PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
Pengertian |
No.
ICPC-2 : S96 Acne No.
ICD-10 : L70.0 Acne vulgaris A Tingkat
Kemampuan 4A Masalah
Kesehatan Akne vulgaris adalah penyakit
peradangan kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi dengan peningkatan
produksi sebum, perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari
bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim untuk penyakit ini adalah
jerawat. Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, pria16-19
tahun lesi yang utama adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai pula lesi
beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi pada premenarke.
Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang, namun kadang-kadang
menetap sampai dekade ketiga terutama pada wanita. Ras oriental (Jepang,
Cina, Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras
kaukasia (Eropa, Amerika). |
|||||||||
Tujuan |
Semua
pasien Akne Vulgaris
Ringan yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
prosedur |
|||||||||
Kebijakan |
Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan
Klinis Puskesmas Karanglewas |
|||||||||
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama |
|||||||||
Prosedur |
Hasil
Anamnesis (Subjective) Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi
di lokasi predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun masalah estetika
umumnya merupakan keluhan utama. Faktor
Risiko: Usia remaja, stress emosional, siklus
menstruasi, merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga, banyak makan makanan
berlemak dan tinggi karbohidrat Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan
Fisik Tanda
patognomonis Komedo berupa papul miliar yang
ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam disebut komedo
hitam (black comedo, open comedo) dan bila berwarna putih disebut
komedo putih atau komedo tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi
kulit polimorfi dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang
tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang beradang. Tempat predileksi adalah di muka,
bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya
di leher, lengan atas, dan kadang-kadang glutea. Gradasi yang menunjukan berat
ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Sedikit bila kurang dari 5, beberapa
bila 5-10, banyak bila lebih dari 10 lesi Tak
beradang : komedo putih, komedo hitam, papul Beradang
: pustul, nodus, kista Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum,
yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna)
ditemukan sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti
lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam. Pemeriksaan
Penunjang Umumnya
tidak diperlukan. Penegakan
Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan
pemeriksaaan fisik. Diagnosis Banding Erupsi akneiformis, Akne venenata,
Rosasea, Dermatitis perioral Penatalaksanaan
(Plan) Penatalaksanaan meliputi usaha untuk
mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat
yang terjadi (kuratif). Pencegahan yang dapat dilakukan :
Pengobatan akne vulgaris ringan dapat
dilakukan dengan memberikan farmakoterapi seperti :
Pengobatan topikal
dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan dan
mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari :
Retinoidtopikal merupakan
obat andalan untuk pengobatan jerawat karena dapat menghilangkan komedo,
mengurangi pembentukan mikrokomedo, dan adanya efek antiinflamasi.
Kontraindikasi obat ini yaitu pada wanita hamil, dan wanita usia subur harus
menggunakan kontrasepsi yang efektif. Kombinasi retinoid topikal dan
antibiotik topikal (klindamisin) atau benzoil peroksida lebih ampuh
mengurangi jumlah inflamasi dan lesi non-inflamasi dibandingkan dengan
retinoid monoterapi. Pasien yang memakai kombinasi terapi juga menunjukkan
tanda-tanda perbaikan yang lebih cepat. Bahan iritan yang dapat
mengelupas kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8%), resorsinol (1-5%), asam
salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam vitamin A (0,025-0,1%),
asam azelat (15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) misalnya asma glikolat
(3-8%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara pemakaian
berhati-hati dimulai dengan konsentrasi yang paling rendah.
Pengobatan sistemik
ditujukan untuk menekan aktivitas jasad renik disamping juga mengurangi
reaksi radang, menekan produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri sistemik,
misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/hari, eritromisin 4x250 mg/hari. Pemeriksaan
Penunjang Lanjutan
Konseling
dan Edukasi
Kriteria
rujukan
Peralatan
Prognosis
|
|||||||||
Diagram Alur |
|
|||||||||
Unit terkait |
|
|||||||||
Rekaman Historis Perubahan |
|
|
|
|
||||||||||
SPO |
No.Dokumen:SPO/VIII/UKP/ /2016 |
|||||||||||
No.
Revisi : |
||||||||||||
Tanggal
Terbit:04 April 2016 |
||||||||||||
Halaman :1/2 |
||||||||||||
Puskesmas
II Wangon |
|
drg.Imam
Hidayat NIP.196008181989011001 |
||||||||||
1.
Pengertian |
Makanan dapat menimbulkan beraneka
ragam gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap alergen asal makanan.
Reaksi tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Reaksi
alergi makanan terjadi bila alergen makanan menembus sawar gastro intestinal
yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul dalam beberapa menit sampai
beberapa jam, dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, kulit, saluran
napas dan cerna, lokal dan sistemik. |
|||||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan
penerapan langkah-langkah agar......... |
|||||||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas 2 Wangon nomer............. |
|||||||||||
4.
Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015 |
|||||||||||
5.
Prosedur |
Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Pada kulit: eksim dan
urtikaria. 2. Pada saluran pernapasan:
rinitis dan asma. 3. Keluhan pada saluran
pencernaan: gejala gastrointestinal non spesifik dan berkisar dari edema,
pruritus bibir, mukosa pipi, mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan diare.
4. Diare kronis dan
malabsorbsi terjadi akibat reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-E-mediated
seperti pada enteropati protein makanan dan penyakit seliak 5. Hipersensitivitas susu
sapi pada bayi menyebabkan occult bleeding atau frank colitis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada
kulit dan mukosa serta paru. Pemeriksaan Penunjang: - Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan
berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Medika mentosa Riwayat reaksi alergi berat
atau anafilaksis: 1. Hindari makanan penyebab
2. Jangan lakukan uji kulit
atau uji provokasi makanan Rencana Tindak Lanjut 1. Edukasi pasien untuk
kepatuhan diet pasien 2. Menghindari makanan yang
bersifat alergen secara sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi dengan
ahli gizi) 3. Perhatikan label makanan
4. Menyusui bayi sampai
usia 6 bulan menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila
pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi reaksi
anafilaksis. Prognosis Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa
disertai dengan perubahan gaya hidup. |
|||||||||||
6.
Diagram Alir (bila perlu) |
|
|||||||||||
7.
Unit terkait |
SemuaRuangan |
|||||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
|||||||||||
|
ANEMIA DEFISIENSI BESI |
|
||||||||||||||
SOP |
No.
Dokumen |
|
||||||||||||||
No. Revisi |
: 00 |
|||||||||||||||
Tgl.
Terbit |
: |
|||||||||||||||
Halaman |
: |
|||||||||||||||
Puskesmas Rawalo |
|
|
||||||||||||||
1. Pengertian |
Anemia Defisiensi Besi (ADB)
adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. |
|||||||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai acuan Untuk penangan pasien dengan
anemia defisiensi besi |
|||||||||||||||
3. Kebijakan |
|
|||||||||||||||
4. Referensi |
|
|||||||||||||||
5. Prosedur |
1.
