Kamis, 13 April 2023

SOP PELAYANAN KLIINIS 188 DIAGNOSIS

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

 Pengertian

No. ICPC-2 : S96 Acne

No. ICD-10 : L70.0 Acne vulgaris A

Tingkat Kemampuan 4A

 

Masalah Kesehatan

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi dengan peningkatan produksi sebum, perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim untuk penyakit ini adalah jerawat. Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, pria16-19 tahun lesi yang utama adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai pula lesi beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi pada premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang, namun kadang-kadang menetap sampai dekade ketiga terutama pada wanita. Ras oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras kaukasia (Eropa, Amerika).

 Tujuan

Semua pasien Akne Vulgaris Ringan yang datang ke Puskesmas ABC mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

Kebijakan

Keputusan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karanglewas nomor  : 440/C.VII/SK/06/I/2016 Tentang Kebijakan Pelayanan Klinis  Puskesmas Karanglewas

Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

 Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi di lokasi predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun masalah estetika umumnya merupakan keluhan utama.

 

Faktor Risiko:

Usia remaja, stress emosional, siklus menstruasi, merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga, banyak makan makanan berlemak dan tinggi karbohidrat

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis

Komedo berupa papul miliar yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam disebut komedo hitam (black comedo, open comedo) dan bila berwarna putih disebut komedo putih atau komedo tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi kulit polimorfi dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang beradang.

Tempat predileksi adalah di muka, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya di leher, lengan atas, dan kadang-kadang glutea.

Gradasi yang menunjukan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut:

  1. Ringan, bila:
    1. Beberapa lesi tak beradang pada satu predileksi
    2. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi
    3. Sedikit lesi beradang pada satu predileksi
  2. Sedang, bila:
    1. Banyak lesi tak beradang pada satu predileksi
    2. Beberapa lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi
    3. Beberapa lesi beradang ada satu predileksi
    4. Sedikit lesi beradang pada lebih dari satu predileksi
  3. Berat, bila:
    1. Banyak lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi
    2. Banyak lesi beradang pada satu atau lebih predileksi

Keterangan:

Sedikit bila kurang dari 5, beberapa bila 5-10, banyak bila lebih dari 10 lesi

Tak beradang : komedo putih, komedo hitam, papul

Beradang : pustul, nodus, kista

Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna) ditemukan sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.

 

Pemeriksaan Penunjang

Umumnya tidak diperlukan.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Ditegakkan erdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan fisik.

 

Diagnosis Banding

Erupsi akneiformis, Akne venenata, Rosasea, Dermatitis perioral

 

Penatalaksanaan (Plan)

Penatalaksanaan meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).

 

Pencegahan yang dapat dilakukan :

  1. Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipid sebum dan perubahan isi sebum dengan cara :
    1. Diet rendah lemak dan karbohidrat. Meskipun hal ini diperdebatkan efektivitasnya, namun bila pada anamnesis menunjang, hal ini dapat dilakukan.
    2. Melakukan perawatan kulit dengan membersihkan permukaan kulit.
  2. Menghindari terjadinya faktor pemicu terjadinya akne, misalnya :
    1. Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga, sesuai kondisi tubuh, hindari stress.
    2. Penggunaan kosmetika secukupnya, baik banyaknya maupun lamanya.
    3. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalnya minuman keras, makanan pedas, rokok, lingkungan yang tidak sehat dan sebagainya.
    4. Menghindari polusi debu, pemencetan lesi yang tidak lege artis, yang dapat memperberat erupsi yang telah terjadi.

 

Pengobatan akne vulgaris ringan dapat dilakukan dengan memberikan farmakoterapi seperti :

  1. Topikal

Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari :

    1. Retinoid

Retinoidtopikal merupakan obat andalan untuk pengobatan jerawat karena dapat menghilangkan komedo, mengurangi pembentukan mikrokomedo, dan adanya efek antiinflamasi. Kontraindikasi obat ini yaitu pada wanita hamil, dan wanita usia subur harus menggunakan kontrasepsi yang efektif. Kombinasi retinoid topikal dan antibiotik topikal (klindamisin) atau benzoil peroksida lebih ampuh mengurangi jumlah inflamasi dan lesi non-inflamasi dibandingkan dengan retinoid monoterapi. Pasien yang memakai kombinasi terapi juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang lebih cepat.

Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8%), resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam vitamin A (0,025-0,1%), asam azelat (15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) misalnya asma glikolat (3-8%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara pemakaian berhati-hati dimulai dengan konsentrasi yang paling rendah.

    1. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1% atau klindamisin fosfat 1%.
    2. Antiperadangan topikal: hidrokortison 1-2,5%.
  1. Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk menekan aktivitas jasad renik disamping juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri sistemik, misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/hari, eritromisin 4x250 mg/hari.

 

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

  • Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

 

Konseling dan Edukasi

  • Dokter perlu memberikan informasi yang tepat pada pasien mengenai penyebab penyakit, pencegahan, dan cara maupun lama pengobatan, serta prognosis penyakitnya. Hal ini penting agar penderita tidak mengharap berlebihan terhadap usaha penatalaksanaan yang dilakukan.

 

Kriteria rujukan

  • Akne vulgaris sedang sampai berat.

 

Peralatan

  • Komedo ekstraktor (sendok Unna)

 

Prognosis

  • Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-40 an.

Diagram Alur

 

Unit terkait

 

Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SPO

 

 

No.Dokumen:SPO/VIII/UKP/     /2016

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:04 April 2016

Halaman         :1/2

Puskesmas II Wangon

 

 

 

drg.Imam Hidayat

NIP.196008181989011001

1. Pengertian

Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen makanan menembus sawar gastro intestinal yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul dalam beberapa menit sampai beberapa jam, dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan sistemik.

2. Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah agar.........

3. Kebijakan

SK Kepala Puskesmas 2 Wangon nomer.............

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015

5. Prosedur

Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1. Pada kulit: eksim dan urtikaria.

2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma.

3. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala gastrointestinal non spesifik dan berkisar dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi, mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan diare.

4. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-E-mediated seperti pada enteropati protein makanan dan penyakit seliak

5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi menyebabkan occult bleeding atau frank colitis.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta paru.

Pemeriksaan Penunjang: -

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Medika mentosa

Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:

1. Hindari makanan penyebab

2. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi makanan

 

Rencana Tindak Lanjut

1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien

2. Menghindari makanan yang bersifat alergen secara sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi dengan ahli gizi)

3. Perhatikan label makanan

4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan

 

Kriteria Rujukan

Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi reaksi anafilaksis.

