg (dosis anak : 10 mg/kgbb/kali)

Ingus yang berlebihandiberikan dekongestan : efedrin 3 x 10 mg (dosis ana

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6. Diagram Alir (jikadibutuhkan)

 

 

 

7. Unit terkait

 

 

 

 

 

FILARIASIS

 

SOP

No. Dokumen    :

No. Revisi         :

Tanggal Terbit   :

Halaman            :

PUSKESMAS I WANGON

Tanda Tangan

dr. Tulus Budi P

NIP.198203272009031006

6.   Pengertian

Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

7.   Tujuan

Sebagai pedoman dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksanan yang tepat terhadap pasien Filariasis

8.   Kebijakan

.

9.   Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

10.         Prosedur

Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.

1.          Langkah Diagnosis

1.1.     Anamnesis

Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik dengan daerah endemik lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan intensitas paparan terhadap vektor infektif di daerah endemik tersebut.

Manifestasi akut, berupa:

a.   Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.

b.   Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas, dan sakit.

c.    Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis).

d.   Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.

e.    Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema).

Gejala kronis filariasis berupa: pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.

Perjalanan penyakit bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi:

a.   Masa prepaten, yaitu masa antara masuknya larva infektif hingga terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik ini pun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik mikrofilaremik.

b.   Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8 – 16 bulan.

c.    Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik maupun mikrofilaremik.

d.   Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.

 

1.2.     Pemeriksaan Fisik

Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah distal dari kelenjar yang terkena tempat cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis berkembang lebih sering di ekstremitas bawah daripada atas. Selain pada tungkai, dapat mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara.

Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe. Bentuk manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai bertambahnya usia.

Manifestasi genital di banyak daerah endemis, gambaran kronis yang terjadi adalah hidrokel. Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis, funikulitis, edema karena penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan bisa dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan elefantiasis ekstremitas, episode limfedema pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis di daerah saluran limfe yang terkena dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi di daerah paha dan ekstremitas bawah sama seringnya, sedangkan B.malayi hanya mengenai ekstremitas bawah saja.

Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti, pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3 –15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 x/tahun sampai beberapa kali per bulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3 bulan.

Pada kasus menahun filariasis bancrofti, hidrokel paling banyak ditemukan. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya.

 

1.3.     Pemeriksaan Penunjang

1.3.1.   Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah. Cacing filaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada waktu malam hari antara jam 10 malam sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa  atau Wright. Mikrofilaria juga dapat ditemukan pada cairan hidrokel atau cairan tubuh lain (sangat jarang).

1.3.2.   Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang diambil mulai pukul 20.00 waktu setempat.

1.3.3.   Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine provocative test.

 

1.4.     Diagnosis

1.4.1. Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang identifikasi mikrofilaria. Di daerah endemis, bila ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas disertai dengan kelainan genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada sebab lain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi.

1.4.2. Diagnosis Banding

Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan adenolimfadenitis filariasis akut

Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan penyakit sistemik granulomatous lainnya.

 

1.5.   Komplikasi

Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau bagian tubuh lainnya) akibat obstruksi saluran limfe.

 

2.          Penatalaksanaan Komperehensif

2.1.      Penatalaksanaan

Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara lain dengan :

a.     Memelihara kebersihan kulit.

b.    Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis.

c.     Obat antifilaria adalah Diethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin (obat ini bermanfaat apabila diberikan pada fase akut yaitu ketika pasien mengalami limfangitis).

d.    Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada Tropical Pulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.

e.     Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kgBB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan tersebut bersifat gradual. Kontraindikasi ivermektin yaitu wanita hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah.

f.      Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis.

g.     Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.

h.    Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif.

2.2.      Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara penularannya. Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini melalui:

a.     Pemberantasan nyamuk dewasa

b.    Pemberantasan jentik nyamuk

c.     Mencegah gigitan nyamuk  

2.3.      Rencana Tindak Lanjut

Setelah pengobatan, dilakukan kontrol ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada pemeriksaan darahnya, pengobatan dapat diulang 6 bulan kemudian.

2.4.      Kriteria Rujukan

Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan konservatif.

11.         Unit Terkait

BP Umum, Laboratorium

 

 

 

 

12.                                                                                                            Rekaman Historis Perubahan

No

Halaman

Yang dirubah

Perubahan

Tgl. Mulai Diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Puskesmas Blooto

 

 

 

FILARIASIS

 

 

 

SPO

No. Kode                 

Ditetapkan  Oleh Kepala Puskesmas Blooto

 

 

 

 

Dr.Farida Mariana

NIP.19781104 200501 2 014

Terbitan                    :01

No. Revisi                : 0        

Tgl. Mulai Berlaku  :2 Januari 2015

Halaman                   : 1- 2                 

 

10.                                                                                                                                                                                                                 Pengertian

Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

11.                                                                                                                                                                                                                 Tujuan

Prosedur ini dibuat dimaksudkan untuk dokter dapat melakukan konseling dan edukasi kepada pasien dan keluarga dan memberikan terapi dengan baik.

12.                                                                                                                                                                                                                 Kebijakan

Langkah- langkah Penanganan Filariasis wajib sesuai dengan langkah- langkah SPO ini.

13.                                                                                                                                                                                                                 Referensi

Perawatan Dasar DEPKES RI Tahun 2014

14.                                                                                                                                                                                                                 Alat

Alat : Tempat tidur, Stetoskop, Arloji, Thermometer, Tensimeter,Tampon hidung, 

·        

15.                                                                                                                                                                                                                 Prosedur

PENATALAKSANAAN

Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara lain dengan:

a.      Memelihara kebersihan kulit.

b.     Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis.

c.      Obatantifilaria adalahDiethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin.

d.     DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa, Ivermektin merupakan antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak memiliki efek makrofilarisida.

e.      Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.

f.      Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat cacingdewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal:

1.     Reaksi sistemik berupa demam,sakit kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia, malaise dan muntah-muntah. Reaksi sistemik cenderung berhubungan dengan intensitas infeksi.

2.     Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,abses,dan transien limfedema. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik.

3.     Efek samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis, sehingga obat tersebut tidak diberikan dalam program pengobatan masal didaerah endemis filariasis dengan ko-endemis Onchorcercia valvulus.

g.     Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kg BB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermektin sama dengan DEC, kontraindikasi ivermektinyaitu wanita hamil dan anakkurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah.

h.     Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis.

i.      Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.

j.      Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif.

                                                                                              

KONSELING DAN EDUKASI

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara penularannya. Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini melalui:

a. Pemberantasan nyamuk dewasa.

b. Pemberantasan jentik nyamuk.

c. Mencegah gigitan nyamuk.

Setelah pengobatan, dilakukan kontrol ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada pemeriksaan darahnya, pengobatan dapatdiulang 6 bulan kemudian.

 

KRITERIA RUJUKAN

Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan konservatif.

 

 

 

 

 

 

Puskesmas Blooto

 

 

 

FILARIASIS

 

 

 

SOP

No. Kode                 

Terbitan                    :01

No. Revisi                : 0        

Tgl. Mulai Berlaku  :

Halaman                   : 2- 2                 

 

 

 

16.                                                                                                                                                                                                                 Prosedur

PENATALAKSANAAN

Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara lain dengan:

k.     Memelihara kebersihan kulit.

l.       Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis.

m.    Obatantifilaria adalahDiethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin.

n.     DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa, Ivermektin merupakan antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak memiliki efek makrofilarisida.

o.     Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.

p.     Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat cacingdewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal:

4.     Reaksi sistemik berupa demam,sakit kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia, malaise dan muntah-muntah. Reaksi sistemik cenderung berhubungan dengan intensitas infeksi.

5.     Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,abses,dan transien limfedema. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik.

6.     Efek samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis, sehingga obat tersebut tidak diberikan dalam program pengobatan masal didaerah endemis filariasis dengan ko-endemis Onchorcercia valvulus.

q.     Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kg BB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermektin sama dengan DEC, kontraindikasi ivermektinyaitu wanita hamil dan anakkurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah.

r.      Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis.

s.      Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.

t.      Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif.

                                                                                              

KONSELING DAN EDUKASI

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara penularannya. Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini melalui:

a. Pemberantasan nyamuk dewasa.

b. Pemberantasan jentik nyamuk.

c. Mencegah gigitan nyamuk.

Setelah pengobatan, dilakukan kontrol ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada pemeriksaan darahnya, pengobatan dapatdiulang 6 bulan kemudian.

 

KRITERIA RUJUKAN

Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan konservatif.