Alat dan Bahan Sulfat ferrosus Hb Sahli |
|||||||||||||||
6. Langkah-langkah |
Rencana
tindak lanjut
|
|||||||||||||||
7. Bagan Alir |
Memberikan pengertian ke pasien
dan keluarga Menegakkan diagnosa Memberikan obat sulfat ferosus
3x 200mg Menjelaskan cara minumdan efek
samping obat Bila terjadi efek sampping
hubungi petugas Rencana Tindak lanjut dg
pemeriksaan ke laborat seku nder Petugas memperkenalkan diri |
|||||||||||||||
8. Hal-hal yang perlu diperhatikan |
|
|||||||||||||||
9. Unit terkait |
BP KIA |
|||||||||||||||
10. Dokumen terkait |
1. Rekam Medis 2. Inform consent |
|||||||||||||||
11. Rekaman Historis
Perubahan |
|
Pengertian
|
Anemia dalam kehamilan adalah
kelainan pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl pada trimester I
dan III atau <10,5 g/dl pada trimester II. Penyebab tersering anemia pada
kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan akut, dan defisiensi asam folat. |
Kode Penyakit |
No. ICPC-2 : B80 Irondeficiency anaemia No. ICD-10 : D50 Iron deficiency anaemia |
Tujuan |
Dapat melakukan pengelolaan penyakit yang
meliputi: 1. Anamnesa (Subjective) 2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Sederhana (Objective) 3. Penegakkan Diagnosa (Assessment) 4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) |
Alat & Bahan |
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin |
SOP |
1. Melakukan Anamnesa (Subjective) Keluhan 1. Badan lemah, lesu 2. Mudah lelah 3. Mata berkunang-kunang 4. Tampak pucat 5. Telinga mendenging 6. Pica: keinginan untuk memakan
bahan-bahan yang tidak lazim Faktor Risiko : - Faktor Predisposisi 1. Perdarahan kronis 2. Riwayat keluarga 3. Kecacingan 4. Gangguan intake (diet rendah
zat besi,) 5. Gangguan absorbsi besi 2. Melakukan Pemeriksaan
Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Patognomonis 1. Konjungtiva anemis 2. Atrofi papil lidah 3. Stomatitis angularis (cheilosis) 4. Koilonichia: kuku sendok (spoon
nail), Pemeriksaan Penunjang 1. Kadar hemoglobin 2. Apusan darah tepi 3. Penegakan
Diagnosa (Assessment) Diagnosis Klinis Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I
dan III) atau < 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila diagnosis anemia
telah ditegakkan, lakukan pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat
morfologi sel darah merah. Diagnosis Banding ·
Anemia
akibat penyakit kronik ·
Trait Thalassemia ·
Anemia
sideroblastik 4. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Lakukan penilaian
pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan memantau pertambahan ukuran janin 2. Bila pemeriksaan
apusan darah tepi tidak tersedia, berikan tablet tambah darah yang berisi 60
mg besi elemental dan 250 μg asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia, tablet
besi diberikan 3 kali sehari. 3. Bila tersedia
fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi. Bila tidak tersedia,
pasien bisa di rujuk ke pelayanan sekunder untuk penentuan jenis anemia dan
pengobatan awal. 4. Anemia mikrositik hipokrom dapat
ditemukan pada keadaan: a. Defisiensi besi:
lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml,
berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari.
Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC. b. Thalassemia:
Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan tatalaksana bersama
dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik c. Anemia normositik
normokrom dapat ditemukan pada keadaan: Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala
aborsi, mola, kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan infeksi
kronik d. Anemia makrositik
hiperkrom dapat ditemukan pada keadaan: Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan
vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg Konseling
dan Edukasi 1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan
pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata
laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta
meningkatkan kualitas hidup pasien untuk mencegah terjadinya anemia
defisiensi besi. 2. Diet bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani
(daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau) 3. Pemakaian alas kaki untuk
mencegah infeksi cacing tambang Kriteria
Rujukan 1.
Pemeriksaan penunjang menentukan jenis anemia yang ibu derita 2.
Anemia yang tidak membaik dengan pemberian suplementasi besi selama 3 bulan 3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis, agar dicari sumber perdarahan
dan ditangani. |
Unit Terkait |
Laboratorium, Apotek, Rumah Sakit |
1.
Pengertian |
Anemia adalah suatu keadaan
menurunnya hemoglobin yang menyebabkan penurunan kadar oksigen yang didistribusikan
ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan berbagai keluhan (sindrom anemia). |
||||||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai pedoman petugas
untuk menegakan diagnosis dan penatalaksanaan anemia. |
||||||||||||
3.
Kebijakan |
1.
SK
Kepala UPTD Puskesmas
Cilawu tentang
Kebijakan Pelayanan
Klinis UPTD Puskesmas Cilawu |
||||||||||||
4.
Referensi |
1. Permenkes no 5 tahun 2014 tentang PANDUAN PRAKTIS KLINIS BAGI
DOKTER PELAYANAN PRIMER |
||||||||||||
5.
Prosedur/
langkah-langkah |
1. Anamnesis : -
Keluhan
lemah, letih, lesu, lelah, penglihatan berkunang-kunang, pusing, telinga
berdenging dan penurunan konsentrasi. -
Faktor
resiko : ibu hamil, remaja putri, pemakaian obat
sefalosporin/kloramfenicol jangka panjang, status gizi kurang, faktor ekonomi
kurang. 2. Pemeriksaan
Fisik : -
Pucat,
sianotik, atrofi papil lidah, alopesia, ikterik, rambut kusam, takikardi,
bising jantung, takipneu, konjungtiva pucat .
-
Nilai Hb
normal (WHO) : laki-laki >13 gr%, perempuan >12 gr%, perempuan
hamil >11gr%. 3. Diagnosis
differensial : - Anemia defisiensi besi - Anemia defisiensi vit B12, asam folat - Anemia aplastic - Anemia hemolitik - Anemia pada penyakit kronik 4.
Pemeriksaan penunjang : - Anemia def. Fe : ferritin serum, SI, TIBC - Anemia hemolitik : bilirubin, tes fragilitas osmotic, tes Coombs - Anemia megaloblastik : serum folat, serum kobalamin - Thalassemia : elektroforesisi hemoglobin - Anemia aplastic atau keganasan : biopsy dan aspirasi sumsusm tulang 5.
Terapi : - Atasi penyebab yang mendasarinya - Anemia def. Fe : sulfas ferrosus 3x1 tab , ferrous fumarat 3x1 tab,
ferrous glukonat 3x1 tab - Anemia def. asam folat dan def. B12 : vitamin B12 80 mikrogram, asam
folat 500-1000 mikrogram (ibu hamil 1 mg). 6.
Kriteria rujukan :. - Anemia berat dengan indikasi trasnfusi (Hb< 6gr%). |
||||||||||||
6.
Bagan alir |
|
||||||||||||
7.
Hal-hal yang harus diperhatikan |
|
||||||||||||
8.
Unit
Terkait |
Rawat Inap, BP, PUSTU |
||||||||||||
9.
Dokumen
Terkait |
Rekam medis |
||||||||||||
10.Rekaman Histori Perubahan |
|
PUSKESMAS ABCD |
|
Nama Kepala Puskesmas |
||||||||
1.