 

Prognosis

Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa disertai dengan perubahan gaya hidup.

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

7. Unit terkait

SemuaRuangan

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai

 Diberlakukan

 

 

 

 

 

 

ANEMIA DEFISIENSI BESI

 

 

SOP

 

No. Dokumen

 

No. Revisi                    

: 00

Tgl. Terbit 

:

Halaman                      

:  

Puskesmas Rawalo

 

 

 

 

 

 

 

1.   Pengertian

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.

2.   Tujuan

 Sebagai acuan Untuk penangan pasien dengan anemia defisiensi besi

3.   Kebijakan

 

4.   Referensi

 

5.   Prosedur

1.       Alat    dan Bahan

Sulfat ferrosus

Hb Sahli

6.   Langkah-langkah

  1. Petugas memperkenalkan diri kepada pasien
  2. Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga  tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam nerobat serta meninggkatkan kualitas hidup.
  3. Menegakkan diagnose difinitif secara pasti
  4. Setelah menegakkan diagnose diberikan sulfat ferrosus 3 x 200mg ( 200mg  mengandung 66mg besi elemental)
  5. Pasien diberikan penjelasan mengenai cara minum, efek samping obat berupa mual, muntah, konstipasi, diare serta BAB kehitaman
  6. Bila terjadi efek samping obat maka segera ke pelayanan kesehatan.

Rencana tindak lanjut

  1. Penegakkan diagnosis difinitif anemia defisiensi besi memerlukan pemeriksaan laboratorium di layanan skunder dan penatalaksanaan selanjutnya di layanan primer.  

 

 

7.   Bagan Alir

Memberikan pengertian ke pasien dan keluarga

Menegakkan diagnosa

Memberikan obat sulfat ferosus 3x 200mg

Menjelaskan cara minumdan efek samping obat

Bila terjadi efek sampping hubungi petugas

Rencana Tindak lanjut dg pemeriksaan ke laborat seku nder

Petugas memperkenalkan diri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


8.   Hal-hal yang perlu diperhatikan

 

9.   Unit terkait

BP

KIA

10.    Dokumen terkait

1. Rekam Medis

2. Inform consent

 

11.    Rekaman Historis  Perubahan

 

No

Yang dirubah

Isi Perubahan

Tgl.mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengertian

Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl pada trimester I dan III atau <10,5 g/dl pada trimester II. Penyebab tersering anemia pada kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan akut, dan defisiensi asam folat.

Kode Penyakit

No. ICPC-2 : B80 Irondeficiency anaemia

No. ICD-10 : D50 Iron deficiency anaemia

Tujuan

Dapat melakukan pengelolaan penyakit yang meliputi:

1. Anamnesa (Subjective)

2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

3. Penegakkan Diagnosa (Assessment)

4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Alat & Bahan

Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin

SOP

1.  Melakukan Anamnesa (Subjective)

Keluhan

1. Badan lemah, lesu

2. Mudah lelah

3. Mata berkunang-kunang

4. Tampak pucat

5. Telinga mendenging

6. Pica: keinginan untuk memakan bahan-bahan yang tidak lazim

 

Faktor Risiko : -

Faktor Predisposisi

1. Perdarahan kronis

2. Riwayat keluarga

3. Kecacingan

4. Gangguan intake (diet rendah zat besi,)

5. Gangguan absorbsi besi

 

2. Melakukan Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Patognomonis

1. Konjungtiva anemis

2. Atrofi papil lidah

3. Stomatitis angularis (cheilosis)

4. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail),

 

Pemeriksaan Penunjang

1. Kadar hemoglobin

2. Apusan darah tepi

 

3.  Penegakan Diagnosa (Assessment)

Diagnosis Klinis

Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau < 10,5 g/dl (pada trimester II). Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel darah merah.

 

Diagnosis Banding

·       Anemia akibat penyakit kronik

·       Trait Thalassemia

·       Anemia sideroblastik

4.  Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan memantau pertambahan ukuran janin

2. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan tablet tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg asam folat.Pada ibu hamil dengan anemia, tablet besi diberikan 3 kali sehari.

3. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi. Bila tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke pelayanan sekunder untuk penentuan jenis anemia dan pengobatan awal.

4. Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada keadaan:

a. Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC.

b. Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik

c. Anemia normositik normokrom dapat ditemukan pada keadaan:

Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan infeksi kronik

d. Anemia makrositik hiperkrom dapat ditemukan pada keadaan:

Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg

 

Konseling dan Edukasi

1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.

2. Diet bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani (daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau)

3. Pemakaian alas kaki untuk mencegah infeksi cacing tambang

 

 

Kriteria Rujukan

1. Pemeriksaan penunjang menentukan jenis anemia yang ibu derita

2. Anemia yang tidak membaik dengan pemberian suplementasi besi selama 3 bulan

3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis, agar dicari sumber perdarahan dan ditangani.

 

 

Unit Terkait

Laboratorium, Apotek, Rumah Sakit

 

1.  Pengertian

Anemia adalah suatu keadaan menurunnya hemoglobin yang menyebabkan penurunan kadar oksigen yang didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan berbagai keluhan (sindrom anemia).

2.  Tujuan

Sebagai pedoman petugas untuk menegakan diagnosis dan penatalaksanaan anemia.

3.  Kebijakan

1.    SK Kepala UPTD Puskesmas Cilawu tentang Kebijakan Pelayanan Klinis UPTD Puskesmas Cilawu

4.  Referensi

1. Permenkes no 5 tahun 2014 tentang PANDUAN PRAKTIS KLINIS BAGI DOKTER PELAYANAN PRIMER

5.  Prosedur/ langkah-langkah

1.    Anamnesis :

-      Keluhan lemah, letih, lesu, lelah, penglihatan berkunang-kunang, pusing, telinga berdenging dan penurunan konsentrasi.

-      Faktor resiko : ibu hamil, remaja putri, pemakaian obat sefalosporin/kloramfenicol jangka panjang, status gizi kurang, faktor ekonomi kurang.

2.    Pemeriksaan Fisik :

-      Pucat, sianotik, atrofi papil lidah, alopesia, ikterik, rambut kusam, takikardi, bising jantung, takipneu, konjungtiva pucat . 

-      Nilai Hb normal (WHO) : laki-laki >13 gr%, perempuan >12 gr%, perempuan hamil >11gr%.