 

 

 

7.Unit terkait

Poli Pengobatan, Kasir,UGD

8.Dokumen Terkait

Buku rekam medis pasien

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : Y81 Phimosis

No. ICD-10 : N47 Phimosis

Tingkat Kemampuan 4A

 

Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak dapat diretraksi melewati glans penis. Fimosis dapat bersifat fisiologis ataupun patalogis. Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada bayi dan anak-anak. Pada anak usia 3 tahun 90% preputium telah dapat diretraksi tetapi pada sebagian anak preputium tetap lengket pada glans penis sehingga ujung preputium mengalami penyempitan dan mengganggu proses berkemih. Fimosis patologis terjadi akibat peradangan atau cedera pada preputium yang menimbulkan parut kaku sehingga menghalangi retraksi.

2. Tujuan

Semua pasien Fimosis yang datang ke Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

5.     KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

6.     Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.

7.     Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301.

8.     Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678.

9.     TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr Chr, dan Stein R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology. European Association of Urology. 2013. hlm 9-10

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)   

Keluhan

Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin seperti:

1. Nyeri saat buang air kecil

2. Mengejan saat buang air kecil

3. Pancaran urin mengecil

4. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma.

 

Faktor Risiko

1. Hygiene yang buruk

2. Episode berulang balanitis atau balanoposthitis menyebabkan skar pada preputium yang menyebabkan terjadinya fimosis patalogis

3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang tidak menjalani sirkumsisi

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal hingga ke korona glandis

2. Pancaran urin mengecil

3. Menggelembungnya ujung preputium saat berkemih

4. Eritema dan udem pada preputium dan glans penis

5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki skar dan tampak sehat

6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling preputium terdapat lingkaran fibrotik

7. Timbunan smegma pada sakus preputium

 

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik

Diagnosis Banding

Parafimosis, Balanitis, Angioedema

Komplikasi

Dapat terjadi infeksi berulang karena penumpukan smegma.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05% betametason) 2 kali perhari selama 2-8 minggu pada daerah preputium.

2. Sirkumsisi

 

Rencana Tindak Lanjut

Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan perkembangan maka kondisi akan membaik dengan sendirinya

Konseling dan Edukasi

Pemberian penjelasan terhadap orang tua atau pasien agar tidak melakukan penarikan preputium secara berlebihan ketika membersihkan penis karena dapat menimbulkan parut.

Kriteria Rujukan

Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk tindakan sirkumsisi maka dirujuk ke layanan sekunder.

Peralatan

Set bedah minor

Prognosis

Prognosis bonam bila penanganan sesuai

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

Pengertian

No. ICPC-2 : A85 Adverse effect medical agent

No. ICD-10 : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments

Tingkat Kemampuan 4A

 

Masalah Kesehatan

Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu jenis erupsi obat yang sering dijumpai. Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous Drug Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).

Tujuan

Semua pasien Fixed Drug Eruption yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Prosedur

Hasil Anamnesis(Subjective)

Keluhan

Pasien datang keluhan kemerahan atau luka pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim, dan analgetik.

Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril.

 

Faktor Risiko

  1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit terbuka)
  2. Riwayat atopi diri dan keluarga
  3. Alergi terhadap alergen lain
  4. Riwayat alergi obat sebelumnya

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis

Lesi khas:

  1. Vesikel, bercak
  2. Eritema
  3. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular
  4. Kadang-kadang disertai erosi
  5. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama pada lesi berulang

 

Tempat predileksi:

  1. Sekitar mulut
  2. Daerah bibir
  3. Daerah penis atau vulva

 

Pemeriksaan penunjang

Biasanya tidak diperlukan

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

 

Diagnosis Banding

Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS (Steven Johnson Syndrome)

 

Komplikasi

Infeksi sekunder

 

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan.

Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:

  1. Kortikosteroid sistemik, misalnya prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per hari
  2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal; misalnya Hidroksisin tablet 10 mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
  3. Pengobatan topikal
    1. Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila terjadi erosi atau madidans dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.
    2. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi ringan-sedang, misalnya Hidrokortison krim 2,5% atau Mometason furoat krim 0,1%.

 

Konseling dan Edukasi

  1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga.
  2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
  3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi kelainan yang sama, pada lokasi yang sama.

 

Kriteria Rujukan

  1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson.
  2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab:
    1. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
    2. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
    3. Uji provokasi.
  3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar selama 7 hari dan menghindari obat.
  4. Lesi meluas.

 

Peralatan

Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption.

 

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak memenuhi kriteria rujukan.

Diagram Alur

 

Unit terkait

 

Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas + NIP

Pengertian

Fluor Albus adalah nama lain dari keputihan.

Tujuan

Memberikan tatalaksana yang tepat pada pasien dengan diagnosa Fluor Albus

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Prosedur

- Pemeriksaan Fisik

            Penyebab discharge terbagi menjadi masalah infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi dapat karena benda asing, peradangan akibat alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau prolaps uteri, sedangkan masalah infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus seperti berikut ini:

     1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau, pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan eritema satelit di luar vagina

     2. Vaginosis bakterial (pertumbuhan bakteri anaerob, biasanya Gardnerella vaginalis), memperlihatkan adanya duh putih atau abu-abu yang melekat di sepanjang dinding vagina dan vulva, berbau amis dengan pH >4,5.

     3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia, dengan gejala inflamasi serviks yang mudah berdarah dan disertai duh mukopurulen

     4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik, kalau bergejala, tampak duh kuning kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH >4,5.

     5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang disebabkan oleh chlamydia, ditandai dengan nyeri abdomen bawah, dengan atau tanpa demam. Servisitis bisa ditandai dengan kekakuan adneksa dan serviks pada nyeri angkat palpasi bimanual.

      6. Liken planus

      7. Gonore

      8. Infeksi menular seksual lainnya

     

 

9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon atau kondom yang terlupa diangkat)

 

Periksa klinis dengan seksama untuk menyingkirkan adanya kelainan patologis yang lebih serius.

 

- Pemeriksaan Penunjang

          Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada keadaan keraguan menegakkan diagnosis, gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada saat kehamilan, postpartum, postaborsi dan postinstrumentation. Penatalaksanaan

Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit menular seksual dapat diobati sesuai dengan gejala dan arah diagnosisnya.

Vaginosis bakterial:

       1. Metronidazol atau Klindamisin secara oral atau per

           vaginam.

       2. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan pasangan pria.

       3. Bila sedang hamil atau menyusui gunakan metronidazol 400 mg 2x sehari untuk 5-7 hari atau pervaginam. Tidak direkomendasikan untuk minum 2 gram peroral.

       4. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis kontrasepsi hormonal bila menggunakan antibiotik yang tidak menginduksi enzim hati.

       5. Pasien yang menggunakan IUD tembaga dan mengalami vaginosis bakterial dianjurkan untuk mengganti metode kontrasepsinya.

 

Vaginitis kandidiosis terbagi atas:

1. Infeksi tanpa komplikasi

2. Infeksi parah

3. Infeksi kambuhan

4. Dengan kehamilan

5. Dengan diabetes atau immunocompromise

 

- Penatalaksanaan vulvovaginal kandidiosis:

   1. Dapat diberikan azol antifungal oral atau pervaginam

   2. Tidak perlu pemeriksaan pasangan

   3. Pasien dengan vulvovaginal kandidiosis yang berulang dianjurkan untuk memperoleh pengobatan paling lama 6 bulan.

   4. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi oral, dan gunakan imidazol topikal hingga 7 hari.

   5. Hati-hati pada pasien pengguna kondom atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa penggunaan antifungi lokal dapat merusak lateks

 

 

    6. Pasien pengguna kontrasepsi pil kombinasi yang mengalami vulvovaginal kandidiosis berulang, dipertimbangkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lainnya

 

Chlamydia:

    1. Azithromisin 1 gram single dose, atau Doksisiklin

       100 mg 2 x sehari untuk 7 hari

    2. Ibu hamil dapat diberikan Amoksisilin 500 mg

       3 x sehari untuk 7 hari atau Eritromisin 500 mg

       4 x sehari untuk 7 hari

 

Trikomonas vaginalis:

    1. Obat minum nitromidazol (contoh metronidazol) efektif untuk mengobati trikomonas vaginalis

    2. Pasangan seksual pasien trikomonas vaginalis harus diperiksa dan diobati bersama dengan pasien

    3. Pasien HIV positif dengan trikomonas vaginalis lebih baik dengan regimen oral penatalaksanaan beberapa hari dibanding dosis tunggal

    4. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali berulang, namun perlu dipertimbangkan pula adanya resistensi obat

 

- Rencana Tindak Lanjut

Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan HIV.

 

- Konseling dan Edukasi

   1. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan di tingkat rujukan.