Pengertian |
No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina
No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified Tingkat Kemampuan 3B Angina pektoris stabil merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50%
pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina pektoris dilaporkan
terjadi dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur,
dan faktor risiko. Data dari studi Framingham pada tahun 1970 menunjukkan
prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% untuk pria berusia 50 – 59
tahun. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua pasien Angina
Pectoris Stabil yang datang ke
Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai
dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor : …………….
Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
1.
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 2.
Isselbacher, J Kurt. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC. 2000.
(Isselbacher, 2000) 3.
O’Rouke., Walsh., Fuster.
Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed. McGraw-Hill. 2009. (O'Rouke,
et al., 2009) 4.
Priori, S. G., Blanc, J. J.,
(France), Budaj., A., Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein. K., Lekakis,
J., McGregor. K., Metra. M., Morais. J., Osterspey. A., Tamargo, J.,
Zamorano, J. L., Guidelines on the management of stable angina pectoris,
2006, European Heart Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC Committee for
Practice Guidelines (CPG). (Priori, et al., 2006) 5.
Sudoyo, W. Aaru, Bambang
Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.2007.c
(Sudoyo, et al., 2006) |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas,
yaitu seperti rasa ditekan atau terasa seperti ditimpa beban yang sangat
berat. Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri dada
yang mempunyai ciri khas sebagai berikut: 1. Letak Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum
atau di bawah sternum (substernal: tidak dapat melokalisasi), atau dada
sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke
punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di
tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, dan bahu. 2. Kualitas Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan
benda berat, atau seperti diperas atau terasa panas, kadang-kadang hanya
mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan
dengan baik. 3. Hubungan dengan aktivitas Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada
saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau
sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang atau emosi,
sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila
pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina yang timbul pada waktu
istirahat atau pada waktu tidur malam sering akibat angina pektoris tidak
stabil 4. Lamanya serangan Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit,
kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang.
Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mengalami
sindrom koroner akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris
dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang
nyeri dada disertai keringat dingin. 5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin, mual,
muntah, sesak dan pucat. Faktor Risiko Faktor risiko yang tidak dapat diubah: 1. Usia Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan
wanita diatas 55 tahun (umumnya setelah menopause) 2. Jenis kelamin Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK)
pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini
berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal
ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan
laki-laki pada wanita setelah masa menopause. 3. Riwayat keluarga Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini
yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun. Faktor risiko yang dapat diubah: 1. Mayor a. Peningkatan lipid serum b. Hipertensi c. Merokok d. Konsumsi alkohol e. Diabetes Melitus f. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori 2. Minor a. Aktivitas fisik kurang b. Stress psikologik c. Tipe kepribadian Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik 1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat tidak
menunjukkan kelainan. Walau jarang pada auskultasi dapat terdengar derap
atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut
jantung dapat menurun, menetap atau meningkat pada waktu serangan angina. 2. Dapat ditemukan pembesaran jantung. Pemeriksaan Penunjang 1. EKG Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat
serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa
pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina,
dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang tidak khas.
Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan
gelombang T dapat menjadi negatif. Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai
inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang berkas His dan bisa
tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat
sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal
atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan
tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka
disebut sebagai Infark Miokard Akut (IMA). 2. X ray thoraks X ray thoraks sering menunjukkan bentuk jantung yang
normal. Pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan
kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Klasifikasi Angina: 1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris stabil) Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu
pekerjaan, sesuai dengan berat ringannya pencetus, dibagi atas beberapa
tingkatan: a. Selalu timbul sesudah latihan berat. b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan cepat 1/2
km) c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m) d. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan
biasa) 2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris tidak
stabil/ATS) Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun
bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang
mempunyai ciri tersendiri. 3. Angina prinzmetal (Variant angina) Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung
dan sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal
terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian
hilir. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis. Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian
Cardiovascular Society Classification System: 1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak
mencetuskan angina. Angina akan muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas
fisik (berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang lama). 2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas
sedikit/aktivitas sehari-hari (naik tangga dengan cepat, jalan naik, jalan
setelah makan, stres, dingin). 3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan aktivitas
fisik karena sudah timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok
atau naik tangga 1 tingkat. 4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas
sehari-sehari, tidak nyaman, untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa
kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa terjadi angina. Diagnosis Banding Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), Gastritis
akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik Komplikasi Sindrom koroner akut. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Terapi farmakologi: 1. Oksigen dimulai 2 L/menit 2. Nitrat dikombinasikan dengan β-blocker atau
Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan
denyut jantung (misalnya verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada serangan
akut : a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 5
mg peroral sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di pelayanan sekunder. b. Beta bloker: • Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau • Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam. c. Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridine
Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi,
misalnya: • Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari) • Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari) 3. Antipletelet Aspirin 160-320 mg sekali minum pada serangan akut. Konseling dan Edukasi Menginformasikan individu dan keluarga untuk
melakukan modifikasi gaya hidup antara lain: 1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja berat dimana
membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya 2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak 3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol 4. Menjaga berat badan ideal 5. Mengatur pola makan 6. Melakukan olah raga ringan secara teratur 7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan
pengobatan diabetes secara teratur 8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid 9. Mengontrol tekanan darah Kriteria Rujukan Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis
jantung atau spesialis penyakit dalam) untuk tatalaksana lebih lanjut. Peralatan 1. Elektrokardiografi (EKG) 2. Radiologi (X ray thoraks) Prognosis Prognosis umumnya dubia ad bonamjika dilakukan
tatalaksana dini dan tepat. |
|||||||||
6. Diagram
Alur |
|
|||||||||
7. Unit
terkait |
|
|||||||||
8.Rekaman
Historis Perubahan |
|
PUSKESMAS II SUMPIUH |
|
SUJOTO,
SKM. NIP 19600217
198309 1 001 |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-II : D96 Worms/other parasites No. ICD-X : B76.0 Ankylostomiasis B76.1
Necatoriasis Tingkat Kemampuan 4A Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infestasi parasit Necator
americanus dan Ancylostoma
duodenale. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua
pasien ankilostomiasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK
Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
|
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Migrasi larva 1.
Rasa gatal pada kulit 2.
Pneumonitis Cacing dewasa 1.
Gangguan gastrointestinal yaitu anoreksia, mual,
muntah, diare, penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duedenum,
jejunum dan ileum.
2.
Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia
hipokromik mikrositik. 3.
Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara
infeksi sedang dan berat dengan tingkat kecedasan anak. Faktor Risiko 1.
Kurangnya penggunaan jamban keluarga. 2.
Kebiasaan menggunakan tinja sebgai pupuk. 3.
Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan
tanah. 4.
Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) ·
Gejala klinis tergantung jenis spesies cacing, jumlah
cacing, dan keadaan gizi penderita. ·
Pemeriksaan
Fisik 1.
Konjungtiva pucat 2.
Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva
yang menembus kulit disebut sebagai ground
itch. ·
Pemeriksaan
Penunjang Pemeriksaan
mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur atau larva cacing dewasa. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis ·
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Klasifikasi : 1.
Nekatoriasis
2.
Ankilostomiasis
Diagnosis Banding : - Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1.
Memberi
pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
antra lain : a.
Masing-masng
keluarga memiliki jamban keluarga b.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk c.