3.    Diagnosis differensial :

-      Anemia defisiensi besi

-      Anemia defisiensi vit B12, asam folat

-      Anemia aplastic

-      Anemia hemolitik

-      Anemia pada penyakit kronik

4.    Pemeriksaan penunjang :

-      Anemia def. Fe : ferritin serum, SI, TIBC

-      Anemia hemolitik : bilirubin, tes fragilitas osmotic, tes Coombs

-      Anemia megaloblastik : serum folat, serum kobalamin

-      Thalassemia : elektroforesisi hemoglobin

-      Anemia aplastic atau keganasan : biopsy dan aspirasi sumsusm tulang

5.    Terapi :

-      Atasi penyebab yang mendasarinya

-      Anemia def. Fe : sulfas ferrosus 3x1 tab , ferrous fumarat 3x1 tab, ferrous glukonat 3x1 tab

-      Anemia def. asam folat dan def. B12 : vitamin B12 80 mikrogram, asam folat 500-1000 mikrogram (ibu hamil 1 mg).

6.    Kriteria rujukan :.

-      Anemia berat dengan indikasi trasnfusi (Hb< 6gr%).

6.  Bagan alir

 

7.  Hal-hal yang harus diperhatikan

 

8.    Unit Terkait

Rawat Inap, BP, PUSTU

9.  Dokumen Terkait

Rekam medis

10.Rekaman Histori Perubahan

 

No

Yang di ubah

Isi ubahan

Tanggal mulai di berlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS ABCD

 

 

 

Nama Kepala Puskesmas

1. Pengertian

No. ICPC-2 : K74 Ischaemic heart disease with angina

No. ICD-10 : I20.9 Angina pectoris, unspecified

Tingkat Kemampuan 3B

 

Angina pektoris stabil merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina pektoris dilaporkan terjadi dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur, dan faktor risiko. Data dari studi Framingham pada tahun 1970 menunjukkan prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan 4,3% untuk pria berusia 50 – 59 tahun.

2. Tujuan

Semua pasien Angina Pectoris Stabil  yang datang ke Puskesmas Somagede mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

1.    KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

2.    Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)

3.    O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed. McGraw-Hill. 2009. (O'Rouke, et al., 2009)

4.    Priori, S. G., Blanc, J. J., (France), Budaj., A., Camm, J., Dean, V., Deckers, J., Dickstein. K., Lekakis, J., McGregor. K., Metra. M., Morais. J., Osterspey. A., Tamargo, J., Zamorano, J. L., Guidelines on the management of stable angina pectoris, 2006, European Heart Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC Committee for Practice Guidelines (CPG). (Priori, et al., 2006)

5.    Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.2007.c (Sudoyo, et al., 2006)

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

 

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa seperti ditimpa beban yang sangat berat.

Diagnosis seringkali berdasarkan keluhannyeri dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut:

1. Letak

Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal: tidak dapat melokalisasi), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, dan bahu.

2. Kualitas

Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau seperti diperas atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik.

3. Hubungan dengan aktivitas

Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang atau emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina yang timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam sering akibat angina pektoris tidak stabil

4. Lamanya serangan

Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mengalami sindrom koroner akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin.

5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin, mual, muntah, sesak dan pucat.

Faktor Risiko

 

Faktor risiko yang tidak dapat diubah:

1. Usia

Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnya setelah menopause)

2. Jenis kelamin

Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause.

3. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun.

 

Faktor risiko yang dapat diubah:

1. Mayor

a. Peningkatan lipid serum

b. Hipertensi

c. Merokok

d. Konsumsi alkohol

e. Diabetes Melitus

f. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori

2. Minor

a. Aktivitas fisik kurang

b. Stress psikologik

c. Tipe kepribadian

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective)

Pemeriksaan Fisik

 

Pemeriksaan Fisik

1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat pada waktu serangan angina.

2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.

 

Pemeriksaan Penunjang

1. EKG

Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina, dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.

Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang berkas His dan bisa tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai Infark Miokard Akut (IMA).

2. X ray thoraks

X ray thoraks sering menunjukkan bentuk jantung yang normal. Pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.

 

Penegakan Diagnostik(Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Klasifikasi Angina:

1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris stabil)

Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan, sesuai dengan berat ringannya pencetus, dibagi atas beberapa tingkatan:

a. Selalu timbul sesudah latihan berat.

b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan cepat 1/2 km)

c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m)

d. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa)

2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris tidak stabil/ATS)

Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri.

3. Angina prinzmetal (Variant angina)

Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis.

Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian Cardiovascular Society Classification System:

1. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina. Angina akan muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas fisik (berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang lama).

2. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas sedikit/aktivitas sehari-hari (naik tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stres, dingin).

3. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau naik tangga 1 tingkat.

4. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-sehari, tidak nyaman, untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, bahkan waktu istirahat juga bisa terjadi angina.

 

Diagnosis Banding

Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), Gastritis akut, Nyeri muskuloskeletal, Pleuritis, Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik

Komplikasi

Sindrom koroner akut.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Terapi farmakologi:

1. Oksigen dimulai 2 L/menit

2. Nitrat dikombinasikan dengan β-blocker atau Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan denyut jantung (misalnya verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada serangan akut :

a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 5 mg peroral sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di pelayanan sekunder.

b. Beta bloker:

• Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau

• Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.

c. Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridine

Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi, misalnya:

• Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)

• Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari)

3. Antipletelet

Aspirin 160-320 mg sekali minum pada serangan akut.

Konseling dan Edukasi

Menginformasikan individu dan keluarga untuk melakukan modifikasi gaya hidup antara lain:

1. Mengontrol emosi danmengurangi kerja berat dimana membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya

2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak

3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol

4. Menjaga berat badan ideal

5. Mengatur pola makan

6. Melakukan olah raga ringan secara teratur

7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengobatan diabetes secara teratur   

8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid

9. Mengontrol tekanan darah

Kriteria Rujukan

Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam) untuk tatalaksana lebih lanjut.

Peralatan

1. Elektrokardiografi (EKG)

2. Radiologi (X ray thoraks)

 

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonamjika dilakukan tatalaksana dini dan tepat.

6. Diagram Alur

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS II SUMPIUH

 

 

 

SUJOTO, SKM.

NIP 19600217 198309 1 001

1. Pengertian

No. ICPC-II : D96 Worms/other parasites

No. ICD-X : B76.0 Ankylostomiasis

                    B76.1 Necatoriasis         

Tingkat Kemampuan 4A

 

Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.