   2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit belum tuntas diobati.

 

- Kriteria Rujukan

   Pasien dirujuk apabila:

   1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk pasangan

   2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman gonore

   3. Adanya arah kegagalan pengobatan 

 

Diagram Alir

 

Unit terkait

 

Rekaman

Historis

Perubahan

 

NO

YANG DIUBAH

ISI PERUBAHAN

TANGGAL MULAI DIBERLAKUKAN

 

 

 

 

 

 

 

FRAKTUR TERBUKA

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS GUMELAR

 

 

 

1. Pengertian

fraktur yang terdapat hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi infeksi.

2. Tujuan

Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan fraktur terbuka di puskesmas Gumelar

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

5. Prosedur

Anamnesis :

1. Adanya patah tulang terbuka setelah terjadinya trauma

2. Nyeri

3. Sulit digerakkan

4. Deformitas

5. Bengkak

6. Perubahan warna

7. Gangguan sensibilitas

8. Kelemahan otot

 

 Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi (look)

Adanya luka terbuka pada kulit yang dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus, misalnya oleh peluru atau trauma langsung dengan fraktur yang terpapar dengan dunia luar.

2. Palpasi (feel)

a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar

b. Nyeri tekan

c. Terabanya jaringan tulang yang menonjol keluar

d. Adanya deformitas

e. Panjang anggota gerak berkurang dibandingkan sisi yang sehat

3. Gerak (move)

Umumnya tidak dapat digerakkan

 

Penatalaksanaan

1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.

2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang menonjol keluar sedapat mungkin dihindari memasukkan komponen tulang tersebut kembali kedalam luka.

3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.

4. Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.

5. Pencegahan tetanus: semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian tetanus toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin.

 

KriteriaRujukan

Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda vital.

 

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

 

7. Unit terkait

UGD

 

FRAKTUR TERBUKA

 

SOP

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

FRAKTUR TERTUTUP

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS GUMELAR

 

 

 

1. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak berhubungan dengan lingkungan luar.

2. Tujuan

Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan fraktur tertutup di puskesmas Gumelar

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Anamnesis

Keluhan

1. Adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, dll)

2. Nyeri

3. Sulit digerakkan

4. Deformitas

5. Bengkak

6. Perubahan warna

7. Gangguan sensibilitas

8. Kelemahan otot

 

Faktor Risiko:

Osteoporosis

 

Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi (look)

Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota tubuh tdak dapat digerakkan.

2. Palpasi (feel)

a. Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat.

b. Nyeri tekan.

c. Bengkak.

d. Perbedaan panjang anggota gerak yang sakitdibandingkan dengan sisi yang sehat. 3. Gerak (move)

Umumnya tidak dapat digerakkan

 

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi berupa foto polos dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral

 

Penatalaksanaan

1. Semua fraktur dikelola secara emergensi dengan metode ATLS

2. Lakukan stabilisasi fraktur dengan bidai, waspadai adanya tanda-tanda compartemen syndrome seperti edema, kulit yang mengkilat dan adanya nyeri tekan.

3. Rujuk segera kelayanan sekunder

 

Kriteria Rujukan:

Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda vital.

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

 

7. Unit terkait

 

 

FRAKTUR TERTUTUP

 

SOP

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS

PURWOKERTO SELATAN

Furunkel Pada Hidung

Disahkan oleh

Kepala Puskesmas PURWOKERTO SELATAN

 

 

Dr. HENDRO HARJITO

NIP. 196903102002122003

SOP

No Kode

:

 

Terbitan

:

 

No. Revisi

:

 

Tgl. Mulai Berlaku

:

 

Halaman

:

 

 

1. Pengertian

Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut yang melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada anak-anak, remaja sampai dewasa muda.

2.Tujuan

Menegakkan diagnosis furunkel pada hidung dan memberikan tata laksana yang tepat

 

3. Kebijakan

Penatalaksanaan Furunkel pada hidung di BP Umum dengan menggunakan SPO ini

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no514 tahun 2015 tentang panduan klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama

5. Prosedur

Anamnesis

 

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan adanya bisul di dalam hidung.

Gejala adanya bisul di dalam hidung kadang disertai rasa nyeri dan perasaan tidak nyaman. Kadang dapat disertai gejala rhinitis.

Faktor Risiko

a.      Sosio ekonomi rendah

b.     Higiene personal yang jelek

c.      Rhinitis kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung.

d.     Kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.

 

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana

Pemeriksaan Fisik

Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral vestibulum nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).

Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding: -

 

Komplikasi

a.      Furunkel pada hidung potensial berbahaya karena infeksi dapat menyebar ke vena fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus kavernosus.

b.     Abses.

c.      Vestibulitis.

 

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a.      Kompres hangat dapat meredakan perasaan tidak nyaman.

b.     Jangan memencet atau melakukan insisi pada furunkel.

c.      Pemberian antibiotik topikal, seperti pemberian salep antibiotik bacitrasin dan polmiksin B serta antibiotik oral karena lokasi furunkel yang berpotensial menjadi bahaya. Antibiotik diberikan dalam 7-10 hari, dengan pemberian Amoxicilin 500 mg, 3x/hari, Cephalexin 250 – 500 mg, 4x/hari, atau Eritromisin 250 – 500 mg, 4x/hari.

d.     Insisi dilakukan jika sudah timbul abses.

 

Konseling dan Edukasi

Memberitahukan individu dan keluarga untuk:

a.      Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.

b.     Tidak memencet atau melakukan insisi pada furunkel.

c.      selalu menjaga kebersihan diri.

5. Unit Terkait

1.          Dokter.

2.          Perawat.

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : K77 Heart failure

No. ICD-10 :I50.9 Heart failure, unspecified

Tingkat Kemampuan

Gagal jantung akut 3B

Gagal jantung kronik 3A

 

Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas hidup, tingginya rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian.

Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20,3% pada perempuan.

2. Tujuan

Semua pasien Gagal Jantung Akut dan Kronik  yang datang ke Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.     KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.     Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.

3.     Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008)

4.     Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011)

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)   

Keluhan

1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu d’effort)

2. Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu)

3. Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)

Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan mental pada orangtua

Faktor Risiko

1. Hipertensi

2. Dislipidemia

3. Obesitas

4. Merokok

5. Diabetes melitus

6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya

7. Riwayat infark miokard

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik:

1. Peningkatan tekanan vena jugular

2. Frekuensi pernapasan meningkat

3. Kardiomegali

4. Gangguan bunyi jantung (gallop)

5. Ronki pada pemeriksaan paru

6. Hepatomegali

7. Asites

8. Edema perifer

 

Pemeriksaan Penunjang

1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali dan melihat gambaran edema paru

2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T, dan gambaran abnormal lain).

3. Darah perifer lengkap

 

Penegakan Diagnostik(Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham yaitu minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Kriteria Mayor:

1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)

2. Distensi vena-vena leher

3. Peningkatan tekanan vena jugularis

4. Ronki basah basal

5. Kardiomegali

6. Edema paru akut

7. Gallop (S3)

8. Refluks hepatojugular positif

 

Kriteria Minor:

1. Edema ekstremitas

2. Batuk malam

3. Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari normal

7. Takikardi >120 kali per menit

 

Diagnosis Banding

1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), emboli paru.

2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik

3. Sirosis hepatik

4. Diabetes ketoasidosis

 

Komplikasi

1. Syok kardiogenik

2. Gangguan keseimbangan elektrolit

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Modifikasi gaya hidup

a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter (berat)

b. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol

2. Aktivitas fisik

a. Pada kondisi akut berat: tirah baring

b. Pada kondisi sedang atau ringan:batasi beban kerja sampai 60% hingga 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur)

3. Penatalaksanaan farmakologi

 

Pada gagal jantung akut:

a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit

b. Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan pemberian furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus dapat diulang tiap jam sampai dosis maksimal 600 mg/hari.

c. Segera rujuk.

 

Pada gagal jantung kronik:

a. Diuretik: diutamakan loop diuretic (furosemid) bila perlu dapat dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 jam tidak ada respon rujuk ke layanan sekunder.

b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II receptor blocker (ARB) mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai segera dirujuk.

c. Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk menjaga denyut nadi tidak terlalu cepat.

 

Konseling dan Edukasi

1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit gagal jantung kronik misalnya tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar lemak atau kadar gula darah.

2. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-tanda kegawatan kardiovaskular dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah pengobatan di rumah sakit.

3. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan.

4. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien beraktivitas dan berinteraksi.

5. Melakukan konferensi keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta menyepakati bersama peran keluarga pada masalah kesehatan pasien.