Menggunakan
alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah. 2.
Famakologis
a.
Pirantel
pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau b.
Mebendazol,
dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau c.
Albendazol,
pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg), dosis tunggal,
sedangkan pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak
diberikan pada wanita hamil. Creeping
eruption : tiabendazol topikal selama 1 minggu. Untuk cutaneus larva
migrans pengobatan dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut. d.
Sulfasferosus. Konseling
dan Edukasi 1.
Masing-masing
keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan
pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 2.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk. 3.
Menghindari
kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia. 4.
Menggunakan
sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah. 5.
Mencuci
tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan
air mengalir. 6.
Mennggunakan
alas kaki saat berkontak dengan tanah. Kriteria
Rujukan : - Peralatan ·
Peralatan
laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja. ·
Peralatan
laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin. Prognosis Prognosis
pada umumnya bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat kecuali
terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman Historis
Perubahan |
|
PUSKESMAS I
SUMPIUH |
|
DR. DRI
KUSRINI NIP 19720112 200212 2 004 |
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-2 : S87 (Appendicitis) No. ICD-10 : K.35.9 (Acute appendicitis) Tingkat Kemampuan 3B Apendisitis akut adalah
radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salahsatu kasus
akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera
dapat menyebabkan perforasi. Penyebab: 1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan
apendisitis akut 2.
Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing
lainnya |
|||||||||
2. Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
penatalaksanaan Apendisitis akut |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK Nomor :
……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA |
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan · Nyeri perut kanan bawah,
mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan
letak nyeri karena bersifat somatik. Gejala Klinis 1. Muntah
(rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus. 2.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. 3.
Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
4.
Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami
diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah
rektum. 5.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C
- 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. 6.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika
dan ureter. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective) · Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi a.
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit b. Kembung bila
terjadi perforasi c.
Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses 2. Palpasi Terdapat nyeri
tekan McBurney a.
Adanya
rebound tenderness (nyeri lepas tekan) b.
Adanya
defans muscular c.
Rovsing
sign positif
d.
Psoas
signpositif
e.
Obturator
Signpositif
3. Perkusi · Nyeri ketok (+) 4. Auskultasi · Peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforate 5. Colok dubur · Nyeri tekan pada jam 9-12 Tanda Peritonitis umum
(perforasi) : 1. Nyeri
seluruh abdomen 2. Pekak hati
hilang 3. Bising usus
hilang Apendiks yang mengalami
gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai
berikut: 1. Gejala
progresif dengan durasi lebih dari 36 jam 2. Demam tinggi
lebih dari 38,5oC 3. Lekositosis
(AL lebih dari 14.000) 4. Dehidrasi
dan asidosis 5. Distensi 6.
Menghilangnya bising usus 7. Nyeri tekan
kuadran kanan bawah 8. Rebound
tenderness sign 9. Rovsing
sign 10. Nyeri tekan
seluruh lapangan abdominal Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
darah perifer lengkap a.
Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil
akan meningkat. b.
Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung
jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%. c.
Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi
perforasi dan peritonitis. d.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. e.
Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
2. Foto polos
abdomen a.
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu..
b.
Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian
kanan bawah akan kolaps. c.
Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan
bawah abdomen kosong dari udara. d. Gambaran
udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. e.
Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan. f.
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara
bebas di bawah diafragma. g.
Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola
bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus),
kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya
dari appendik. Penegakan Diagnostik (Assessment)
· Diagnosis Klinis Riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis
akut. · Diagnosis Banding 1. Kolesistitis
akut 2. Divertikel
Mackelli 3. Enteritis
regional 4. Pankreatitis
5. Batu ureter 6. Cystitis 7. Kehamilan
Ektopik Terganggu (KET) 8. Salpingitis
akut Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Pasien yang telah
terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito. · Penatalaksanaan di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk: 1. Bed rest total
posisi fowler (anti Trandelenburg) 2.
Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut. 3.
Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi. 4.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah. · Komplikasi 1. Perforasi
apendiks 2. Peritonitis
umum 3. Sepsis · Kriteria Rujukan Pasien yang
telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi
cito. Peralatan · Labotorium untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap Prognosis · Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan
kondisi pasien |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai
Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
|
ARTRITIS
REMATOID |
|
|||||||||
SOP |
No.
Dokumen : |
||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||
Tanggal
Terbit: |
|||||||||||
Halaman : |
|||||||||||
PUSKESMAS GUMELAR |
|
|
|||||||||
1. Pengertian |
Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya |
||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan artritis
reumatoid di puskesmas Gumelar |
||||||||||
· 3. Kebijakan |
SK Nomor : ……………. Tentang |
||||||||||
4. Referensi |
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015
Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama |
||||||||||
5. Prosedur |
Anamnesis : Gejala pada awal onset · Gejala prodromal: lelah
(malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. · Gejala spesifik pada banyak
sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai seluruh sendi terutama
sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal)
atau MTP (metatarsophalangeal), pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki.
Sendi DIP (distal interphalangeal) umumnya tidak terkena. · Gejala sinovitis pada sendi
yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan
menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam. · Gejala ekstraartikular:
mata (episkleritis), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis),
hematologi (anemia). Faktor Risiko 1. Wanita, 2. Faktor genetik. 3. Hormon seks. 4. Infeksi 5. Merokok Pemeriksaan Fisik · Manifestasi artikular: Bengkak/efusi sendi, nyeri
tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan neck, boutonniere,
deviasi ulnar) · Manifestasi
ekstraartikular: 1. Kulit: terdapat nodul
rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis. 2. Soft tissue
rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen
shoulder. 3. Mata dapat ditemukan
kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen,
episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit kronik. 4. Sistem respiratorik
dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial,
efusi pleura, atau fibrosis paru luas. 5. Sistem kardiovaskuler
dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena
embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati Diagnosis Klinis Diagnosis RA biasanya
didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis. Dibuat skor dari beberapa
poin dibawah ini : 1. Jumlah sendi yang terlibat
a. 1 sendi besar : 0 b. 2-10 sendi besar : 1 c. 1-3 sendi kecil (dengan
atau tanpa sendi besar) : 2 d. 4-10 sendi kecil (dengan
atau tanpa sendi besar) : 3 e. >10 sendi dengan
minimal 1 sendi kecil : 5 Sendi DIP, MTP I,
carpometacarpal I tidak termasuk dalam kriteria Yang dimaksud sendi kecil
adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari, dan pergelangan tangan Yang dimaksud sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan
pergelangan kaki. 4. Durasi a. Lebih dari 6 Minggu : 1 b. Kurang dari 6 Minggu : 0
Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA Penatalaksanaan 1. Pasien diberikan
informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada stadium akut dengan
menggunakan decker. 2. Pemberian obat anti
inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari, meloksikam
7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari. 3. Pemberian golongan
steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging
therapy). 4. Fisioterapi, tatalaksana
okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Kriteria rujukan 1. Tidak membaik dengan
pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah. 2. RA dengan komplikasi. 3. Rujukan pembedahan jika
terjadi deformitas. Prognosis Prognosis
adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan penyakit dan
penatalaksanaan selanjutnya |
||||||||||
6. Diagram Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit terkait |
|
||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
1.