2. Tujuan

Semua pasien ankilostomiasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Migrasi larva

1.    Rasa gatal pada kulit

2.    Pneumonitis

 Cacing dewasa

1.    Gangguan gastrointestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duedenum, jejunum dan ileum.

2.    Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia hipokromik mikrositik.

3.    Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat dengan tingkat kecedasan anak.

Faktor Risiko

1.    Kurangnya penggunaan jamban keluarga.

2.    Kebiasaan menggunakan tinja sebgai pupuk.

3.    Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

4.    Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

·       Gejala klinis tergantung jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.

·       Pemeriksaan Fisik

1.    Konjungtiva pucat

2.    Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang menembus kulit disebut sebagai ground itch.

·       Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur atau larva cacing dewasa.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

·       Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi :

1.    Nekatoriasis

2.    Ankilostomiasis

Diagnosis Banding : -

Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.    Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antra lain :

a.    Masing-masng keluarga memiliki jamban keluarga

b.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk

c.     Menggunakan alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah.

2.    Famakologis

a.    Pirantel pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau

b.    Mebendazol, dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau

c.     Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg), dosis tunggal, sedangkan pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak diberikan pada wanita hamil. Creeping eruption : tiabendazol topikal selama 1 minggu. Untuk cutaneus larva migrans pengobatan dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut.

d.    Sulfasferosus.

 

Konseling dan Edukasi

1.    Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.

2.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.

3.    Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.

4.    Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.

5.    Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.

6.    Mennggunakan alas kaki saat berkontak dengan tanah.

 

Kriteria Rujukan : -

 

Peralatan

·       Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.

·       Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.

Prognosis

      Prognosis pada umumnya bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat kecuali terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.

6. Diagram Alur

-

 

 

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

PUSKESMAS I SUMPIUH

 

 

 

DR. DRI KUSRINI

NIP 19720112 200212 2 004

1. Pengertian

No. ICPC-2 : S87 (Appendicitis)

No. ICD-10 : K.35.9 (Acute appendicitis)

Tingkat Kemampuan 3B

 

Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salahsatu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan perforasi.

 

Penyebab:

1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan apendisitis akut

2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing lainnya

2. Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk penatalaksanaan Apendisitis akut

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

·       Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.

 

Gejala Klinis

1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.

2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.

3. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.

4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.

5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

·       Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi

a. Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit

b. Kembung bila terjadi perforasi

c. Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses

 

2. Palpasi

Terdapat nyeri tekan McBurney

a.    Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)

b.    Adanya defans muscular

c.     Rovsing sign positif

d.    Psoas signpositif

e.    Obturator Signpositif

 

3. Perkusi

·       Nyeri ketok (+)

 

4. Auskultasi

·       Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforate

 

5. Colok dubur

·       Nyeri tekan pada jam 9-12

 

Tanda Peritonitis umum (perforasi) :

1. Nyeri seluruh abdomen

2. Pekak hati hilang

3. Bising usus hilang

 

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut:

1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC

3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)

4. Dehidrasi dan asidosis

5. Distensi

6. Menghilangnya bising usus

7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah

8. Rebound tenderness sign

9. Rovsing sign

10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

 

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium darah perifer lengkap

a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat.

b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.

c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.

d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.

e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.

 

2. Foto polos abdomen

a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu..

b. Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps.

c. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara.

d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.

e. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.

f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma.

g. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

·       Diagnosis Klinis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.

 

·       Diagnosis Banding

1. Kolesistitis akut

2. Divertikel Mackelli

3. Enteritis regional

4. Pankreatitis

5. Batu ureter

6. Cystitis

7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

8. Salpingitis akut

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

 

·       Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk:

1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)

2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut.

3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.

4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.

 

·       Komplikasi

1. Perforasi apendiks

2. Peritonitis umum

3. Sepsis

 

·       Kriteria Rujukan

Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

 

Peralatan

·       Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap

 

Prognosis

·       Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan kondisi pasien

6. Diagram Alur

-

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

ARTRITIS REMATOID

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen :

No. Revisi       :

Tanggal Terbit:

Halaman         :

PUSKESMAS GUMELAR

 

 

 

1. Pengertian

Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya

2. Tujuan

Sebagai pedoman dalam penatalaksanaan artritis reumatoid di puskesmas Gumelar

·       3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

5. Prosedur

Anamnesis :

Gejala pada awal onset

·       Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

·       Gejala spesifik pada banyak sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal) atau MTP (metatarsophalangeal), pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal interphalangeal) umumnya tidak terkena.

·       Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam.

·       Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia).

Faktor Risiko

1. Wanita,

2. Faktor genetik.

3. Hormon seks.

4. Infeksi

5. Merokok

 

 

 

Pemeriksaan Fisik

·       Manifestasi artikular:

Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan neck, boutonniere, deviasi ulnar)

·       Manifestasi ekstraartikular:

1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis.

2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen shoulder.

3. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit kronik.

4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru luas.

5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati

 

Diagnosis Klinis

Diagnosis RA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

 

Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini :

1. Jumlah sendi yang terlibat

a. 1 sendi besar : 0

b. 2-10 sendi besar : 1

c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) : 2

d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) : 3

e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi kecil : 5

 

Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak termasuk dalam kriteria

Yang dimaksud sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari, dan pergelangan tangan

Yang dimaksud sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki.

4. Durasi

a. Lebih dari 6 Minggu : 1

b. Kurang dari 6 Minggu : 0

 

Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA

 

Penatalaksanaan

1. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada stadium akut dengan menggunakan decker.

 

2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari, meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari.

3. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy).

4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.

 

Kriteria rujukan

1. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah.

2. RA dengan komplikasi.

3. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas.

 

Prognosis

Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan penyakit dan penatalaksanaan selanjutnya

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

 

7. Unit terkait

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

1.      Pengertian

 Jenis peradangan sendi kronis yang biasanya terjadi pada sendi di kedua sisi tubuh, seperti tangan, pergelangan tangan, atau lutut.