 

Kriteria Rujukan

1. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas peayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti ekokardiografi.

2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam waktu cepat harus segera dirujuk layanan sekunder atau layanan tertier terdekat untuk dilakukan penanganan lebih lanjut.

 

Peralatan

1. EKG

2. Radiologi (X ray thoraks)

3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap

 

Prognosis

Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon pengobatan.

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

Cardiorespiratory Arrest

Fimosis

    Nama

Puskesmas........

TTD  KAPUS

 

 

Nama dan gelar Kepala

   Nip..................................

1.Pengertian

Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas

(kecemasan) dan depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik harus ditemukan, walaupun tidak

terusmenerus, di samping rasa cemas atauk hawatir berlebihan.

 

 

 

 

2. Tujuan

 

Mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada pasien axietas depresi

 

 

 

 

3. Kebijakan

 

 

Berlaku pada semua pasien anxietas depresi

 

 

4. Referensi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5. Prosedur/ Langkah- langkah

 

Hasil Anamnesis

Subjective

Keluhan : Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas

pendek/cepat, berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah,

jantung berdebar, gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit

kepala yang disertai dengan rasa cemas/khawatir berlebihan.

Allo dan Auto Anamnesis tambahan:

1.Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat

yang menurun, merasa sedih/ murung, nafsu makan berkurang

atau meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri

yang menurun, pesimistis.

2.Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan

terdapat stresor kehidupan.

3.Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol,

tembakau, stimulan, dan lain-lain)

Faktor Risiko

1.Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiper

aktivitas sistem noradrenergik, faktorgenetik

2.Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti

ciri kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas

menghindar.

3.Adanya stres kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana

Objective :

Pemeriksaan Fisik

Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain

sesuai keluhan fisiknya.

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda

yang bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk

menyingkirkan diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya.

Penegakan Diagnostik

Assessment

Diagnosis Klinis

Diagnosis klinis

ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu:

adanya gejala-gejala kecemasan dan depresi yang timbul bersama-sama, dan

masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang

cukup beratuntuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri.

1.Gejala-gejala kecemasan antara lain:

a.Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi

b.Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang,

tidak dapat santai

c.Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare.

2.Gejala-gejala depresi antara lain: suasana perasaan

sedih/murung, kehilangan minat/kesenangan (menurunnya

semangat dalam melakukan aktivitas), mudah, lelah, gangguan

tidur, konsentrasi menurun, gangguan pola makan, kepercayaan

diri yang berkurang, pesimistis, rasa tidak berguna/rasa bersalah

Diagnosis Banding

GangguanCemas AnxietasOrganik, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat,Gangguan Depres

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6. Diagram Alir (jikadibutuhkan)

 

 

 

7. Unit terkait

 

 

 

8.Rekaman

Historis

Perubahan

 

 

             

             

             

             

             

             

             

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KabupatenBanyumas

SPO GGN. PSIKOTIK

 

 

 

 

 

SPO

No. Dokumen  :

No. Revisi        :

Tanggal Terbit :

Halan          : 2/

    Nama

Puskesmas........

TTD  KAPUS

 

 

Nama dan gelar Kepala

   Nip..................................

1.Pengertian

 

Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat

dalam menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain

dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.

 

 

2. Tujuan

 

Mampu mendiagnosis dan melakukan terapi dan perujukan pada pasien dengan gangguan psikotik

 

 

 

 

3. Kebijakan

 

 

Berlaku pada semua pasien gangguan psikotik

 

 

4. Referensi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5. Prosedur/ Langkah- langkah

 

 Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien mungkin datang dengan keluhan:

1.Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi

2.Tidak dapat tidur, tidak mau makan

3.Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan

4.Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti

5.Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain

6.Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita

7.Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau, perilaku kekerasan

8.Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik

 

Alo danAuto Anamnesis tambahan:

Singkirkan

adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi,

kejang, trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai

penyebab timbulnya keluhan.

Faktor Risiko

1.Adanya faktor biologis yang mempengaruhi,

antara lain

hiperaktivitas sistem dopaminergik dan faktor genetik.

2.Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian

skizoid, paranoid, dependen.

3.Adanya stresor kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik

dari psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu pasien dengan

gangguan psikotik juga sering terdapat gangguan fisik yang menyertai

karena perawatan diri yang kurang.

Pemeriksaan Penunjang

1.Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai

untuk menyingkirkan diagnosis banding gangguan mental organik.

2.Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan

kesehatan tingkat lanjut maka pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertamayang mampu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG.

Penegakan Diagnostik

(Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis

s klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:

1.Halusinasi

(terutama halusinasi dengar); merupakan gangguan

persepsi (persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal.

Halusinasi dapat terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi

dengar, lihat, cium, raba, dan rasa.

2.Waham

(delusi); merupakan gangguan pikiran, yaitu keyakinan

yang salah, tidak sesuai dengan realita dan logika, namun tetap

dipertahankan dan tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun

serta tidak sesuai dengan budaya setempat. Contoh: waham kejar,

waham kebesaran, waham kendali, waham pengaruh.

3.Perilaku kacau atau aneh

4.Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan

tidak dimengerti)

5.Agitatif

6. Isolasi sosial (social withdrawal

7.Perawatan diri yang buruk

Diagnosis Banding

1.Gangguan Mental Organik (Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik)

2.Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza)

3.Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik

4.Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik)

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.Intervensi Psikososial

a.Informasi penting bagi pasien dan keluarga

•Agitasi dan perilaku aneh merupakan gejala gangguan

mental, yang juga termasuk penyakit medis.

•Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi

perjalanan penyakit jangka panjang sulit diprediksi.

Pengobatan perlu dilanjutkan meskipun setelah gejala mereda.

•Gejala-

gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi

dalam menghadapi kekambuhan. Obat merupakan

komponen utama dalam pengobatan. Minum obat secara

teratur akan mengurangi gejala-gejala dan mencegah kekambuhan.

•Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan

(compliance) dan rehabilitasi.

•Organisasi masyarakat dapat menyediakan dukungan yang berharga untuk pasien dan keluarga.

b.Konseling pasien dan keluarga

•Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga

dan minta dukungan mereka. Terangkan bahwa minum

obat secara teratur dapat mencegah keka

 

6. Diagram Alir (jikadibutuhkan)

 

 

 

7. Unit terkait

 

 

 

8.Rekaman

Historis

Perubahan

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No ICPC-2 : P75. Somatization disorder

No ICD-10 : F45 Somatoform disorders

Tingkat Kemampuan 4A

 

Masalah Kesehatan

Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok kelainan psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien namun tidak ditemukan penyebabnya secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis gangguan yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius, gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform sangat mengganggu dan berpotensi menimbulkan distres emosional. Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pada kasus gangguan somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis gangguan somatoform dengan tepat, dan menatalaksana akan sangat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis yang berlebihan atau merugikan.

2. Tujuan

Semua pasien Gangguan somatoform  yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.    KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

  1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform. In Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp. 209–221.
  2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and Treatment. Advances in Psychiatric Treatment, 3(1), pp.9–16. Available at: http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May 26, 2014].
  3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, 60(10), pp.448–453.
  4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp.
  5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health Questionnaire (PHQ) Screeners. Available at: http://www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014].
  6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at: http://www.annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus mempertimbangkan diagnosis gangguan somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut ini:

1.    Keluhan atau gejala fisik berulang,

2.    Dapat disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,

3.    Hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat menjelaskan keluhan tesebut,

4.    Onset dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau konflik-konflik,

5.    Pasien biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis,

6.    Dapat terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter menerima persepsinya bahwa keluhan yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

 

Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis dilakukan untuk menggali pemahaman dan persepsi pasien mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter harus mengklarifikasi keluhan-keluhan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu, perlu pula digali harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang mungkin pasien miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan menjadi penyebab gangguan.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang spesifik yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan somatoform. Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan untuk mengeksklusi kelainan organik yang dianggap relevan dengan keluhan pasien. Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan perlu dihindari agar tidak menambah kekhawatiran pasien.

 

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memikirkan diagnosis gangguan somatoform bila pada pasien terdapat keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya (lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)). Dalam praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining gangguan somatoform. Salah satu contohnya adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ- 15). Berikut ini adalah langkah-langkah pendekatan terhadap keluhan fisik pasien hingga dokter sampai pada kesimpulan diagnosis gangguan somatoform:

1.    Mengeksklusi kelainan organik

Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan.