Pengertian |
Jenis peradangan sendi kronis yang
biasanya terjadi pada sendi di kedua sisi tubuh, seperti tangan, pergelangan
tangan, atau lutut. |
||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pengobatan rheumatoid artritis |
||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No.188.4/
1.1.1.1.2 /415.25.33/2015 |
||||||
4.
Referensi |
PMK No.75
Tahun 2014 tentang pengobatan dasar Permenkes No
75 Tahun 2014 tentang puskesmas |
||||||
5.
Langkah-Langkah |
1. px datang dengan membawa buku rekam medis 2.Tanda gejala Bengkak pada
persendian, merah dan nyeri 3. Penatalaksanaan 1. Mengistirahatkan
sendi 2. Ibuprofen
3 x 400mg perhari 4.pencatatan pada rekam medis 5. Pasien Pulang |
Pencatatan pada
rekam medis Pasien datang tanda dan gejala bengkak pada persendian Penatalaksanaan Pasien pulang |
|||||
|
Poli Lansia,
Poli 2,Laborat,gizi |
PUSKESMAS II SUMPIUH |
|
|
||||||||
1. Pengertian |
No. ICPC-II : D96 Worms/other
parasites No. ICD-X : B77.9 Ascariasis
unspecified Tingkat Kemampuan 4A Askariasis adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Ascaris lumbricoides. |
|||||||||
2. Tujuan |
Semua
pasien Askariasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan pelayanan
yang sesuai dengan prosedur |
|||||||||
3. Kebijakan |
SK
Nomor : ……………. Tentang |
|||||||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK
KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
|
|||||||||
5. Prosedur |
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan ·
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat,
berat badan menurun, mual, muntah. Faktor Risiko 5.
Kebiasaan tidak mencuci tangan. 6.
Kurangnya penggunaan jamban. 7.
Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk. 8.
Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi
lalat yang membawa telur cacing. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik ·
Pemeriksaan tanda vital ·
Pemeriksaan generalis tubuh : konjungtiva anemis,
terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaa
penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara
langsung. Adanya telur cacing dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis ·
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya
larva atau cacing dalam tinja.
Diagnosis Banding : Jenis
kecacingan lainnya Komplikasi : Anemia defisiensi besi Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 3.
Memberi
pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
antra lain : d.
Kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir e.
Menutup
makanan f.
Masing-masng
keluarga memiliki jamban keluarga g.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk h.
Kondisi
rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab. 4.
Famakologis
e.
Pirantel
pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau f.
Mebendazol,
dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau g.
Albendazol,
pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg) atau 20 ml
suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Konseling
dan Edukasi 7.
Masing-masing
keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan
pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 8.
Tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk. 9.
Menghindari
kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia. 10. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola
limbah/sampah. 11. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan
aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir. 12. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga tetap bersih
dan tidak lembab. Kriteria
Rujukan : - Peralatan ·
Peralatan
laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja. Prognosis ·
Prognosis
pada umumnya bonam. |
|||||||||
6. Diagram Alur |
- |
|||||||||
7. Unit terkait |
Balai Pengobatan |
|||||||||
8.Rekaman Historis
Perubahan |
|
|
ASMA BRONKIAL |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
SPO |
No. Dokumen : |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
No.
Revisi : |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tanggal Terbit : |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Halaman : |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PUSKESMAS II PURWOKERTO
TIMUR |
Tanda
Tangan |
dr. Leni Kurniati Jubaedah NIP.197211072006042013 |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
RUANG
LINGKUP |
Prosedur ini memuat langkah-langkah yang harus dilakukan
untuk menangani serangan asma dan asma jangka panjang. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TUJUAN |
1. Mengupayakan penanganan serangan asma yang cepat dan tepat untuk
menyelamatkan jiwa pasien. 2. Dengan pengobatan yang cepat dan tepat, prognosis asma menjadi lebih baik |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
KEBIJAKAN |
Semua pasien dengan serangan asma
lakukan segera penilaian derajat asma untuk menentukan tindakan penanganan
yang cepat dan tepat. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PETUGAS |
1. Dokter 2. Perawat |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PERALATAN
|
1. Tensimeter 2. Stetoskop
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PROSEDUR |
1.
Anamnesis: 1.1. Gejala batuk dan atau mengi berulang yang mempunyai
karakteristik episodik, terjadi pada malam hari (nokturnal), musiman,
berkaitan dengan aktifitas atau pencetus, reversibel, adanya riwayat atopi
dalam keluarga. 1.2. Sesak nafas terutama saat ekspirasi. 2.
Pemeriksaan fisik 1.1. Pada waktu serangan : tampak khas berupa pasien duduk
berjuang untuk menghirup udara, dada dalam posisi inspirasi dan menggunakan
otot bantu pernafasan. 1.2. Frekuensi nafas meningkat, amplitudo dangkal. 1.3. Sesak nafas, nafas cuping hidung sianosis. 1.4. Gerakan dinding dada berkurang, hipersonor. 1.5. Bunyi nafas melemah, wheezing ekspirasi, ekspirium
diperpanjang, ronki basah, ronki kering, suara lendir. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PROSEDUR |
Tabel Penilaian Derajat Serangan Asma 2.
Penatalaksanaan: 2.1.
Serangan asma
akut ringan 2.1.1. Oksigen : 4 – 6 liter/mnt ( dewasa ) ; 2 liter / menit ( anak ) 2.1.2. Agonis Beta – 2 oral : salbutamol 3 x 2-4
mg ( dewasa ); dosis anak : 0,05 – 0,1 mg / kgbb/ kali. 2.2.
Serangan asma
sedang dan berat dirujuk ke rumah sakit dengan tindakan pra rujukan yg
tepat,O2 terpasang,posisi tepat. 3.
Penatalaksanaan Lanjutan 3.1.
Hindari faktor
pencetus 3.2.
Bronkodilator :
salbutamol oral 3 x 2 mg ( dosis anak : 0,05 – 0,1 mg/kgbb/kali) atau
aminofilin oral 3 x 120 – 150 mg (dewasa). 3.3.
Kortikosteroid. 3.4.
Ekspektoran
mukolitik 3.5.
Antibiotik
diberikan jika ada dugaan infeksi bakterial : Eritromisin 3 x 250 mg
/Amoksisilin 3 x 500 mg/Kotrimoksazol 2 x 2 tablet ( Dewasa) |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
DIAGRAM ALIR |
PASIEN DATANG DILAKUKAN ANAMNESIS Keluhan :
batuk atau mengi berulang, episodic, berkaitan dengan aktivitas, atopi
keluarga dan cuaca, sesak nafas. PEMERIKSAAN FISIK : -
Tripod position -
Otot bantu nafas -
Respires meningkat Ekspirasi diperpanjang -
Wheezing ekspirasi RINGAN -
O2 -
Agonis Beta -
Steroid -
Mukolitik dan antibiotik bila perlu SEDANG Bisa
mengucapkan penggalan kalimat BERAT Hanya bias mengucapkan
kata PASIEN DIRUJUK |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
REFERENSI |
Panduan Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer,Permenkes nomer 5 thn 2014.dan kapita selekta kedokteran. |
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
SOP ASTIGMATISME |
|
|||||||
SOP |
No. Dokumen |
: |
|
||||||
No. Revisi |
: |
|
|||||||
Tanggal Terbit |
: |
|
|||||||
Halaman |
: |
1 / 2 |
|||||||
PUSKESMAS I TAMBAK |
|
dr. Harry Widyatomo NIP.198212202010011016 |
|||||||
1.