2.      Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk pengobatan rheumatoid artritis

3.       Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No.188.4/ 1.1.1.1.2 /415.25.33/2015

4.       Referensi

PMK No.75 Tahun 2014 tentang pengobatan dasar

Permenkes No 75 Tahun 2014 tentang puskesmas

5.       Langkah-Langkah

1. px datang dengan membawa buku rekam medis

2.Tanda gejala

Bengkak pada persendian, merah dan nyeri

3. Penatalaksanaan

1.    Mengistirahatkan sendi

2.    Ibuprofen 3 x 400mg perhari  

4.pencatatan pada rekam medis

5. Pasien Pulang

 

Pencatatan  pada rekam medis

6. Bagan alir

Pasien datang

tanda dan gejala bengkak pada persendian

Penatalaksanaan

 

Pasien pulang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


  1. Unit Terkait

Poli Lansia, Poli 2,Laborat,gizi

 

 

 

PUSKESMAS II SUMPIUH

 

 

 

 

1. Pengertian

No. ICPC-II : D96 Worms/other parasites

No. ICD-X : B77.9 Ascariasis unspecified

Tingkat Kemampuan 4A

 

Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Ascaris lumbricoides.

2. Tujuan

Semua pasien Askariasis yang datang ke Puskesmas II Sumpiuh mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prosedur

3. Kebijakan

SK Nomor : ……………. Tentang

4. Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5. Prosedur

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

·       Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan menurun, mual, muntah.

Faktor Risiko

5.    Kebiasaan tidak mencuci tangan.

6.    Kurangnya penggunaan jamban.

7.    Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.

8.    Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat yang membawa telur cacing.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

·       Pemeriksaan tanda vital

·       Pemeriksaan generalis tubuh : konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaa penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur cacing dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

·       Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.

 

Diagnosis Banding : Jenis kecacingan lainnya

Komplikasi : Anemia defisiensi besi

 

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

3.    Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antra lain :

d.    Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir

e.    Menutup makanan

f.      Masing-masng keluarga memiliki jamban keluarga

g.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk

h.    Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.

4.    Famakologis

e.    Pirantel pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal, atau

f.      Mebendazol, dosis 200 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau

g.    Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet(400 mg) atau 20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil.

 

Konseling dan Edukasi

7.    Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.

8.    Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.

9.    Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.

10. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.

11. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.

12. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga tetap bersih dan tidak lembab.

 

Kriteria Rujukan : -

 

Peralatan

·       Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.

 

Prognosis

·       Prognosis pada umumnya bonam.

6. Diagram Alur

-

7. Unit terkait

Balai Pengobatan

 

 

8.Rekaman Historis Perubahan

 

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

ASMA BRONKIAL

 

SPO

No. Dokumen    :

No. Revisi         :

Tanggal Terbit  :

Halaman            :

PUSKESMAS II PURWOKERTO TIMUR

Tanda Tangan

dr. Leni Kurniati Jubaedah

NIP.197211072006042013

 

RUANG LINGKUP

 

Prosedur ini memuat langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menangani serangan asma dan asma jangka panjang.

 

 

TUJUAN

 

1.     Mengupayakan penanganan serangan asma yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa pasien.

2.     Dengan pengobatan yang cepat dan tepat, prognosis asma menjadi lebih baik

 

 

KEBIJAKAN

 

Semua pasien dengan serangan asma lakukan segera penilaian derajat asma untuk menentukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat.

 

 

PETUGAS

 

1.       Dokter

2.       Perawat

 

 

PERALATAN

1.   Tensimeter

2.   Stetoskop

 

PROSEDUR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.     Anamnesis:

1.1.     Gejala batuk dan atau mengi berulang yang mempunyai karakteristik episodik, terjadi pada malam hari (nokturnal), musiman, berkaitan dengan aktifitas atau pencetus, reversibel, adanya riwayat atopi dalam keluarga.

1.2.     Sesak nafas terutama saat ekspirasi.

 

2.     Pemeriksaan fisik

1.1.     Pada waktu serangan : tampak khas berupa pasien duduk berjuang untuk menghirup udara, dada dalam posisi inspirasi dan menggunakan otot bantu pernafasan.

1.2.     Frekuensi nafas meningkat, amplitudo dangkal.

1.3.     Sesak nafas, nafas cuping hidung sianosis.

1.4.     Gerakan dinding dada berkurang, hipersonor.

1.5.     Bunyi nafas melemah, wheezing ekspirasi, ekspirium diperpanjang, ronki basah, ronki kering, suara lendir.

 

PROSEDUR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Parameter klinis

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti nafas

Sesak

Berjalan

Berbicara

Istirahat

 

Bicara

Kalimat

Penggal kalimat

Kata-kata

 

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

 

Kesadaran

Mungkin iritabel

Biasanya iritabel

Biasanya iritabel

Kebingungan

Sianosis

Tidak ada

Tidak ada

ada

Nyata

Mengi

Sedang, hanya pada akhir ekspirasi

Nyata, sepanjang eksp, kadang insp

Terdengar tanpa stetoskop

 

Sesak nafas

Minimal

Sedang

Berat

 

Otot bantu nafas

Biasanya tidak

Biasanya ya

ya

Gerakan paradok torako-abdominal

Retraksi

Dangkal, interkostal

Sedang, ditambah retaksi suprasternal

Dalam, ditambah nafas cuping hidung

Dangkal/ hilang

Laju nafas

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Menurun

Tabel  Penilaian Derajat Serangan Asma

 

2.   Penatalaksanaan:

2.1.     Serangan asma akut ringan

2.1.1.       Oksigen : 4 – 6 liter/mnt  ( dewasa ) ; 2 liter / menit ( anak )

2.1.2.       Agonis Beta – 2 oral : salbutamol 3 x 2-4 mg ( dewasa ); dosis anak : 0,05 – 0,1 mg / kgbb/ kali.

2.2.     Serangan asma sedang dan berat dirujuk ke rumah sakit dengan tindakan pra rujukan yg tepat,O2 terpasang,posisi tepat.

 

 

3.   Penatalaksanaan Lanjutan

3.1.     Hindari faktor pencetus

3.2.     Bronkodilator : salbutamol oral 3 x 2 mg ( dosis anak : 0,05 – 0,1 mg/kgbb/kali) atau aminofilin oral 3 x 120 – 150 mg (dewasa).

3.3.     Kortikosteroid.

3.4.     Ekspektoran mukolitik

3.5.     Antibiotik diberikan jika ada dugaan infeksi bakterial : Eritromisin 3 x 250 mg /Amoksisilin 3 x 500 mg/Kotrimoksazol 2 x 2 tablet ( Dewasa)

 

 

DIAGRAM ALIR

PASIEN DATANG

DILAKUKAN

ANAMNESIS

Keluhan : batuk atau mengi berulang, episodic, berkaitan dengan aktivitas, atopi keluarga dan cuaca, sesak nafas.