2.    Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok dan blok yang hirarkinya lebih tinggi. Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, gangguan somatoform memiliki kode F45 dan merupakan blok penyakit yang termasuk dalam kelompok F40-F48, yaitu gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan yang berkaitan dengan stres. Dengan demikian, pada kasus gangguan somatoform, dokter perlu mengeksklusi gangguan mental organik (F00-F09), gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham (F20-F29), serta gangguan suasana perasaan atau mood atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-F48 sendiri, dokter perlu terlebih dahulu memastikan ada tidaknya tanda-tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif atau konversi (F44). Gangguan somatoform tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda pada pasien memenuhi kriteria diagnostik gangguan di hirarki yang lebih tinggi.

 

3.    Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan malingering

Pada kondisi factitious disorder, pasien mengadopsi keluhan-keluhan fisik, tanpa ia sadari, sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk mendapat perhatian lebih dari orang-orang tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya dengan kondisi malingering, di mana pasien sengaja atau berpura-pura sakit untuk memperoleh keuntungan eksternal, misalnya: agar terhindar dari tanggung jawab atau kondisi tertentu, atau untuk memperoleh kompensasi uang tertentu). Pada gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang coba didapat oleh pasien. Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu yang disengaja, malahan adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan, dan diperparah oleh kekhawatiran dan ketakutan tertentu (Oyama et al. 2007).

4.    Menggolongkan ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik

 

Blok gangguan somatoform terdiri atas:

a.    F45.0. Gangguan somatisasi

b.    F45.1. Gangguan somatoform tak terinci

c.     F45.2. Gangguan hipokondrik

d.    F45.3. Disfungsi otonomik somatoform

e.    F45.4. Gangguan nyeri somatoform menetap

f.      F45.5. Gangguan somatoform lainnya

g.    F45.6. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT)

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar pengelolaan pasien dengan gangguan somatoform:

1.    Dokter harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan gejala pada tubuhnya dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut mengganggu pasien. Dokter perlu melatih diri untuk tidak terlalu prematur menganggap pasien berpura-pura (malingering) tanpa didukung bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan somatoform adalah membangun kemitraan dengan dan kepercayaan dari pasien.

2.    Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu mendiskusikan kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis gangguan somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan pasien.

3.    Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan berempati dan menghindari konfrontasi. Dokter harus menunjukkan kesungguhan untuk membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima pendapat dokter.

4.    Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu harus dihindari. Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati dalam menganjurkan pemeriksaan atau rujukan.

5.    Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-hari, bukan gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan.

6.    Dokter perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien mungkin perlu dibantu untuk mengindentifikasi serta mengelola stres secara efektif, misalnya dengan relaksasi, breathing control. Peningkatan aktifitas fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue dan nyeri muskuloskeletal

7.    Bila gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter harus mengintervensi dengan tepat.

8.    Dokter perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5 – 10 menit, terutama untuk memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu membatasi dan menghindari konsultasi via telepon atau kunjungan-kunjungan yang bersifat mendesak.

9.    Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat penegakan diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain, atau terkait pengobatan.

 

Non-medikamentosa

Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter memposisikan diri sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau memperparah gejala fisik yang dialami, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal sebagai behavioral experiments.

 

Medikamentosa

Penggunaan obat harus berdasarkan indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang menunjukkan efektifitas yang signifikan dari penggunaan obat-obat untuk tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi atau ansietas yang mengganggu.

 

Prognosis

1. Ad vitam : Bonam

2. Ad functionam :Dubia

3. Ad sanationam :Dubia

 

Sebagian pasien tidak menunjukkan respon positif atas tatalaksana yang dilakukan dan gangguan somatoform terus berlanjut bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi pada 0,2 – 0,5% anggota populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi hambatan pada fungsi sosial dan okupasi sehari-hari.

 

Peralatan

Untuk keperluan skrining, dapat disediakan lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter. Selain itu, tidak ada peralatan khusus yang diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana gangguan somatoform.

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

 

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

 

 

Penanganan GASTRITIS

 

 

 

 

 

 

 

Puskesmas Patikraja

SPO

No. Kode                  :  6/ 13/   013

 

Ditetapkan  Oleh Kepala Puskesmas Patikraja

 

 

 

 

 

 

 

Priyono,SKM.MM

NIP: 19590215 198012 1 007

Terbitan                    :01

No. Revisi                : 0        

Tgl. Mulai Berlaku  :1 Februari 2013.

Halaman                   : 1- 2                 

No. Kode                  : B/ VI/ BPU/ SPO/ 6/ 13/013.

 

8.      

Ruang Lingkup

Protap ini mencakup diagnosis dan tata laksana gastritis

9.      

Tujuan

Memberikan tata laksana yang tepat pada pasien gastritis.

10.   

Kebijakan

Berlaku untuk semua pasien.

11.   

Referensi

Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)

12.   

Prosedur

1.  Hasil Anamnesis (Subjective)

1.1 Keluhan

Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung.

 

1.2 Faktor risiko

a.    Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi makan yang besar

b.    Sering minum kopi dan teh

c.     Infeksi bakteri atau parasit

d.    Pengunaan obat analgetik dan steroid

e.    Usia lanjut

f.      Alkoholisme

g.    Stress

h.    Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, Chron disease

.

2.  Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)

2.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Patognomonis

1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.

2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena.

3. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis.

 

Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan pemeriksaan:

1. Darah rutin.

2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaanUreabreath test dan feses.

3. Rontgen dengan barium enema.

4. Endoskopi

 

 

 

 

3.  Penegakan Diagnostik (Assessment)

 

3.1 Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.

 

3.2 Diagnosis Banding

a.  Kolesistitis

b.  Kolelitiasis

c.  Chron disease

d.  Kanker lambung

e.  Gastroenteritis

f.    Limfoma

g.  Ulkus peptikum

h.  Sarkoidosis

i.    GERD

 

3.3 Komplikasi

a.  Pendarahan saluran cerna bagian atas

b.  Ulkus peptikum

c.  Perforasi lambung

d.  Anemia

.

4. Penatalaksanaan

Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hari.

 

5   Konseling dan Edukasi

Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.

 

6. Kriteria Rujukan

1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.

2. Terjadi komplikasi.

3. terdapat alarm symptoms

 

 

4.      

Distribusi

 

5.      

Dokumen Terkait

3.  Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

4.  Kepala Puskesmas

 

 

9.   Rekaman Historis

No

Halaman

Yang dirubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.   PENGERTIAN

Gastroenteritis adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare, yaitu buang air besar lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lender, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam, dan disertai dengan muntah, demam, rasa tidak enak di perut dan menurunnya nafsu makan.

2.   TUJUAN

Sebagai acuan dalam penanganan Pasien menderita Gastroenteritis akut di IGD UPT Puskesmas DTP Sedong.

3.   KETERAMPILAN PETUGAS

1.   Dokter Umum

2.   Perawat

3.   Bidan

4.   PERALATAN

1.       Tensimeter

2.       Thermometer

3.       Timbangan Injak

4.       Ranjang Periksa

5.       Stetoskop

6.       Senter

7.       Handscoen

8.       Buku Register pasien

5.   URAIAN UMUM

1.       Pasien datang ke UGD karena buang air besar (BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual dan muntah serta tenesmus.

2.       Dilakukan pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan penunjang sederhana

a.   Pemeriksaan fisik terutama derajat dehidrasi

Gejala

Derajat Dehidrasi

 

Minimal (< 3%

dari berat badan)

Ringan sampai sedang (3-9% dari berat badan)

Berat (> 9% dari berat badan)

 

Status mental

Baik, sadar penuh

Normal, lemas, atau gelisah, iritabel

Apatis, letargi, tidak sadar

 

 

Rasa haus

Minum normal, mungkin menolak minum

Sangat haus,

sangat ingin minum

Tidak dapat minum

 

 

Denyut jantung

Normal

Normal sampai meningkat

Takikardi, pada kasus berat bradikardi

Kualitas denyut nadi

Normal

Normal sampai menurun

Lemah atau tidak teraba

Pernapasan

Normal

Normal cepat

Dalam

Mata

Normal

Sedikit cekung

Sangat cekung

Air mata

Ada

Menurun

Tidak ada

Mulut dan lidah

Basah

Kering

Pecah-pecah

Turgor kulit

Baik

< 2 detik

> 2 detik

Isian kapiler

Normal

Memanjang

Memanjang, minimal

Ekstremitas

Hangat

Dingin

Dingin

 

Output urin

Normal sampai menurun

Menurun

Minimal

 

b.   Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah Darah rutin (lekosit) untuk memastikan adanya infeksi.

 

3.        Penegakan Diagnosa

Diagnosis  ditegakkan  berdasarkan  anamnesis  (BAB  cair  lebih  dari  3  kali sehari) dan pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB).