Pengertian |
Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan pada
satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan oleh
kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai meridian |
||||||||
2.
Tujuan |
Sebagai acuan tata laksana astigmatisme |
||||||||
3.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No ....
/ .. /
SK-II/ IV/ 2016 tentang kebijakan |
||||||||
4.
Referensi |
1.
Gerhard,
K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd
Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007. 2.
Gondhowiardjo,
T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. 3.
James,
Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005. 4.
Riordan.
Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed
17. Jakarta: EGC. 2009. 5.
Sidarta,
I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2008. 6.
Vaughan,
D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000 |
||||||||
5.
Prosedur |
Masalah Kesehatan Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak
dibiaskan pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini
disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai
meridian. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur
dan sedikit distorsi yang kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien
memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat melihat lebih jelas. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum biasanya baik. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan menunjukkan
tajam penglihatan tidak maksimal dan akan bertambah baik dengan pemberian
pinhole. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal dengan
pemberian lensa silindris. Diagnosis Banding Kelainan refraksi lainnya. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang
sesuai. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Tidak diperlukan. Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan
gangguan penglihatan yang dapat dikoreksi. Kriteria Rujukan Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: 1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau 2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya
astigmatisme berat). Peralatan 1. Snellen Chart 2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial
lenses) 3. Pinhole Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam |
||||||||
6.
Langkah-Langkah |
1. Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil 2. Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa
sesuai nomor urut. 3. Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan. 4. Petugas mengukur ttv 5. Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb : ·
Keluhan Utama. ·
Keluhan tambahan. ·
Riwayat penyakit
terdahulu. ·
Riwayat penyakit
keluarga. ·
Lamanya sakit. ·
Pengobatan yang sudah
dilakukan. ·
Riwayat alergi obat. 6. Dokter
memeriksa pasien 7. Petugas memberikan resep kepada pasien 8. Pasien mengambil obat di apotek
puskesmas |
||||||||
7.
Hal-Hal yang perlu diperhatikan |
Penyampaian informasi mudah dipahami Pemeiksaan yang benar dan pengobtan yang tepat |
||||||||
8.
Unit Terkait |
1.
Pendaftaran 2.
Apotek 3.
administrasi |
||||||||
9.
Dokumen Terkait |
1. Rekam Medis 2. Buku register rawat
jalan |
||||||||
10. Rekamann
historis perubahan |
No |
Yang diubah |
Isi Perubahan |
Mulai diberlakukan |
|||||
|
|
|
|
||||||
Pengertian
|
Bells’palsy adalah
paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari paralisis
fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut, unilateral,
paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami
perbaikan pada 80-90% kasus. |
Kode Penyakit |
No. ICPC-2 : N91 Facial paralysis/Bells’
palsy No. ICD-10 : G51.0 Bells’ palsy |
Tujuan |
Prosedur ini dibuat dimaksudkan
untuk mengatur tatacara melakukan penanganan penderita bells’ palsy dengan
baik dan benar. |
Alat & Bahan |
Alat : Tempat tidur, Stetoskop,
Arloji, Thermometer, Tensimeter |
SOP |
PENATALAKSANAAN
· Karena
prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan masih
kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf
fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. · Pengobatan
dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset. · Hal
penting yang perlu diperhatikan: a.
Pengobatan inisial 1.
Steroid dan asiklovir (dengan prednison)
mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy (American Academy
Neurology/AAN, 2011). 2.
Steroid kemungkinan kuat efektif dan
meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal
(ANN, 2012). 3.
Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1
mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total selama
10 hari. 4.
Antiviral: asiklovir diberikan dengan
dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10 hari. Jika virus varicella zoster
dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari. b.
Lindungi mata Perawatan
mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari) dapat
mencegah corneal exposure. c.
Fisioterapi atau akupunktur: dapat
mempercepat perbaikan dan menurunkan sequele. RENCANA
TINDAK LANJUT Pemeriksaan
kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan setelah pengobatan. KRITERIA
RUJUKAN a. Bila dicurigai
kelainan supranuklear b. Tidak
menunjukkan perbaikan |
Unit Terkait |
Poli
Pengobatan, UGD |
|
BENDA ASING DI HIDUNG |
|
|||||||||
SPO |
No.
Dokumen : SPO/IX/U-01/04/16 |
||||||||||
No.
Revisi : 0 |
|||||||||||
Tanggal
Terbit : 4 April 2016 |
|||||||||||
Halaman :
1/2 |
|||||||||||
Puskesmas II PURWOKERTA UTARA |
|
Dr Maria Valentina 197208122002122004 |
|||||||||
1.
Pengertian |
Pengambilan benda asing di hidung dengan
menggunakan direct instrument; hooked probes; kateter; alat penyedot (suction) |
||||||||||
2. Tujuan |
Sebagai
acuan dalam melakukan tindakan dengan tepat dan benar |
||||||||||
3.
Kebijakan |
Surat
Keputusan Kepala Puskesmas II Purwokerto Utara |
||||||||||
4.
Referensi |
KMK RI
Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama |
||||||||||
5.
Prosedur |
a. Alat dan Bahan 1) Sarung tangan 2) Lampu Kepala 3) Lidocain 1% dan phenylephrin 0,5% 4) Direct
instruments: hemostat, forceps alligator, forceps bayonet 5) hooked
probes 6) Kateter
foley (5-8 french) 7) Spuit
3 cc 8) Alat
penyedot (suction b. Teknik Pemeriksaa 1) Jelaskan
kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan. 2) Mencuci
tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan. 3) Pertahankan
suasana tenang di ruangan. 4) Lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien. 5) Persiapkan
peralatan yang dibutuhkan. 6) Posisikan
pasien pada sniffing position, baik terlentang ataupun dengan sedikit
elevasi kepala. Pasien yang tidak kooperatif harus difiksasi. Minta bantuan
untuk memfiksasi kepala. 7) Pemberian
anastesia dan vasokonstriktor mukosa dengan tampon adrenalin pada lubang
hidung membantu pemeriksaan dan pengambilan benda asing. Rendam kapas dengan
campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain. 8) Untuk
benda asing yang dapat terlihat jelas, tidak berbentuk bulat, dan tidak mudah
hancur, gunakan instrument hemostat, forseps alligator, atau forsep
bayonet. 9) Untuk
benda asing yang mudah dilihat namun sulit untuk dipegang, gunakan hooked
probes. Hook diletakkan dibelakang benda asing dan diputar
sehingga sudut hook terletak dibelakang benda asing. Benda asing kemudian
ditarik ke depan. 10) Untuk
benda asing kecil dan bulat yang sulit dipegang oleh instrumen, dapat juga
digunakan kateter balon. Gunakan kateter foley atau kateter fogarty.