PEMERIKSAAN

FISIK :

-        Tripod position

-        Otot bantu nafas

-        Respires meningkat

Ekspirasi diperpanjang

-        Wheezing ekspirasi

 

RINGAN

-        O2

-        Agonis Beta

-        Steroid

-        Mukolitik dan antibiotik bila perlu

SEDANG

Bisa mengucapkan penggalan kalimat

BERAT

Hanya bias mengucapkan kata

PASIEN DIRUJUK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Panduan Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer,Permenkes nomer 5 thn 2014.dan kapita selekta kedokteran.

 

 

 

 

SOP ASTIGMATISME

 

 

SOP

No. Dokumen

:

 

No. Revisi

:

 

Tanggal Terbit

:

 

Halaman

:

1 / 2

PUSKESMAS I TAMBAK

 

dr. Harry Widyatomo

 

 

NIP.198212202010011016

1.    Pengertian

Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai meridian

2.    Tujuan

Sebagai acuan tata laksana astigmatisme

3.    Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No .... /  .. /  SK-II/ IV/ 2016 tentang kebijakan

4.    Referensi

1.    Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007.

2.    Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.

3.    James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005.

4.    Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.

5.    Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

6.    Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000

 

5.    Prosedur

 

 

 

 Masalah Kesehatan

Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai meridian.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat melihat lebih jelas.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum biasanya baik.

Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan menunjukkan tajam penglihatan tidak maksimal dan akan bertambah baik dengan pemberian pinhole.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal dengan pemberian lensa silindris.

 

Diagnosis Banding

Kelainan refraksi lainnya.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai.

 

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Tidak diperlukan.

 

Konseling dan Edukasi

Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan gangguan penglihatan yang dapat dikoreksi.

Kriteria Rujukan

Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila:

1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau

2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme berat).

 

Peralatan

1. Snellen Chart

2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial lenses)

3. Pinhole

 

Prognosis

1. Ad vitam : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Bonam

 

 

6.    Langkah-Langkah

1.     Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil

2.     Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa sesuai nomor urut.

3.     Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan.

4.     Petugas mengukur ttv

5.     Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb :

·       Keluhan Utama.

·       Keluhan tambahan.

·       Riwayat penyakit terdahulu.

·       Riwayat penyakit keluarga.

·       Lamanya sakit.

·       Pengobatan yang sudah dilakukan.

·       Riwayat alergi obat.

6.     Dokter memeriksa pasien

 

7.     Petugas memberikan resep kepada pasien

8.     Pasien  mengambil obat di apotek puskesmas

 

7.    Hal-Hal yang perlu diperhatikan

Penyampaian informasi mudah dipahami

Pemeiksaan yang benar dan pengobtan yang tepat

8.    Unit Terkait

 

1.    Pendaftaran

2.    Apotek

3.    administrasi

 

9.    Dokumen Terkait

1.    Rekam Medis

2.    Buku register rawat jalan

10. Rekamann historis perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

Pengertian

Bells’palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut, unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.

Kode Penyakit

No. ICPC-2 : N91 Facial paralysis/Bells’ palsy

No. ICD-10 : G51.0 Bells’ palsy

Tujuan

Prosedur ini dibuat dimaksudkan untuk mengatur tatacara melakukan penanganan penderita bells’ palsy dengan baik dan benar.

Alat & Bahan

Alat : Tempat tidur, Stetoskop, Arloji, Thermometer, Tensimeter 

SOP

PENATALAKSANAAN

·     Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.

·     Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.

·     Hal penting yang perlu diperhatikan:

a.    Pengobatan inisial

1.   Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).

2.   Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).

3.   Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.

4.   Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.

 

b.   Lindungi mata

Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari) dapat mencegah corneal exposure.

c.    Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan sequele.

 

RENCANA TINDAK LANJUT

Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan setelah pengobatan.

 

KRITERIA RUJUKAN

a. Bila dicurigai kelainan supranuklear

b. Tidak menunjukkan perbaikan

 

Unit Terkait

Poli Pengobatan, UGD

 

 

  

BENDA ASING DI HIDUNG

 

 

SPO

 

 

No. Dokumen : SPO/IX/U-01/04/16

No. Revisi        : 0

Tanggal Terbit : 4 April 2016

Halaman         :  1/2

Puskesmas II PURWOKERTA UTARA

 

 

 

Dr Maria Valentina

197208122002122004

1. Pengertian

Pengambilan benda asing di hidung dengan menggunakan direct instrument; hooked probes; kateter; alat penyedot (suction)

2. Tujuan

Sebagai acuan dalam melakukan tindakan dengan tepat dan benar

3. Kebijakan

Surat Keputusan Kepala Puskesmas II Purwokerto Utara

4. Referensi

KMK RI Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

5. Prosedur

a.    Alat dan Bahan

1)    Sarung tangan

2)    Lampu Kepala

3)    Lidocain 1% dan phenylephrin 0,5%

4)    Direct instruments: hemostat, forceps alligator, forceps bayonet

5)    hooked probes

6)    Kateter foley (5-8 french)

7)    Spuit 3 cc

8)    Alat penyedot (suction

b.    Teknik Pemeriksaa

1)    Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.

2)    Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.

3)    Pertahankan suasana tenang di ruangan.

4)    Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien.

5)    Persiapkan peralatan yang dibutuhkan.

6)    Posisikan pasien pada sniffing position, baik terlentang ataupun dengan sedikit elevasi kepala. Pasien yang tidak kooperatif harus difiksasi. Minta bantuan untuk memfiksasi kepala.

7)    Pemberian anastesia dan vasokonstriktor mukosa dengan tampon adrenalin pada lubang hidung membantu pemeriksaan dan pengambilan benda asing. Rendam kapas dengan campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain.

8)    Untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, tidak berbentuk bulat, dan tidak mudah hancur, gunakan instrument hemostat, forseps alligator, atau forsep bayonet.

9)    Untuk benda asing yang mudah dilihat namun sulit untuk dipegang, gunakan hooked probes. Hook diletakkan dibelakang benda asing dan diputar sehingga sudut hook terletak dibelakang benda asing. Benda asing kemudian ditarik ke depan.

 

10) Untuk benda asing kecil dan bulat yang sulit dipegang oleh instrumen, dapat juga digunakan kateter balon. Gunakan kateter foley atau kateter fogarty. Periksa balon kateter dan oleskan jeli lidokain 2% pada kateter. Dengan posisi pasien supine, masukkan kateter melewati benda asing dan kembangkan balon dengan udara atau air (2 ml untuk anak kecil dan 3 ml untuk anak yang berbadan besar). Setelah balon dikembangkan, tarik kateter untuk mengeluarkan benda asing.