 

4.        Penatalaksanaan

Pada  umumnya  diare  akut  bersifat  ringan  dan  sembuh  cepat  dengan sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan evaluasi lebih lanjut.

Terapi dapat diberikan dengan:

a. Memberikan cairan dan diet adekuat

1.     Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat untuk rehidrasi.

2.     Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien.

3.     Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein, karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.

4.     Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung gas, dan mudah dicerna.

b. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat anti diare untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.

Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau antiparasit, atau anti jamur tergantung penyebabnya.

Obat antidiare, antara lain:

a.   Turunan opioid: loperamide, difenoksilat atropine, tinktur opium.

b.   Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai demam, dan penggunaannya harus dihentikan apabila diare semakin berat walaupun diberikan terapi.

c.   Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop.

d.   Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase: Hidrasec 3x 1/ hari

 

Antimikroba, antara lain:

a.   Golongan kuinolon yaitu ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau

b.   Trimetroprim/Sulfamethoxazole 160/800 2x 1 tablet/hari.

c.   Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, metronidazole dapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.

d.   Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi. Terapi probiotik dapat mempercepat penyembuhan diare akut.

 

Apabila  terjadi  dehidrasi,  setelah  ditentukan  derajat dehidrasinya,  pasien ditangani dengan langkah sebagai berikut:

a.     Menentukan jenis cairan yang akan digunakan

Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan oralit yang hipotonik, Cairan lain adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena

b.     Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan

c.     Menentukan jadwal pemberian cairan:

1.     Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.

2.     Satu jam berikutnya/ jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok dapat diganti cairan per oral.

3.     Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss.

Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila ditemukan:

a.   Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus dianalisa lebh lanjut.

b.   Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam 38.5C,

c.   nyeri abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun

d.   Pasien usia lanjut

e.   Muntah yang persisten

f.    Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable.

g.   Terjadinya outbreak pada komunitas

h.   Pada pasien yang immunocompromised.

 

Kriteria Rujukan

a.   Tanda dehidrasi berat

b.   Terjadi penurunan kesadaran

c.   Nyeri perut yang signifikan

d.   Pasien tidak dapat minum oralit

e.  Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan

6. DIAGRAM ALIR

 

 

 

 

 

 

Pasien diberikan pengantar ke laboratorium

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Perawat / Bidan Melakukan Pengkajian awal klinis sesuai SOP Pengkajian awal klinis

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Pasien dipanggil berdasarkan nomor urut

Pasien masuk ke ruang pemeriksaan Dokter / Dokter Gigi

Pasien mengambil obat di apotek

Dokter melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik

Dokter menegakkan diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengacu pada standar profesi dan standar asuhan (PMK no 5 tahun 2014)

ada indikasi pemeriksaan penunjang

Perawat mencatat hasil pemeriksaan, laboratorium dan terapi, maupun rujukan kedalam buku register harian pasien poli umum.

Pasien membutuhkan pelayanan atau tindakan lebih lanjut

Pasien diberikan rujukan internal atau rujukan eksternal.

Pasien diberikan resep obat sesuai dengan Diagnosa yang mengacu pada standar profesi dan standar asuhan (PMK no 5 tahun 2014)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


7.   UNIT TERKAIT

 

a.   UGD

b.   Puskesmas Pembantu.

 

8.   Dokumen Terkait

a.   Buku Family Folder

b.   Buku register harian pasien poli umum

c.   Kertas resep

d.   Surat Rujukan

9.       Rekaman historis

      perubahan

 

No

Yang diubah

Isi perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

 

 

Penanganan GERD

 

 

SPO

No. Kode                  :  6/ 13/   013

 

Ditetapkan  Oleh Kepala Puskesmas Patikraja

 

 

 

 

 

 

 

Priyono,SKM.MM

NIP: 19590215 198012 1 007

Terbitan                    :01

No. Revisi                : 0        

Tgl. Mulai Berlaku  :1 Februari 2013.

Halaman                   : 1- 2                 

No. Kode                  : B/ VI/ BPU/ SPO/ 6/ 13/013.

 

13.   

Ruang Lingkup

Protap ini mencakup diagnosis dan tata laksana GERD

14.   

Tujuan

Memberikan tata laksana yang tepat pada pasien GERD.

15.   

Kebijakan

Berlaku untuk semua pasien.

16.   

Referensi

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004

17.   

Prosedur

6.  Hasil Anamnesis (Subjective)

1.1 Keluhan

Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai muntah, atau timbul rasa asam di mulut.

Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan volume besar dan berlemak. Keluhan ini diperberat dengan posisi berbaring terlentang. Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena makanan berupa saos tomat, peppermint, coklat, kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul pada malam hari.

1.2 Faktor risiko

Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok, konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja yang sering mengangkat beban berat.

 

7.  Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)

2.1 Pemeriksaan Fisik

Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD. Tindakan untuk pemeriksaan adalah dengan pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya positif, maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI (Proton Pump Inhibitor).

 

8.  Penegakan Diagnostik (Assessment)

 

3.1 Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi dengan PPI test, bila memberikan respon positif terhadap terapi, maka diagnosis definitif GERD dapat disimpulkan.

Standar baku untuk diagnosis definitif GERD adalah dengan endoskopi saluran cerna bagian atas yaitu ditemukannya mucosal break di esophagus namun tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis yang memiliki kompetensi tersebut.

 

3.2 Diagnosis Banding

Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia, Ulkus peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis

 

 

3.3 Komplikasi

Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan esofagus, Striktur esophagus, Barret’s esophagus, Adenokarsinoma, Batuk dan asma, Inflamasi faring dan laring, Aspirasi paru.

 

4. Penatalaksanaan

1. Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI) dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat perbaikan gejala yang signifikan (50-75%) maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD. PPI dosis tinggi berupa omeprazol 2 x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 mg/hari.

2. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu dan boleh ditambah dengan prokinetik seperti domperidon 3 x 10 mg.

3. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka penggunaan H2 Blocker 2 x / hari: simetidin 400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau famotidin 20 mg.

 

Pemeriksaan penunjang dilakukan pada fasilitas layanan sekunder (rujukan) untuk endoskopi dan bila perlu biopsi

 

6   Konseling dan Edukasi

Edukasi untuk melakukan modifikasi gaya hidup yaitu dengan mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2 sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak.

 

6. Kriteria Rujukan

1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil

2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun kambuh kembali

3. Adanya alarm symptom:

a. Berat badan menurun

b. Hematemesis melena

c. Disfagia (sulit menelan)

d. Odinofagia (sakit menelan)

e. Anemia

 

 

9.      

Distribusi

 

10.   

Dokumen Terkait

5.  Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

6.  Kepala Puskesmas

 

 

10.       Rekaman Historis

No

Halaman

Yang dirubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGERTIAN

Reaksi gigitan serangga adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan,dan kontak dengan serangga.Gigitan hewan serangga,misalnya oleh nyamuk,lalat,bugs dan kutu,yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik  

 

TUJUAN

 

. Sebagai acuan dalam melaksanakan langka-langka dalam penatalaksanaan reaksi gigitan serangga

 

KEBIJAKAN

Keputusan kepala UPT puskesmas Gedongan nomor 188.4/34/417.302.1/2016

REFERENSI

Permenkes RI No.5 Th 20014 ttg Panduan Dasar Klinis Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

PROSEDUR

Anamnesa

a.    Gatal nyeri, kemerahan,nyeri tekan,hangat atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit

b.    Sesak nafas,demam malaise,sakit kepala

Pemeriksaan fisik

a.    Urtika dan papul timbul secara simultan di tempat gigitan,dikelilingi eritematosa

b.    Dibagian tengah tampak titik bekas gigita/tusukan

c.     Takipneu,stridor,wheezing,bronkospasme

d.    Hiperaktif peristaltik

e.    hipotensi

 

PENATALAKSANAAN

a.    atasi keadaan akut

bila disertai obstruksi saluran nafas berikan adrenalin subkutan,dilanjutkan dengan pemberian prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari,dosis diturunkan 5-10 mg/hari

b.    kondisi stabil

1.    antihistamin sistemik: chlorpheniramin maleat 3X4mg selama 7 hari atau loratadin 1X10 mg perhari selama 7 hari

2.    topikal : kortikosteroid topikal : betametason 0,5% diberikan selama 2 kali sehari selama 7 hari

c.     konseling dan edukasi

keluarga diberikan penjelasan mengenai:

1.    minum obat secara teratur

2.    menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal

3.    hindari gigitan serangga

 

KRITERIA RUJUKAN

Jika kondisi memburuk,yaitu dengan makin bertambahnya eritema,timbul bula atau disertai gejala sistemik atau komplikasi

 

 Unit terkait

UGD

Rekaman historis perubahan

 

 

No

Halaman

Yang Dirubah

Perubahan

Diberlakukan tanggal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GLAUKOMA AKUT

 

SPO

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : F93 Glaucoma

No. ICD-10 : H40.2 Primary angle-closure glaucoma

Tingkat Kemampuan 3B

 

Masalah Kesehatan

Glaukoma akut adalah glaukoma yang diakibatkan peninggian tekanan intraokular yang mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat primer atau sekunder. Glaukoma primer timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma sekundertimbul sebagai penyulit penyakit mata lain ataupun sistemik. Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Bila tekanan intraokular yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera akan mengakibatkan kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang permanen.