Periksa balon kateter dan oleskan jeli lidokain 2% pada kateter. Dengan
posisi pasien supine, masukkan kateter melewati benda asing dan kembangkan
balon dengan udara atau air (2 ml untuk anak kecil dan 3 ml untuk anak yang
berbadan besar). Setelah balon dikembangkan, tarik kateter untuk mengeluarkan
benda asing. 11) Penyedotan
dengan suction digunakan untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, licin,
dan berbentuk bulat. Ujung kateter ditempatkan di benda asing, dan dilakukan
penyedotan dengan tekanan 100-140 mmHg. 12) Suction
juga digunakan untuk mengevakuasi sekret di hidung yang menghalangi benda
asing. |
||||||||||
6. Diagram
Alir (bila perlu) |
|
||||||||||
7. Unit
terkait |
BP Umum |
||||||||||
8.Rekaman Historis Perubahan |
|
|
BENDA ASING DI KONJUNGTIVA |
|
|||||||||
SOP |
No. Dokumen |
: |
|
||||||||
No. Revisi |
: |
|
|||||||||
Tanggal Terbit |
: |
|
|||||||||
Halaman |
: |
1 / 2 |
|||||||||
PUSKESMAS I
TAMBAK |
|
dr. Harry
Widyatomo NIP.198212202010011016 |
|||||||||
6.
Pengertian |
Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal tidak
dijumpai di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya
kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat
serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa dan bila timbul
infeksi sekunder |
|
|||||||||
7.
Tujuan |
Sebagai acuan tata laksana benda asing di konjungtiva |
|
|||||||||
8.
Kebijakan |
SK Kepala Puskesmas No ....
/ .. /
SK-II/ IV/ 2016 tentang SOP Benda asing di
konjungtiva |
|
|||||||||
9.
Referensi |
1.
Gondhowiardjo,
T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.
Jakarta: CV Ondo. 2006. 2.
Sidarta,
I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2008. 3.
Vaughan,
D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. |
|
|||||||||
10. Prosedur |
Keluhan Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke
dalam konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata
merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia. Faktor Risiko Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung,
seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait
dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Visus biasanya normal. 2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi. 3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva tarsal superior
dan/atau inferiordan/atau konjungtiva bulbi. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis banding Konjungtivitis akut Komplikasi 1. Ulkus kornea 2. Keratitis Terjadi bila benda asing pada konjungtiva tarsal
menggesek permukaan kornea dan menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi
berat dapat terjadi jika benda asing merupakan zat kimia. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing Berikut adalah cara yang dapat dilakukan: a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5% sebanyak 1-2 tetes
pada mata yang terkena benda asing. b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda
asing. c. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau
jarum suntik ukuran 23G. d. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke
tepi. e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada
tempat bekas benda asing. 2. Medikamentosa Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), misalnya
Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam selama 2 hari Konseling dan Edukasi 1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar
tidak memperberat lesi. 2. Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja
atau berkendara. 3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan
bertambah berat setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak, atau disertai dengan penurunan visus. Kriteria Rujukan 1. Bila terjadi penurunan visus 2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, misal:
karena keterbatasan fasilitas Peralatan 1. Lup 2. Lidi kapas 3. Jarum suntik 23G 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5% 5. Povidon Iodin Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam |
|
|||||||||
11. Langkah-Langkah |
9. Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil 10. Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa
sesuai nomor urut. 11. Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan. 12. Petugas mengukur ttv 13. Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb : ·
Keluhan Utama. ·
Keluhan tambahan. ·
Riwayat penyakit
terdahulu. ·
Riwayat penyakit
keluarga. ·
Lamanya sakit. ·
Pengobatan yang sudah
dilakukan. ·
Riwayat alergi obat. 14. Petugas memberikan resep kepada pasien 15. Pasien mengambil obat di apotek
puskesmas |
|
|||||||||
12. Hal-Hal yang perlu diperhatikan |
Penyampaian informasi mudah dipahami |
|
|||||||||
13. Unit Terkait |
4.
Pendaftaran 5.
UGD 6.
Apotek |
|
|||||||||
14. Dokumen Terkait |
3. Daftar hadir 4. Notulen |
|
|||||||||
15. Rekamann
historis perubahan |
No |
Yang diubah |
Isi Perubahan |
Mulai diberlakukan |
|
||||||
|
|
|
|
|
|||||||
|
Layanan
Klinis Blefaritis |
|
||
SOP |
No.
Dokumen |
: |
||
No.
Revisi |
: |
|||
Tanggal
Terbit |
: |
|||
Halaman |
: |
|||
|
|
|
1.
Pengertian |
Blefaritis adalah radang pada tepi
kelopak mata (margo palpebra) dapat disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada
tepi kelopak mata, serta dapat melibatkan folikel rambut. |
2.
Tujuan |
Mengobati pasien
dengan blefaritis yang datang berobat ke Puskesmas |
3.
Kebijakan |
|
4. Prosedur |
1. Petugas menyiapkan alat pemeriksaan, yaitu
tensimeter, stetoskop, senter, dan lup 2. Menanyakan keluhan pasien. Keluhan yang biasa
ditemui adalah gatal pada tepi kelopak mata. Dapat disertai keluhan lain
berupa merasa ada sesuatu di kelopak mata, panas pada tepi kelopak mata dan
kadang-kadang disertai rontok bulu mata. Selama tidur, sekresi mata mengering
sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka. 3. Mencari faktor resiko seperti : a) Kondisi kulit seerti dematitis seboroik b) Higiene dan lingkungan yang tidak bersih, dan c) Kesehatan atau daya tahan tubuh yang menurun 4. Melakukan pemeriksaan fisik dasar dan penunjang.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan : a) Skuama atau krusta di tepi kelopak b) Bulu mata rotok c) Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi
kelopak mata d) Dapat terjadi pembengkakak dan merah pada kelopak
mata e) Dan dapat ditemukan keropeng yang melekat erat
pada tepi kelopak mata; bila dilepaskan bisa terjadi perdarahan. 5. Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. 6. Menentukan komplikasi yang mungkin terjadi,
seperti blefarokonjungtivitis, madarosis, dan trikiasis. 7. Memberikan tata laksana berupa : a) Memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak dari kotoran dapat menggunakan sampo bayi. b) Kelopak mata dibersihkan dengan
kapas lidi hangat dan kompres hangat selama 5-10 menit. c) Apabila ditemukan tukak pada kelopak mata, salep atau tetes mata seperti eritromisin,
basitrasin atau gentamisin 2 tetes setiap 2 jam hingga gejala menghilang. 8. Melakukan konseling dan edukasi : a) Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala, alis mata, dan tepi
palpebra harus selalu dibersihkan terutama pada pasien dengan dermatitis
seboroik. b) Memberitahu pasien dan keluarga
untuk menjaga higiene personal dan lingkungan. 9. Mempertimbangkan rujukan bila tidak membaik
dengan pengobatan optimal. |
5. Referensi |
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5
Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer |
6. Unit
Terkait |
Poli Umum |
7. Rekaman Historis
No. |
Halaman |
Yang Diubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. Bagan
RUANG LINGKUP |
Protap ini mencakup diagnosis dan tata laksana
bronkhitis akut. |
||||||
TUJUAN |
Memberikan tata laksana yang tepat
pada pasien bronkhitis akut. |
||||||
KEBIJAKAN |
Berlaku untuk semua pasien. |
||||||
PETUGAS |
Dokter |
||||||
PERALATAN
|
1. Tensimeter 2. Stetoskop |
||||||
PROSEDUR |
1.