11) Penyedotan dengan suction digunakan untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, licin, dan berbentuk bulat. Ujung kateter ditempatkan di benda asing, dan dilakukan penyedotan dengan tekanan 100-140 mmHg.

12) Suction juga digunakan untuk mengevakuasi sekret di hidung yang menghalangi benda asing.

 

6. Diagram Alir

    (bila perlu)

 

7. Unit terkait

BP Umum

 

8.Rekaman Historis Perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Tanggal mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

BENDA ASING DI KONJUNGTIVA

 

 

SOP

No. Dokumen

:

 

No. Revisi

:

 

Tanggal Terbit

:

 

Halaman

:

1 / 2

PUSKESMAS I TAMBAK

 

dr. Harry Widyatomo

NIP.198212202010011016

6.    Pengertian

Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal tidak dijumpai di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder

 

7.    Tujuan

Sebagai acuan tata laksana benda asing di konjungtiva

 

8.    Kebijakan

SK Kepala Puskesmas No .... /  .. /  SK-II/ IV/ 2016 tentang SOP Benda asing di konjungtiva

 

9.    Referensi

1.    Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.

2.    Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

3.    Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

 

10. Prosedur

 

 

 

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia.

Faktor Risiko

Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Visus biasanya normal.

2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi.

3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva tarsal superior dan/atau inferiordan/atau konjungtiva bulbi.

 

Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan.

 

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis banding

Konjungtivitis akut

Komplikasi

1. Ulkus kornea

2. Keratitis

Terjadi bila benda asing pada konjungtiva tarsal menggesek permukaan kornea dan menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi berat dapat terjadi jika benda asing merupakan zat kimia.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing

Berikut adalah cara yang dapat dilakukan:

a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5% sebanyak 1-2 tetes pada mata yang terkena benda asing.

b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda asing.

 

c. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau jarum suntik ukuran 23G.

d. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi.

e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada tempat bekas benda asing.

2. Medikamentosa

Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam selama 2 hari

Konseling dan Edukasi

1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar tidak memperberat lesi.

2. Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja atau berkendara.

3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan bertambah berat setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah, bengkak, atau disertai dengan penurunan visus.

 

Kriteria Rujukan

1. Bila terjadi penurunan visus

2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, misal: karena keterbatasan fasilitas

 

Peralatan

1. Lup

2. Lidi kapas

3. Jarum suntik 23G

4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%

5. Povidon Iodin

 

Prognosis

1. Ad vitam : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Bonam

 

11. Langkah-Langkah

9.     Pasien dari loket pendaftaran, duduk menunggu dipanggil

10.  Petugas di R. Pengobatan memanggil pasien untuk masuk ke Ruang periksa sesuai nomor urut.

11.  Petugas mencocokkan identitas pasien dengan kartu rawat jalan.

12.  Petugas mengukur ttv

13.  Petugas / dokter melakukan anamnesa terhadap pasien sbb :

·       Keluhan Utama.

·       Keluhan tambahan.

·       Riwayat penyakit terdahulu.

·       Riwayat penyakit keluarga.

·       Lamanya sakit.

·       Pengobatan yang sudah dilakukan.

·       Riwayat alergi obat.

14.  Petugas memberikan resep kepada pasien

15.  Pasien  mengambil obat di apotek puskesmas

 

 

12. Hal-Hal yang perlu diperhatikan

Penyampaian informasi mudah dipahami

 

13. Unit Terkait

 

4.    Pendaftaran

5.    UGD

6.    Apotek

 

 

14. Dokumen Terkait

3.    Daftar hadir

4.    Notulen

 

15. Rekamann historis perubahan

No

Yang diubah

Isi Perubahan

Mulai diberlakukan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Layanan Klinis Blefaritis

 

 

 

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen

:

No. Revisi

:

Tanggal Terbit

:

Halaman

:

 

 

 

 

 

 

1. Pengertian

Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra) dapat disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada tepi kelopak mata, serta dapat melibatkan folikel rambut.

2. Tujuan

Mengobati pasien dengan blefaritis yang datang berobat ke Puskesmas

3. Kebijakan

 

4. Prosedur

1.    Petugas menyiapkan alat pemeriksaan, yaitu tensimeter, stetoskop, senter, dan lup

2.    Menanyakan keluhan pasien. Keluhan yang biasa ditemui adalah gatal pada tepi kelopak mata. Dapat disertai keluhan lain berupa merasa ada sesuatu di kelopak mata, panas pada tepi kelopak mata dan kadang-kadang disertai rontok bulu mata. Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka.

3.    Mencari faktor resiko seperti :

a)    Kondisi kulit seerti dematitis seboroik

b)    Higiene dan lingkungan yang tidak bersih, dan

c)    Kesehatan atau daya tahan tubuh yang menurun

4.    Melakukan pemeriksaan fisik dasar dan penunjang. Pada pemeriksaan dapat ditemukan :

a)    Skuama atau krusta di tepi kelopak

b)    Bulu mata rotok

c)    Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi kelopak mata

d)    Dapat terjadi pembengkakak dan merah pada kelopak mata

e)    Dan dapat ditemukan keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata; bila dilepaskan bisa terjadi perdarahan.

5.    Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.

6.    Menentukan komplikasi yang mungkin terjadi, seperti blefarokonjungtivitis, madarosis, dan trikiasis.

7.    Memberikan tata laksana berupa :

a)    Memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak dari kotoran dapat menggunakan sampo bayi.

b)     Kelopak mata dibersihkan dengan kapas lidi hangat dan kompres hangat selama 5-10 menit.

c)    Apabila ditemukan tukak pada kelopak mata, salep atau tetes mata seperti eritromisin, basitrasin atau gentamisin 2 tetes setiap 2 jam hingga gejala menghilang.

8.    Melakukan konseling dan edukasi :

a)    Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala, alis mata, dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan terutama pada pasien dengan dermatitis seboroik.

b)     Memberitahu pasien dan keluarga untuk menjaga higiene personal dan lingkungan.

9.    Mempertimbangkan rujukan bila tidak membaik dengan pengobatan optimal.

5. Referensi

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

6. Unit Terkait

Poli Umum

 

7. Rekaman Historis

 

No.

Halaman

Yang Diubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8. Bagan

RUANG LINGKUP

Protap ini mencakup diagnosis dan tata laksana bronkhitis akut.

TUJUAN

Memberikan tata laksana yang tepat pada pasien bronkhitis akut.

KEBIJAKAN

Berlaku untuk semua pasien.