2. Tujuan

Semua pasien yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.   KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.   Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.

3.   Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.

4.   James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.

5.   Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.

6.   Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

7.   Vaughan, D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

8.   Sumber Gambar http://www.studyblue.com

5.Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1.   Mata merah

2.   Tajam penglihatan turun mendadak

3.   Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala

4.   Mual dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi)

 

Faktor Risiko

Bilik mata depan yang dangkal

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

1.   Visus turun

2.   Tekanan intra okular meningkat

3.   Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier, injeksi konjungtiva

4.   Edema kornea

5.   Bilik mata depan dangkal

6.   Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif

 

 

Gambar 4.3. Injeksi silier pada glaukoma

Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.

 

Diagnosis Banding:

1.   Uveitis Anterior

2.   Keratitis

3.   Ulkus Kornea

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan tingkat pertama bertujuan menurunkan tekanan intra okuler sesegera mungkin dan kemudian merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit.

1.   Non-Medikamentosa

Pembatasan asupan cairan untuk menjaga agar tekanan intra okular tidak semakin meningkat

2.   Medikamentosa

a.   Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari.

b.   KCl 0.5 gr 3 x/hari.

c.    Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.

d.   Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari

e.    Terapi simptomatik.

 

Konseling dan Edukasi

Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata dengan glaukoma akut tergolong kedaruratan mata, dimana tekanan intra okuler harus segera diturunkan

 

Kriteria Rujukan

Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan setelah penanganan awal di layanan tingkat pertama.

 

Peralatan

1.   Snellen chart

2.   Tonometri Schiotz

3.   Oftalmoskopi

 

Prognosis

1.   Ad vitam : Bonam

2.   Ad functionam : Dubia ad malam

3.   Ad sanationam : Dubia ad malam

 

6.Diagram Alur

 

7.Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : F93 Glaucoma

No. ICD-10 : H40.2 Primary angle-closure glaucoma

Tingkat Kemampuan 3B

 

Masalah Kesehatan

Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang umumnya ditandai kerusakan saraf optik dan kehilangan lapang pandang yang bersifat progresif serta berhubungan dengan berbagai faktor risiko terutama tekanan intraokular (TIO) yang tinggi. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak. Kebutaan karena glaukoma tidak bisa disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut.

2. Tujuan

Semua pasien yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.   KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.   Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.

3.   Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.

4.   James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.

5.   Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.

6.   Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

7.   Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

8.   Sumber Gambar:http://www.onmedica.com/

5.Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi dan berbeda tergantung jenis glaukoma. Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi glaukoma kronis primer dan sekunder.

1.   Umumnya pada fase awal, glaukoma kronis tidak menimbulkan keluhan, dan diketahui secara kebetulan bila melakukan pengukuran TIO

2.   Mata dapat terasa pegal, kadang-kadang pusing

3.   Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah

4.   Mungkin ada riwayat penyakit mata, trauma, atau pemakaian obat kortikosteroid

5.   Kehilangan lapang pandang perifer secara bertahap pada kedua mata

6.   Pada glaukoma yang lanjut dapat terjadi penyempitan lapang pandang yang bermakna hingga menimbulkan gangguan, seperti menabrak-nabrak saat berjalan.

 

Faktor Risiko

1.   Usia 40 tahun atau lebih

2.   Ada anggota keluarga menderita glaukoma

3.   Penderita miopia, penyakit kardiovaskular, hipertensi, hipotensi, vasospasme, diabetes mellitus, dan migrain

4.   Pada glaukoma sekunder, dapat ditemukan riwayat pemakaian obat steroid secara rutin, atau riwayat trauma pada mata.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh trias glaukoma, yang terdiri dari:

1.   Peningkatan tekanan intraokular

2.   Perubahan patologis pada diskus optikus

3.   Defek lapang pandang yang khas.

 

Pemeriksaan Oftalmologis

1.   Visus normal atau menurun

2.   Lapang pandang menyempit pada tes konfrontasi

3.   Tekanan intra okular meningkat

4.   Pada funduskopi, rasio cup / disc meningkat (rasio cup / disc normal: 0.3)

 

Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis.

 

Diagnosis Banding:

1.   Katarak

2.   Kelainan refraksi

3.   Retinopati diabetes / hipertensi

4.   Retinitis pigmentosa

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan tingkat pertama bertujuan mengendalikantekanan intra okuler dan merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit.

 

Pengobatan umumnya medikamentosa dengan obat-obat glaukoma, contohnya Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari. Jenis obat lain dapat diberikan bila dengan 1 macam obat TIO belum terkontrol

 

Konseling dan Edukasi

1.   Memberitahu keluarga bahwa kepatuhan pengobatan sangat penting untuk keberhasilan pengobatan glaukoma.

2.   Memberitahu pasien dan keluarga agar pasien dengan riwayat glaukoma pada keluarga untuk memeriksakan matanya secara teratur.

 

Kriteria Rujukan

Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera setelah penegakan diagnosis.

 

Peralatan

1.   Snellen chart

2.   Tonometer Schiotz

3.   Oftalmoskop

 

Prognosis

1.   Ad vitam : Bonam

2.   Ad functionam : Dubia ad malam

3.   Ad sanationam : Dubia ad malam

 

6.Diagram Alur

 

7.Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

1.     Pengertian

Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) yang memiliki insidensi tinggi.Cara penularan gonore terutama melalui genitor-genital, orogenital dan ano-genital, namun dapat pula melalui alat mandi, termometer dan sebagainya (gonore genital dan ekstragenital).

 

2.     Tujuan

Mendiagnosis dan melakukan pengobatan yang tepat terhadap pasien gonore

3.     Kebijakan

 

4.     Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5.     Prosedur / Langkah-langkah

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi pada organ genital yang terkena.

Pada pria, keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan nyeri saat terjadi ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual.

Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai perasaan tidak enak di perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing hingga hematuri, serta retensi urin, dan obstipasi.

Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan obyektif. Wanita umumnya datang setelah terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan antenatal atau Keluarga Berencana (KB).

Keluhan yang sering menyebabkan wanita datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina, disertai dengan disuria, dan nyeri abdomen bawah.

Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah pada neonatus dan dapat terjadi keluhan sistemik (endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada gonore diseminata – 1% dari kasus gonore).

Faktor Risiko

  1. Berganti-ganti pasangan seksual.
  2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK).
  3. Wanita usia pra pubertas dan menopause lebih rentan terkena gonore.
  4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
  5. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tampak eritem, edema dan ektropion pada orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal uni atau bilateral.

Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus eritem, edem dan

tertutup pus mukopurulen.

Pada pria:

Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk memeriksa prostat:

pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat abses akan teraba fluktuasi.

Pada wanita:

Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila wanita tesebut sudah menikah. Pada pemeriksaan tampak serviks merah, erosi dan terdapat secret mukopurulen.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung duh tubuh dengan pewarnaan gram untuk menemukan kuman gonokokus gram negarif, intra atau ekstraseluler. Pada pria sediaan diambil dari daerah fossa navikularis, dan wanita dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan rektum.

Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes thomson dengan sediaan urin

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi

Berdasarkan susunan anatomi genitalia pria dan wanita:

  1. Uretritis gonore
  2. Servisitis gonore (pada wanita)

Diagnosis Banding

Infeksi saluran kemih, Faringitis, Uretritis herpes simpleks, Arthritis inflamasi dan septik, Konjungtivitis, endokarditis, meningitis dan uretritis non gonokokal

Komplikasi

Pada pria

Lokal : tynositis, parauretritis, litritis, kowperitis.

Asendens : prostatitis, vesikulitis, funikulitis, vasdeferentitis,

epididimitis, trigonitis.

Pada wanita

Lokal : parauretritis, bartolinitis.

Asendens : salfingitis, Pelvic Inflammatory Diseases (PID).