Pengertian Bronkhitis akut
sebenarnya merupakan bronkopneumonia yang lebih ringan, penyebabnya dapat
virus, mikoplasma atau bakteri. 2.
Gambaran
Klinis 2.1. Batuk yang mula-mula kering kemudian menjadi
berdahak kental dan mukopurulen, makin lama makin banyak. 2.2. Mungkin terdapat demam yang berlangsung 3-5 hari,
sesak nafas, nyeri otot dan sakit dada. 3.
Pemeriksaan
Fsik 3.1. Ditemukan ronki kasar. 4.
Pemeriksaan
Laboratorium. 4.1. Terdapat leukositosis. 5.
Penatalaksanaan
: 5.1. Selama demam beri Parasetamol 10 mg/kgbb/kali. 5.2. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): DMP
(dekstromethorfan) 15mg/kali 2 sd 3 x/hr. Kodein
(obat Doveri) dapat diberikan 3x10 mg/hr dewasa Untuk anak.> 6 thn ,Dekstrometorpan Hbr 1 mg/kgbb/hr
dibagi 3 dosis (bila batuk kering). Pemberian antitussif perlu pertimbangkan efek sesak
nafas. 5.3. Ekspectoran : GG 50-100 mg, tiap 2-6 jam bila
batuk berdahak,bromheksin,ambroksol,dosis sesuaikan . 5.4. Bronchodilator,salbutamol,teofilin,aminifillin. 5.5. Pilihan antibiotik
jika ada infeksi bakteri : Pada
penderita dewasa : 5.5.1.
Kotrimoksazol
dewasa 2 x 960 mg. 5.5.2.
Eritromisin
dewasa 4 x 500 mg. Anak 40 – 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. 5.5.3.
Amoxicillin 30 – 50 mg/kgbb perhari. 5.6. Nasehat : Istirahat, banyak minum,dilarang
merokok. 5.7. Jelaskan kemungkinan efek samping obat,sesak nafas,berdebar debar,lemas,keringat
dingin,gemetar. |
||||||
DIAGRAM
ALIR |
PASIEN DATANG DILAKUKAN ANAMNESIS Keluhan :
batuk kering / dahak, demam 3-5 hari, sesak nafas, nyeri dada PEMERIKSAAN FISIK : -
Suara dasar vasikular -
Ronki kasar -
Leukositosis TERAPI -
Berikan Paracetamol jika demam -
Berikan Dextrometorpan bila batuk kering -
Berikan Ekstpektoran bila batuk dahak -
Antibiotic : kotri, eritromicin,
amoxcilin -
Edukasi PASIEN PULANG |
||||||
REFERENSI |
Panduan
Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer,Permenkes nomer
5 thn 2014. |
|
Layanan
Klinis Buta Senja |
|
||
SOP |
No.
Dokumen |
: |
||
No.
Revisi |
: |
|||
Tanggal
Terbit |
: |
|||
Halaman |
: |
|||
|
|
1 |
1.
Pengertian |
Buta senja/ rabun senja disebut juga
nyctalopia atau hemarolopia adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik
pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan tanda
dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel
batang retina yang berperan pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa. |
2.
Tujuan |
Mengobati buta
senja yang dialami pasien yang datang berobat ke Puskesmas. |
3.
Kebijakan |
|
4. Prosedur |
1. Petugas mempersiapkan alat pemeriksaan berupa
tensimeter, stetoskop, senter, lup, dan oftalmoskop 2. Melakukan anamnesis kepada pasien. Keluhan yang
sering dikeluhkan Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan
gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup. 3. Petugas melakukan pemeriksaan fisik dasar. Dan
dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa mata. 4.
Menemukan
tanda-tanda defisiensi vitamin A seperti : Terdapat bercak bitot pada
konjungtiva, Kornea mata kering/kornea serosis, Kulit tampak kering dan
bersisik. 5. Menegakkan diagnosa klinis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik 6. Memberikan pengobatan berupa vitamin A dosis
tinggi (bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A, lubrikasi kornea, dan
pencegahan infeksi sekunder dengan tetes mata antibiotik. 7. Melakukan konseling dan Edukasi yatu dengan Memberitahu
keluarga adalah gejala dari suatu penyakit, antara lain; defisiensi vitamin A
sehingga harus dilakukan pemberian vitamin A dan cukup kebutuhan gizi.. |
5. Referensi |
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI
DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA |
6. Unit
Terkait |
Poli Umum |
7. Rekaman Historis
No. |
Halaman |
Yang Diubah |
Perubahan |
Diberlakukan Tgl |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. Bagan
|
CANDIDIASIS
ORAL |
|
||||
SOP |
No.
Dokumen : |
|||||
No. Revisi
: |
||||||
Tanggal
Terbit : |
||||||
Halaman : |
||||||
PUSKESMAS I WANGON |
Tanda Tangan |
dr. Tulus Budi P NIP.198203272009031006 |
||||
1. Pengertian |
Candidiasis oral adalah penyakit infeksi jamur Candida albicans yang menyerang mukosa
mulut. |
|||||
2. Tujuan |
Sebagai
pedoman dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat terhadap
pasien dengan candidiasis oral. |
|||||
3. Kebijakan |
. |
|||||
4. Referensi |
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA |
|||||
5. Prosedur |
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, mukosa maupun
organ dalam, sedangkan pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan : Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa metal, dan daya kecap
penderita yang berkurang. Faktor Risiko: imunodefisiensi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1.
Bercak merah, dengan maserasi
di daerah sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa) disertai bercak merah
yang terpisah di sekitarnya (satelit). 2. Guam atau oral thrush yang diselaputi pseudomembran pada
mukosa mulut. Pemeriksaan Penunjang Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10%
atau pewarnaan Gram. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Diagnosis Banding Peradangan
mukosa mulut yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Komplikasi Diare karena kandidiasis
saluran cerna. Penatalaksanaan
Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1.
Memperbaiki status gizi dan
menjaga kebersihan oral 2.
Kontrol penyakit
predisposisinya 3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau larutan nistatin
100.000 – 200.000 IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3 hari Rencana Tindak Lanjut 1.
Dilakukan skrining pada
keluarga dan perbaikan lingkungan keluarga untuk menjaga tetap bersih dan
kering. 2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan
dengan obat anti jamur. Kriteria Rujukan Bila kandidiasis merupakan
akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV. |
|||||
1. Unit Terkait |
BP Umum, KIA, Klinik IMS, Laboratorium |
|||||
|
|
|||||
|
|
|||||
2.
Rekaman
Historis Perubahan |
||||||
No |
Halaman |
Yang dirubah |
Perubahan |
Tgl.
Mulai Diberlakukan |
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
||
|