PETUGAS

Dokter

PERALATAN

 

1.   Tensimeter

2.   Stetoskop

PROSEDUR

1.     Pengertian

Bronkhitis akut sebenarnya merupakan bronkopneumonia yang lebih ringan, penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri.

2.     Gambaran Klinis

2.1. Batuk yang mula-mula kering kemudian menjadi berdahak kental dan mukopurulen, makin lama makin banyak.

2.2. Mungkin terdapat demam yang berlangsung 3-5 hari, sesak nafas, nyeri otot dan sakit dada.

3.     Pemeriksaan Fsik

3.1. Ditemukan ronki kasar.

4.     Pemeriksaan Laboratorium.

4.1. Terdapat leukositosis.

5.     Penatalaksanaan :

5.1. Selama demam beri Parasetamol 10 mg/kgbb/kali.

5.2. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorfan) 15mg/kali 2 sd 3 x/hr.

         Kodein (obat Doveri) dapat diberikan 3x10 mg/hr dewasa

Untuk anak.> 6 thn ,Dekstrometorpan Hbr 1 mg/kgbb/hr dibagi 3 dosis (bila batuk kering).

Pemberian antitussif perlu pertimbangkan efek sesak nafas.

5.3. Ekspectoran : GG 50-100 mg, tiap 2-6 jam bila batuk berdahak,bromheksin,ambroksol,dosis sesuaikan .

5.4. Bronchodilator,salbutamol,teofilin,aminifillin.

5.5. Pilihan antibiotik jika ada infeksi bakteri :

Pada penderita dewasa :

5.5.1.   Kotrimoksazol dewasa 2 x 960 mg.

5.5.2.   Eritromisin dewasa 4 x 500 mg. Anak 40 – 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.

5.5.3.   Amoxicillin 30 – 50 mg/kgbb perhari.

5.6. Nasehat : Istirahat, banyak minum,dilarang merokok.

5.7. Jelaskan kemungkinan efek samping obat,sesak      nafas,berdebar debar,lemas,keringat dingin,gemetar.

       

 

 

DIAGRAM ALIR

PASIEN DATANG

DILAKUKAN

ANAMNESIS

Keluhan : batuk kering / dahak, demam 3-5 hari, sesak nafas, nyeri dada

PEMERIKSAAN

FISIK :

-        Suara dasar vasikular

-        Ronki kasar

-        Leukositosis

 

TERAPI

-     Berikan Paracetamol jika demam

-     Berikan Dextrometorpan bila batuk kering

-     Berikan Ekstpektoran bila batuk dahak

-     Antibiotic : kotri, eritromicin, amoxcilin

-     Edukasi

PASIEN

PULANG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Panduan Praktik Klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer,Permenkes nomer 5 thn 2014.

 

 

 

 

 

 

 

 

Layanan Klinis Buta Senja

 

 

 

 

 

 

 

SOP

No. Dokumen

:

No. Revisi

:

Tanggal Terbit

:

Halaman

:

 

 

 

1

 

 

1. Pengertian

Buta senja/ rabun senja disebut juga nyctalopia atau hemarolopia adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel batang retina yang berperan pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja adalah defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa.

2. Tujuan

Mengobati buta senja yang dialami pasien yang datang berobat ke Puskesmas.

3. Kebijakan

 

4. Prosedur

1.    Petugas mempersiapkan alat pemeriksaan berupa tensimeter, stetoskop, senter, lup, dan oftalmoskop

2.    Melakukan anamnesis kepada pasien. Keluhan yang sering dikeluhkan Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup.

3.    Petugas melakukan pemeriksaan fisik dasar. Dan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa mata.

4.    Menemukan tanda-tanda defisiensi vitamin A seperti : Terdapat bercak bitot pada konjungtiva, Kornea mata kering/kornea serosis, Kulit tampak kering dan bersisik.

5.    Menegakkan diagnosa klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

6.    Memberikan pengobatan berupa vitamin A dosis tinggi (bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A, lubrikasi kornea, dan pencegahan infeksi sekunder dengan tetes mata antibiotik.

7.    Melakukan konseling dan Edukasi yatu dengan Memberitahu keluarga adalah gejala dari suatu penyakit, antara lain; defisiensi vitamin A sehingga harus dilakukan pemberian vitamin A dan cukup kebutuhan gizi..

5. Referensi

 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

6. Unit Terkait

Poli Umum

 

 

 

7. Rekaman Historis

 

No.

Halaman

Yang Diubah

Perubahan

Diberlakukan Tgl

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8. Bagan

 

CANDIDIASIS ORAL

 

SOP

No. Dokumen    :

No. Revisi         :

Tanggal Terbit   :

Halaman            :

PUSKESMAS I WANGON

Tanda Tangan

dr. Tulus Budi P

NIP.198203272009031006

1.   Pengertian

Candidiasis oral adalah penyakit infeksi jamur Candida albicans yang menyerang mukosa mulut.

2.   Tujuan

Sebagai pedoman dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat terhadap pasien dengan candidiasis oral.

3.   Kebijakan

.

4.   Referensi

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015

TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

5.   Prosedur

Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, mukosa maupun organ dalam, sedangkan pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril.

 

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan :

Rasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa metal, dan daya kecap penderita yang berkurang.

Faktor Risiko: imunodefisiensi.

 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1.    Bercak merah, dengan maserasi di daerah sekitar mulut, di lipatan (intertriginosa) disertai bercak merah yang terpisah di sekitarnya (satelit).

2.    Guam atau oral thrush yang diselaputi pseudomembran pada mukosa mulut.

 

Pemeriksaan Penunjang

Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

 

Diagnosis Banding

Peradangan mukosa mulut yang disebabkan oleh bakteri atau virus.

 

Komplikasi

Diare karena kandidiasis saluran cerna.

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1.   Memperbaiki status gizi dan menjaga kebersihan oral

2.   Kontrol penyakit predisposisinya

3.   Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau larutan nistatin 100.000 – 200.000 IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3 hari

 

Rencana Tindak Lanjut

1.   Dilakukan skrining pada keluarga dan perbaikan lingkungan keluarga untuk menjaga tetap bersih dan kering.

2.   Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dengan obat anti jamur.

 

Kriteria Rujukan

Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV.

 

1.   Unit Terkait

BP Umum, KIA, Klinik IMS, Laboratorium

 

 

 

 

2.   Rekaman Historis Perubahan

No

Halaman

Yang dirubah

Perubahan

Tgl. Mulai Diberlakukan