Disseminata : Arthritis, miokarditis, endokarditis, perkarditis,

meningitis, dermatitis.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

  1. Memberitahu pasien untuk tidak melakukan kontak seksual hingga dinyatakan sembuh dan menjaga kebersihan genital.
  2. Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis tunggal, atau Ofloksasin 400 mg (p.o) dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra Muskular (I.M) dosis tunggal.

Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa muda.

Rencana Tindak Lanjut :-

Konseling dan Edukasi :-

Kriteria Rujukan

  1. Apabila tidak dapat melakukan tes laboratorium.
  2. Apabila pengobatan di atas tidak menunjukkan perbaikan dalam jangka waktu 2 minggu, penderita dirujuk ke dokter spesialis karena kemungkinan terdapat resistensi obat.

6.     Diagram alir / jika dibutuhkan

 

7.     Unit Terkait

BP UMUM, KIA, LABORATORIUM, KLINIK IMS

 

 

 

 

 

 

 

 

LAYANAN KLINIS GOUT ARTRITIS

 

 

 

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen

:

No. Revisi

:

Tanggal Terbit

:

Halaman

:

 

 

 

 

 

 

1. Pengertian

Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dl pada pria dan pada wanita 6 mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam urat, atau kombinasi dari keduanya.

Gout adalah radang sendi yang diakibatkan deposisi kristal monosodium urat pada jaringan sekitar sendi.

2. Tujuan

Mengobati pasien dengan Gout Artritis yang datang berobat ke Puskesmas

3. Kebijakan

 

4. Prosedur

1.    Petugas mempersiapkan alat pemeriksaan berupa tensimeter, stetoskop, dan laboratorium Sederhana

2.    Menanyakan keluhan pasien. Keluhan yang sering ditemui adalah bengkak dan nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pada malam hari. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan. Keluhan juga dapat disertai demam, menggigil, dan nyeri badan.  Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya pada 1 sendi dan keluhan dapat menghilang dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan.

3.    Mencari faktor resiko yang berupa :

a)    Usia & Jenis kelamin

b)     Obesitas

c)    Alkohol

d)    Hipertensi

e)    Gangguan Fungsi Ginjal

f)      Penyakit-penyakit metabolik

g)    Pola diet

h)    Obat : Aspirin dosis rendah, Diuretik, obat-obat TBC

4.   Mencari faktor pencetus timbulnya serangan nyeri sendi trauma lokal, diet tinggi purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, penggunaan diuretik, penggunaan obat yang dapat meningkatkan kadar asam urat.

5.    Melakukan pemeriksaan fisik dasar. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan Keadaan umum: Tampak sehat atau kesakitan akibat nyeri sendi.  Arthritis monoartikuler dapat ditemukan, biasanya melibatkan sendi MTP-1 atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang mengalami inflamasi tampak kemerahan dan bengkak.

6.    Melakukan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan pembengkakan asimetris pada sendi dan kista subkortikal tanpa erosi pada pemeriksaan radiologis.  Kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl.

7.    Menegakkan diagnosis klinis yang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan untuk diagnosis definitifGout arthritis adalah ditemukannya kristal urat (MSU) di cairan sendi atau tofus.

8.    Menemukan gambaran klinis hiperurisemia, yang berupa :

a)    Hiperurisemia asimptomatis.

Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi klinis berarti. Serangan arthritis biasanya muncul setelah 20 tahun fase ini.

b)    Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu:

                  i.         Stadium akut

                ii.         Stadium interkritikal

               iii.         Stadium kronis

c)    Penyakit Ginjal

9.    Menentukan diagnosis banding yang berupa : sepsis arthritis dan rheumatoid arthritis.

10. Menentukan komplikasi hiperurisemia, yaitu bisa menimbulkan terbentuknya batu ginjal dan keadaan terminal berupa gagal ginjal.

11. Memberikan tatalaksana berupa :

a)    Mengatasi serangan akut segera. Bisa dengan menggunakan :

                  i.         Kolkisin (Efektif pada 24 jam pertama setelah serangan nyeri sendi timbul. Dosis oral 0.5-0.6 mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg.

                ii.         Kortikosteroid sistemik (bila NSAID dan Colchicine tidak berespon baik) seperti prednison 2-3x5 mg/hari selama 3 hari

               iii.         NSAID seperti Natrium Diklofenak 25-50 mg selama 3-5 hari

b)    Program pengobatan unutk mencegah serangan berulang dengan obat : analgesik dan kolkisin dosis rendah

c)    Mengelola hiperurisemia (menurunkan kadar asam urat) & mencegah komplikasi lain

                  i.         Agen penurun asam urat (tidak digunakan selama serangan akut).Pemberian Allupurinol dimulai dari dosis terendah, 100mg, kemudian bertahap dinaikkan bila diperlukan, dengan dosis maksimal 800mg/hari. Target terapi adalah kadar asam urat < 6mg/dl.

                ii.         Modifikasi gaya hidup, dengan minum cukup (8-10 gelas/hari), mengelola obesitas dan menjaga berat badan ideal, mengurangi konsumsi alkohol, dan pola diet sehat (rendah purin)

12. Mempertimbangkan rujukan Apabila pasien mengalami komplikasi atau pasien memiliki penyakit komorbid, perlu dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam.

5. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

6. Unit Terkait

Poli Umum, Laboratorium, Radiologi

 

7. Rekaman Historis

 

No.

Halaman

Yang Diubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8. Bagan

PUSKESMAS II KEMRANJEN

 

 

 

Dr.M.Amir Fuad

NIP 19600217 198309 1 001

1. Pengertian

No. ICPC-2 : D95 Anal fissure/perianalabscess

No. ICD-10 : I84 Haemorrhoids

Tingkat Kemampuan 4A

 

Hemoroidadalahpelebaran vena-vena didalampleksushemoroidalis.

 

2. Tujuan

Semua pasien hemoroid grade 1-2 yang datang ke Puskesmas II Kemranjen mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Anamnesis (Subjective)

1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah berwarna merah segar. Darah dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi.

2. Prolapssuatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat kembali spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan secara manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi.

3. Pengeluaran lendir.

4. Iritasi didaerah kulit perianal.

5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah, pucat).

 

Faktor Risiko

1. Penuaan

2. Lemahnya dinding pembuluh darah

3. Wanita hamil

4. Konstipasi

5. Konsumsi makanan rendah serat

6. Peningkatan tekanan intraabdomen

7. Batuk kronik

8. Sering mengedan

9. Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu yang lama di toilet)

 

 

 

PemeriksaanFisikdanPenunjangSederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Periksa tanda-tanda anemia

2. Pemeriksaan status lokalis

a. Inspeksi:

• Hemoroid derajat 1, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan diregio anal.

• Hemoroid derajat 2, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar melalui anus, akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit dapat terlihat sebagai pembengkakan.

 

• Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar akan segera dapat dikenali dengan adanya massa yang menonjol dari lubang anus yang bagian luarnya ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna keunguan atau merah.

 

 

b. Palpasi:

• Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi.

• Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari tangan meraba sekitar rektum bagian bawah.

 

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan infeksi.

 

Penegakan diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

 

Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :

1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian proksimaldentateline dan dilapisi mukosa

 

Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu :

a. Grade 1 : hemoroid mencapai lumen anal kanal

b. Grade 2 : hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.

c. Grade 3 : hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali secara manual oleh pasien.

d. Grade 4 : hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal meski dimasukkan secara manual

 

 

2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentateline dan dilapisi oleh epitel mukosa yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri somatik.

 

Diagnosis Banding

KondilomaAkuminata, Proktitis, Rektalprolaps

 

Komplikasi

Anemia

 

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

 

Penatalaksanaan Hemoroid di layanan tingkat pertama hanya untuk hemoroid grade 1 dengan terapi konservatif medis dan menghindari obat-obat anti-inflamasinon-steroid, serta makanan pedas atau berlemak.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada pasien hemoroid.

Konseling dan Edukasi

Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan hemoroid. Pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan cara:

1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk membuat feses menjadi lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus.

2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari.

3. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segerakan ke kamar mandi saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan.

 

Kriteria Rujukan:

Hemoroid internagrade 2, 3, dan 4 dan hemoroid eksterna memerlukan penatalaksanaan di pelayanan kesehatan sekunder.

 

Peralatan

Sarung tangan

 

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam

 

6. Diagram Alur

-

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

8.Rekaman HistorisPerubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggalmulaidiberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

accreditation of primary health facilities

CHAPTER 1 Leadership and Management of Community Health Centers; CHAPTER 2 Implementation of Public Health Efforts Oriented to Promotive an...